Read Time:2 Minute, 8 Second
Keberagaman yang terdapat di Indonesia menjadi hal yang harus diperhatikan. Indonesia sebagai negara yang pluralis memiliki beragam suku, budaya, ras dan agama. Pemahaman tentang keberagaman itu harus diketahui oleh masyarakat. Media massa cukup berperan dalam memperkenalkan keberagaman ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ahmad Junaedi, Direktur Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK). “Manusia hidup dalam dunia yang penuh dengan keberagaman untuk mengenal satu sama lain. Hal itu jelas ada di dalam Al-Quran,” katanya pada seminar yang mengusung tema Ketika Media Massa Menafikan Keberagaman, Selasa (24/12).
Etika dan budaya dalam keberagaman penting bagi seluruh manusia, terlebih jurnalis. Jurnalis sebagai subjek yang memberikan informasi untuk masyarakat tanpa diskriminasi ras, agama, suku dan warna kulit. Ahmad menambahkan, jurnalisme ini dikenal dengan jurnalisme damai yang harus berfokus memberi kebenaran.
Seminar yang diadakan di Aula Student Center ini dihadiri juga oleh Alamsyah Dja’far Anggota Pengurus Bidang Informasi dan Komunikasi Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia mengatakan, terdapat kondisi yang timpang antara media dan masyarakat.
Masyarakat negara terkadang menjadi pelaku aktif melanggar kebebasan, terutama kebebasan beragama seperti kasus Syiah dan Ahmadiyah kemarin. Kondisi ini disebabkan kualitas jurnalis yang minim akan pengetahuan. Jurnalis di daerah terutama, mereka menggunakan diksi yang kurang baik dan sering melanggar kode etik.
“Maka sebagai manusia yang mengetahui kondisi tersebut, masyarakat harus menyikapi dengan benar terhadap pemberitaan yang tidak tepat,” ujar Alamsyah yang juga salah satu alumni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut. Hal itu disebabkan adanya kecenderungan media dalam analisis framing.
Selain itu, peran perempuan semakin lama semakin sering menjadi objek berita media massa. Hal ini dijelaskan oleh Dian Yuliastuti dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Contohnya seperti kasus Sitok Srengenge atas perlakuan yang tidak menyenangkan pada tiga remaja wanita. Maka dengan kondisi seperti ini, tayangan media bergantung respon individu.
Sementara itu, Ketua Panitia, Abdurrohim Al Ayubi mengatakan, persoalan keberagaman patut diperhatikan, terlebih persoalan agama dan gender. Banyak jurnalis yang minim pengetahuan dan menyebarkan informasi yang salah. Akibatnya, berita menjadi terdistorsi sehingga menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.
“Dari seminar ini, mahasiswa mendapat pemahaman banyak mengenai pemberitaan nasional yang menafikan keberagaman. Pers mahasiswa khususnya, harus sadar bahwa sekejam apapun yang dihadapi tetap harus memberitakan fakta tanpa provokasi oleh satu pihak,” katanya .
Zulfa, mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan sebagai partisipan seminar, menyatakan tanggapan positifnya. “Tema yang diusung menarik. Mahasiswa menjadi lebih peka terhadap pers nasional yang sekarang ini membutuhkan pemahaman yang berbeda,” ujarnya.
Seminar ini diadakan dalam rangka perayaan Dies Natalis LPM Institut yang ke 29. Selain acara ini, LPM Institut juga membedah film Kisah 3 titik pada Senin (23/12) yang mengisahkan fenomena buruh wanita. (Maulia Nurul H.)
Average Rating