Resahkan penurunan literasi dan ego sektoral lembaga, sejumlah komunitas literasi dan pergerakan gelar Ciputat Membaca.
Rabu pagi (4/12), sejumlah pengunjung nampak berbaris dalam antrean registrasi di depan Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara di dalam, kursi-kursi merah telah berjajar tepat di depan panggung, sejumlah meja stan juga berderet rapi di sisi kanan dan kiri auditorium. Terdapat pula, papan-papan yang berisikan profil komunitas literasi dan pergerakan di Ciputat.
Puluhan pasang mata tertuju pada panggung utama kala pembawa acara mengucap salam dan selamat datang, pertanda acara segera dimulai. Rangkaian acara satu per satu dilangsungkan. Mulai dari pembukaan oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Jakarta, serta tak ketinggalan sambutan Ketua Pelaksana Ciputat Membaca.
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah Ketua Pelaksana, Ibrahim Haikal Putra Abadi menuju podium. Ia menuturkan sejumlah keresahan yang melatarbelakangi terselenggaranya Ciputat Membaca. Pergerakan komunitas literasi yang bersifat ego sektoral menimbulkan kompetisi tanpa adanya esensi. Selain itu, budaya literasi juga tergerus imbas kemajuan teknologi, padahal teknologi bisa dimanfaatkan untuk mengakses literasi digital, ungkapnya.
“September akhir merupakan pertemuan dan pengkajian bersama antara komunitas literasi dan pergerakan yang mengafirmasi keresahan-keresahan itu, serta berujung pada inisiasi acara kolaborasi yang besar berisikan festival literasi,” kisah pria berkemeja hitam di depan sana, Rabu (4/12).
Seiring berjalannya waktu, ujar Ibrahim, terkumpul tujuh belas komunitas dengan latar belakang berbeda yang membersamai pergerakan literasi tersebut. Ciputat Membaca sebagai tajuk acara juga lahir dari serangkaian diskusi panjang, berisi harapan mendalam untuk membangkitkan kembali semangat literasi di Ciputat.
Harapan untuk mengembalikan kekuatan intelektual Ciputat juga diungkapkan Amelia Fauzia selaku Ketua LP2M. Dahulu, Ciputat terkenal melahirkan tokoh-tokoh masyhur Indonesia seperti Nurcholish Majid, Azyumardi Azra, Harun Nasution, dan Zakiah Daradjat. Bahkan, dalam buku A History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity, Carool Kersten menyebut “Mazhab Ciputat” sebagai salah satu gerakan intelektual yang berkontribusi besar dalam politik Islam Indonesia.
Ciputat Membaca, tutur Amel, merupakan salah satu upaya menguatkan kembali kultur intelektual Ciputat. Selain itu, kegiatan ini didoakan mendorong lahirnya tokoh-tokoh besar UIN Jakarta generasi selanjutnya. “Jadi, saya ingin menyampaikan apresiasi kami, termasuk Pak Rektor, atas upaya revitalisasi budaya intelektual yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa,” ungkapnya berseri-seri, Rabu (4/12).
Sebelum menutup pidato, Amelia menyambut kehadiran pemateri selanjutnya, Burhanuddin Muhtadi. Tepuk tangan kembali memenuhi auditorium menyambut peneliti senior di Lembaga Survei Indonesia itu. Tak lama berselang, Burhanuddin bergantian maju ke panggung, duduk berhadapan dengan moderator yang memandu diskusi publik sesi pertama.
Sebelum diskusi dimulai, Burhanuddin turut menyampaikan apresiasi dan dukungannya terhadap Ciputat Membaca. Menurutnya, kegiatan ini adalah gerakan yang perlu dilestarikan. Bukan semata-mata untuk mentradisikan label Ciputat sebagai bagian dari intelektual publik, tetapi juga sebagai tanggung jawab bersama. “Bangsa kita tidak menuliskan peradaban dalam bentuk tulisan, sehingga membaca bukan bagiin an dari proses. Kita prosesnya adalah storytelling dan feodalisme,” terangnya, Rabu (4/12).
Burhanuddin menceritakan pengalamannya mengunjungi kampus-kampus terkemuka di dunia yang menempatkan perpustakaan sebagai gedung terbesar. Koleksi buku sangat banyak sehingga ada beberapa perpustakaan besar dalam suatu kampus. Lain halnya di perguruan tinggi Indonesia yang kerap menempatkan rektorat sebagai gedung terbesarnya.
Agenda yang akan berlangsung selama tiga hari ini, tidak hanya menawarkan diskusi publik seputar literasi, melainkan ada beragam aktivitas yang bisa dinikmati. Sudut-sudut auditorium telah disulap menjadi stan penerbit buku yang menjajakan buku fiksi maupun non-fiksi. Ada pula stan-stan komunitas literasi yang menyajikan karya terbitan mereka dari tahun ke tahun, memberikan pengunjung kesempatan untuk mengenal lebih dekat komunitas-komunitas tersebut.
Komunitas yang turut terlibat dalam Ciputat Membaca bisa dikelompokkan menjadi dua tipe: komunitas literasi dan komunitas pergerakan. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut, Buku Senior, Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan Gerak-Gerik bisa dibilang ialah inisiator acara. Komunitas literasi mencangkup Thinkerbooks, Great Impact For Humanity, dan Taman Bacaan Masyarakat Kolong Ciputat. Ada pula Komunitas Literasi dan Diskusi Mahasiswa (Taslima), Rusabesi, serta Lingkar Kajian Ilmu Sosial dan Sejarah (Lkissah).
Di sisi lain, komunitas pergerakan yang terlibat yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Korps PMII-Putri (KOPRI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Korps HMI-Wati (Kohati). Lalu, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis) turut bergabung.
Setiap sore menuju malam, agenda diskusi dan stan buku berganti menjadi ajang pertunjukan kesenian. Area panggung utama diisi anak muda pegiat ragam kesenian, mulai dari pantomim, stand up comedy, musikalisasi puisi, penampilan musik, hingga pertunjukan teater. Ibrahim menyebut, Ciputat Membaca bukanlah sekadar wadah komunitas, melainkan sebuah gerakan kebudayaan.
“Budaya itu kan beragam. Seperti stand up comedy yang membaca literasi lewat tawa atau membawa pesan literasi lewat musik. Jadi, para penampil bukan hanya berkomedi, berpuisi, bermusik, atau berteater, tapi ada pesan literasi yang dibawa dari setiap pertunjukan,” pungkas Ibrahim kepada Institut, Kamis (5/12).
Reporter: Shaumi Diah Chairani
Editor: Nabilah Saffanah