Neoliberalisasi Ancam Reduksi Literasi

Neoliberalisasi Ancam Reduksi Literasi

Read Time:3 Minute, 7 Second
Neoliberalisasi Ancam Reduksi Literasi

Ciputat Membaca berhasil menyatukan berbagai komunitas mahasiswa dalam kegiatan literasi. Neoliberalisasi menjadi topik utama yang membahas perkembangan teknologi mengancam budaya literasi.


Kegiatan Ciputat Membaca telah terselenggara dengan tema Reading On the Screen: Melestarikan Budaya Literasi di tengah Arus Teknologi. Acara ini berlangsung di Auditorium Harun Nasution Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (4/11). Pada hari pertama, Burhanuddin Muhtadi sebagai Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta menjadi salah satu pembicara utama.

Burhanuddin membuka diskusi dengan apresiasi dan dukungan atas terselenggaranya Ciputat Membaca. Ia menyampaikan, membaca tidak hanya soal melestarikan tradisi, tetapi juga bentuk tanggung jawab bersama dalam membangun peradaban. “Dulu negara kita tidak menuliskan peradaban dalam proyeksi tulis sehingga membaca bukan bagian dari proses. Kita prosesnya adalah storytelling,” tegasnya, Rabu (4/12).

Menurutnya, budaya akademik di Indonesia cenderung mengutamakan kekuasaan ketimbang pengetahuan. Burhanuddin memaparkan perbedaan budaya kampus di luar negeri dan di Indonesia.  “Kalau kita ke kampus-kampus top, itu gedung yang paling besar adalah perpustakaan. Tapi kalau kita datang ke kampus-kampus di Indonesia, yang besar itu rektoratnya,” ujarnya.

Selanjutnya, Burhanuddin berpendapat, sistem pendidikan tinggi saat ini semakin mengarah pada neoliberalisme. Menurutnya, ini berdampak pada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan sistem pendidikan yang cenderung mengejar kuantitas lulusan, serta menyebabkan menurunnya minat baca di kalangan mahasiswa. “Neoliberalisasi pendidikan tinggi ditandai dengan minimalisasi peran negara dalam memberikan subsidi terhadap pendidikan di Indonesia sehingga munculnya kebijakan PTN-BH,” terangnya.

Burhanuddin turut menjawab keresahan berbagai komunitas dan organisasi mahasiswa di Ciputat terkait kurangnya gerakan intelektualisme dan aktivisme. Menurutnya, minat terhadap gerakan intelektual tidak selalu tinggi, bahkan sejak masa lalu. Meski demikian, Burhanuddin tetap optimistis bahwa akan ada lebih banyak mahasiswa yang tertarik pada diskusi-diskusi mendalam. “Dulu pun itu gerakan elit, itu hanya segelintir mahasiswa juga,” ujarnya. 

Burhanuddin menilai, Kementerian Pendidikan Tinggi, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah berusaha meningkatkan rasio guru besar, di antaranya dosen, di Indonesia. Meskipun proses menjadi guru besar kini dianggap lebih mudah, ia menyarankan guru besar tidak hanya dilihat berdasarkan jabatan formalnya. Sebaliknya, mereka harus dinilai berdasarkan kontribusi dan sumbangsih mereka dalam ilmu pengetahuan. 

”Sekarang tinggal difasilitasi supaya mereka memberikan semacam sharing pengetahuan, sharing ilmu pada mahasiswa,” ungkapnya.

Terakhir, dalam forum, Burhanuddin menyampaikan, gerakan Ciputat Membaca berhasil menyatukan berbagai organisasi mahasiswa yang memiliki perbedaan pandangan politik dan tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa minat baca dapat menjadi perekat yang kuat bagi berbagai kelompok. “Ada belasan organisasi yang bersatu. Mungkin mereka berbeda politik kampus, berbeda orientasi eksternalnya, tapi disatukan oleh satu peradaban membaca menjadi satu,” ujar Burhanuddin.

Ade Kamila, salah satu peserta, mengapresiasi tema yang diusung acara Ciputat Membaca. Ia menilai, tema ini berhasil menghubungkan tradisi literasi masa lalu Ciputat dengan tantangan di era digital. “Menurut aku, dengan acara Ciputat Membaca ini dengan tema Reading On the Screen, itu kan mengangkat tentang masa lalu Ciputat, bagaimana kita mengangkat lagi budaya-budaya kita dulu ketika membaca, berpikir kritis dan sebagainya,” ungkap Ade, Rabu (4/12).

Lanjutnya, acara ini memberi manfaat tak terduga. Dari diskusi yang disampaikan Burhanuddin, selain mengetahui sejarah literasi di Ciputat, ia juga berkenalan dengan berbagai komunitas literasi yang ada. “Nanti sore akan dikenalin 18 komunitas, itu mungkin jadi membuka wawasan cakrawala kita ya tentang perkumpulan atau komunitas dari mazhab Ciputat ini,” katanya.

Senada dengan Ade, Satrio Adjie Wibowo menanggapi diskusi ini secara positif. Menurutnya, diskusi ini sangat inspiratif, memberikan wawasan baru, dan memotivasi untuk lebih optimal dalam membaca dan menggunakan teknologi. “Jadi, itu benar-benar menjadi suntikan inspirasi buat kita semua lah, mahasiswa UIN khususnya, supaya bisa mengikuti jejak Prof. Burhan perlahan-lahan,” kata Satrio, Rabu (4/12).

Satrio berharap, acara Ciputat Membaca dapat menjadi gerakan yang berkelanjutan. “Harapan untuk ciputat membaca semoga tidak berhenti di tiga hari ini saja, tetapi bisa terus berkesinambungan selama kita berada di kawasan Ciputat ini,” ungkapnya.

Reporter: RAF
Editor: Rizka Id’ha Nuraini 

Happy
Happy
100 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Luntang-Lantung di Penutupan PBAK Previous post Luntang-Lantung di Penutupan PBAK
Strategi Literasi di Tengah Arus Teknologi Next post Strategi Literasi di Tengah Arus Teknologi