Soal Gerakan, Mahasiswa Kalah Progresif

Read Time:4 Minute, 39 Second
Aksi Buruh Saat May Day 1 Mei 2012

Untuk meraih kemenangan, setiap perjuangan sejatinya membutuhkan semangat persatuan. Apalagi bila hal yang diperjuangkan menyangkut hajat hidup orang banyak. Lepas dari kungkungan keegoisan golongan, kekuatan semua elemen yang terintegrasi pasti diperlukan untuk mendobrak kekuatan perjuangan.

Solidaritas inilah yang patut dipahami mahasiswa, pemuda yang mestinya intim dengan masalah multisektoral. Namun kenyataannya berbeda. Dalam upaya menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP), jutaan buruh sudah aksi turun ke jalan. Begitu pula puluhan petani Blitar yang tak segan jalan kaki dari Blitar ke Istana Merdeka untuk menuntut tanah gratis yang dijanjikan  presiden. Lantas untuk kasus ini, kemanakah progesivitas dan rasa solidaritas gerakan mahasiswa untuk membela nasib rakyat?

“Dalam kasus buruh dan petani, mahasiswa tidak begitu progresif lantaran mereka (mahasiswa) memang tidak merasakan imbas langsung dari kebijakan pemerintah,” papar Saiful Munir ketua LS-ADI. Menurutnya, untuk saat ini, aksi buruh dan petani tentu akan terkesan lebih progresif dibanding mahasiswa karena mereka (buruh dan petani) memang sedang mempejuangkan hajat hidupnya.

Menurut Munir, belum adanya kelompok pelopor yang mampu mengkonsolidasi juga menjadi sebab lain menurunnya progresivitas mahasiswa. Menurutnya, saat ini gerakan mahasiswa cenderung belum mampu mengkomunikasikan kondisi permasalahan pada mahasiswa sehingga mereka sulit untuk melakukan persatuan dan konsolidasi. “Harus diakui ini merupakan kritik bagi gerakan mahasiswa,” ujarnya.

Lebih lanjut, Munir mengatakan, berkaca pada isu strategis yang digeluti buruh dan petani, seharusnya mahasiswa juga punya isu strategisnya sendiri, yakni isu pendidikan. Menurutnya, dengan isu strategis dalam sektor pendidikan, mahasiswa bisa mendalami permasalahan yang terjadi, bukan sekedar melakukan kontrol sosial yang bersifat momental.

Berbicara tentang solidaritas dan semangat persatuan, Galih Aji, Sekertaris Wilayah Komunitas Kretek punya pendapat lain. Menurutnya, untuk kasus buruh dan petani, mereka (buruh dan petani) cenderung tidak membutuhkan lagi perjuangan mahasiswa. Ini terjadi lantaran serikat buruh dan petani memang sudah memiliki lembaga yang cukup kokoh. Seperti lembaga advokasi, hukum, serta lembaga aksi.

Menyoal pudarnya progesivitas dan solidaritas, sejak Maret tahun lalu gerakan mahasiswa memang tak terdengar lagi gemanya. Aksi bakar diri yang dilakukan oleh Mahasiswa Universitas Bung Karno Sondang Hutagalung. Disusul aksi sejumlah mahasiswa yang berunjuk rasa di depan gedung DPR merupakan aksi masif terakhir yang mewarnai gerakan konsolidasi mahasiswa menolak kenaikan harga BBM kala itu. Namun kini progresivitas jauh memudar.

Menanggapi hal ini mantan aktivis mahasiswa era ’98, Adian Napitupulu mengatakan, “Sekarang tidak bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak lagi progresif. Gerakan mahasiswa yang progresif tetap ada, namun jumlahnya sedikit.”

Adian menuturkan, ini memang telah menjadi pola di dalam gerakan mahasiswa bahwa gerakan progresif jumlahnya selalu lebih sedikit. Namun, sebenarnya merekalah motor penggerak yang dapat mengkonsolidasi ke arah gerakan yang lebih besar dan kuat.

Menurutnya, unsur-unsur progresif masih ada di dalam diri gerakan mahasiwa. Tetapi yang menjadi kendala, seringkali mereka (gerakan mahasiswa) gagal mengkomunikasikan progresivitas itu menjadi sebuah kekuatan yang dapat menyatukan mahasiswa.

