Mahasiswa dari berbagai universitas di Jabodetabek menggelar aksi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta Pusat, Kamis (15/12). Selain menyuarakan pencabutan KUHP, massa aksi juga mengenang 1000 hari meninggalnya lima korban Reformasi Dikorupsi pada 2019 silam.
Sekitar pukul 15.00, barisan mahasiswa dari beberapa kampus berjalan kaki menuju depan Gedung DPR RI. Setibanya, massa aksi menaiki gerbang besi DPR RI dan membentangkan berbagai spanduk protes. Namun, sebelum aksi dimulai, beberapa mahasiswa terlihat melakukan ibadah salat asar berjamaah.
Massa aksi membentangkan kertas putih secara serentak sebagai bentuk kekecewaan. Di akhir demonstrasi, seluruh mahasiswa melingkar menaruh lilin di depan foto para korban dan mengheningkan cipta.
Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Muhammad Abid Al Akbar mengatakan, aksi tersebut merupakan upaya mahasiswa agar presiden mencabut beberapa pasal KUHP yang cacat formil dan materil. Baginya, mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan menekan presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) merupakan langkah utopis. Sebabnya, ia menyatakan aksi menjadi upaya yang lebih realistis.
Abid menyatakan ada dua pasal krusial yang sangat merugikan masyarakat, terlebih mahasiswa. Dua pasal krusial tersebut, kata dia, terkait perizinan demonstrasi dan penyebaran ajaran Marxisme-Leninisme. “Jika demonstrasi harus ada izin dan gagasan dibatasi UU, maka apakah demonstrasi yang tidak diizinkan dan dosen yang mengajar Marxisme-Leninisme akan dilarang?,” ujar Abid, Kamis (15/12).
Sementara itu, Zararah Azhim Syah, Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara berharap agar aksi ini didengar oleh presiden lalu mencabut pasal-pasal KUHP bermasalah. Azhim juga menyatakan selama KUHP ini masih dalam uji coba dalam tiga tahun ke depan, ia berharap masih ada aksi lanjutan untuk menekan presiden agar mengeluarkan Perpu.
Ia juga mendesak agar mahasiswa sesegera mungkin melakukan judicial review dan aksi yang lebih besar selama Perpu tidak keluar. Baginya, langkah-langkah semacam itu harus gencar dilakukan selama uji coba KUHP berlangsung. “Sekalipun masih ada uji coba selama tiga tahun, kalau substansinya salah, mau uji coba bagaimana,” ucapnya, Kamis (15/12).
Salah satu mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jonas Nixon juga berharap presiden mencabut pasal-pasal KUHP bermasalah. Bagi Nixon, salah satu pasal yang paling bermasalah adalah pasal penghinaan presiden. Ia mengatakan bahwa dalam KUHP lama terdapat pasal serupa. Namun pasal tersebut sempat digugat dan diuji secara materil ke MK, lalu dikabulkan.
Menurut keterangannya, Nixon menilai bahwa pasal penghinaan presiden terbukti inkonstitusional. “Dengan adanya pasal ini, ketika kita salah ucap padahal niat mengkritik maka dapat dianggap sebagai penghinaan dan dipidana,” pungkasnya, Kamis (15/12).
Reporter: FS
Editor: Haya Nadhira