Melansir dari tempo.co, mobil listrik diklaim lebih ramah lingkungan dibanding mobil konvensional. Faktanya, tingkat polusi mobil listrik bergantung pada jenis sumber pembangkit listrik di tempat mobil itu berada. Mobil listrik tetap menyumbang polusi karbon apabila pembangkit listrik masih menggunakan batu bara, fosil, maupun gas alam.
Pada Rabu (1/3), Institut melakukan wawancara khusus dengan Didit Haryo Wicaksono terkait potensi masalah lingkungan baru yang ditimbulkan oleh produksi mobil listrik. Didit merupakan Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Benarkah mobil listrik sepenuhnya ramah lingkungan?
Kendaraan listrik secara teknis dikatakan ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan gas emisi. Kendaraan tanpa bahan bakar minyak ini membawa dampak baik bagi wilayah perkotaan karena membantu menyelesaikan masalah polusi. Kendati demikian, permasalahannya tidak selesai hanya karena mengeluarkan emisi atau mengurangi polusi.
Titik persoalannya ada pada sumber energi yang digunakan. Apabila masih menggunakan energi kotor, maka cita-cita kendaraan listrik yang bebas dari emisi adalah salah besar. Diketahui, listrik yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga maupun kendaraan berasal dari pembakaran batu bara.
Bagaimana dampak produksi kendaraan listrik untuk kondisi iklim?
Pada dasarnya, Greenpeace mendukung narasi pemerintah soal subsidi kendaraan listrik dengan catatan bukan untuk kendaraan pribadi. Energi terbarukan untuk transportasi publik perlu disubsidi. Namun saat ini, pemerintah lebih mendorong subsidi kendaraan listrik untuk pemakaian pribadi. Pengguna kendaraan pribadi jumlahnya lebih banyak sehingga dampak yang ditimbulkan juga berlipat ganda.
Kendaraan listrik berdampak negatif karena penggunaan komponen yang mengandung nikel menyebabkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan terjadi di daerah penghasil nikel berskala besar. Smelter—tempat pengolahan hasil tambang—menggunakan batu bara sebagai pilar pendukung ketahanan energinya. Kerusakan lingkungan akan berlipat ganda ketika sisa pemakaian kendaraan seperti baterai tidak dikelola dengan baik.
Bagaimana ketersediaan nikel di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan kendaraan listrik?
Indonesia dan Australia memiliki cadangan sumber daya nikel yang cukup besar. Namun, kekhawatiran yang sedang dibicarakan adalah perihal ancaman dari proses penambangan. Indonesia memang memiliki cadangan nikel yang besar, tetapi kontribusi untuk pendapatan negara tidaklah besar.
Hal ini terjadi karena bahan baku nikel lebih banyak diekspor, sehingga pendapatannya masuk ke negara lain. Indonesia hanya mendapat sisa-sisa galian tambangnya, dampak lingkungannya serta permasalahan sosial yang ditinggalkan akibat proses penambangan nikel. Akhirnya, hanya akan mengulang sejarah kotor tambang batu bara.
Berdasarkan sumber energi yang digunakan, apakah kendaraan listrik lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional?
Kendaraan listrik dan konvensional tidak jauh berbeda dari segi proses penggunaan energinya. Keduanya menggunakan sumber energi yang berasal dari perut bumi yang tak terbarukan. Perbedaannya terletak pada lokasi pembakaran, pembakaran untuk kendaraan listrik terjadi di pembangkit listrik yang tersebar di Indonesia. Hal tersebut artinya hanya memindahkan polusi ke daerah pembangkit listrik dan lokasi pengolahan tambang.
Bagaimana tanggapan Anda perihal keputusan pemerintah untuk transisi energi?
Kecenderungan kendaraan listrik hanyalah sebagai pencitraan untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam melakukan transisi energi. Padahal, bisa jadi ini hanya skema besar yang menguntungkan orang-orang yang ada di pemerintahan. Mereka yang sebelumnya mengandalkan pendapatan dari batu bara, dengan kendaraan listrik yang kian masif mereka dapat mendirikan perusahaan nikel. Jadi, apa yang terjadi saat ini hanyalah bagian dari solusi palsu pemerintah atau transisi energi yang setengah hati.
Reporter: IHPA
Editor: Nurul Sayyidah Hapidoh