Terkait soal buruh dan petani, Adian mengatakan, dalam hal ini solidaritas antara mahasiswa, buruh dan petani memang belum muncul. “Mahasiswa tidak menyadari bahwa ketika mereka lulus mereka akan menjadi buruh, sedangkan buruh dan petani juga tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya butuh kekuatan mahasiswa. Kalau ingin menang, kita butuh semua elemen,” tegasnya.

Adian mengatakan, saat ini mahasiswa terjebak dengan pemahaman arti kata ‘intelektualitas’ yang semu. Banyak dari mereka (mahasiswa) yang menganggap bahwa diskusi dan menulis merupakan hal-hal intelek. Sedangkan aksi dan demostrasi merupakan hal sebaliknya. Menurutnya ini sebuah kesalahan. Intelektualitas adalah hal yang muncul dari keyakinan diri terhadap apa yang kita yakini sebagai pengetahuan.

Menurut Adian, mahasiswa sekarang tak ubahnya seperti sekumpulan orang yang berharap sebuah  pohon yang ada di hadapannya berubah menjadi kursi dan meja dengan hanya mempelajari dan dan mendiskusikan pohon tersebut.

“Inilah mahasiswa dengan bangsa ini. Seharusnya ambil golok, lalu tebang pohonnya.  Intelektualitas itu diwujudkan dengan tindakan. Kita bereksperimentasi dengan keyakinan,” tegasnya.

Di sisi lain, Adian mengatakan, buruh dan petani pun juga tidak terbuka untuk menggalang kekuatan mahasiswa. Ini terbukti, mahasiswa tidak pernah diajak berembuk untuk kasus ini. Namun, menurut Adian, nampaknya buruh dan petani masih dicengkram oleh ketakutan bahwa tuntutan normatif yang dilontarkan ini justruakan mengarah pada tuntutan politik.

“Sebenarnya kan masalah ekonomi dan politik tidak bisa dipisahkan. Buruh dan petani harus menyadari bila ada kekuatan politik besar di balik setiap kebijakan ekonomi yang dihasilkan,” ujar Adian.

Hal senada dilontarkan Ferry Widodo, Ketua Umum Organisasi Pemuda Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Menurutnya, hingga saat ini tuntutan buruh masih berkutat pada hal-hal yang bersifat normatif. Mereka hanya memperjuangkan persoalan dalam lingkup ekonomi, seperti upah, uang tunjangan, tolak PHK dan sebagainya.

Terkait progresivitas perjuangan gerakan mahasiswa saat ini, Ferry mengatakan, semestinya mahasiswa tidak lagi terkotakkan dalam isu-isu mahasiswa dan pendidikan saja. Menurutnya, bilapun buruh dan petani saat ini terkesan lebih progresif, ini sama sekali tidak  menandakan bahwa mahasiswa tidak dibutuhkan lagi dalam perjuangan ini.

Ferry menuturkan, perjuangan bukan berbicara tentang siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Untuk mencapai perjuangan kita butuh persatuan. Karena itu, baiknya mahasiswa harus sadar bahwa ini juga merupakan tanggung jawab penuh mereka.

“Menurut saya, gerakan mahasiswa akan lebih mulia bila disebut sebagai gerakan pemuda karena pemuda tidak terikat dengan isu kampus saja. Pemuda tidak berhenti berjuang hanya sampai di depan pagar kampus. Mereka itu memiliki cakupan yang lebih luas karena pemuda itu memiliki tanggung jawab multisektoral,” tegasnya.

Untuk mengemban tanggung jawab itu pun gerakan mahasiswa juga dapat melakukan cara yang lebih inovatif. Menurut Ferry, mahasiswa saat ini bisa memanfaatkan teknologi yang seluas-luasnya untuk menyebarkan wacana.

“Zaman ini merupakan zamannya mahasiswa yang ada di tahun 2013 dimana revolusi teknologi sudah terjadi. Jangan merasa terbebani dengan zaman mahasiswa pada tahun ’66, ’74, ’78, ataupun ’98 karena mereka punya semangat di zamannya masing-masing. Sekarang, manfaatkan zaman, manfaatkan teknologi sebesar-besarnya,” tandasnya. (Adea Fitriana)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Ulil Abshar: Rayakan Valentine dengan Bertanggung jawab
Next post “Di Balik Frekuensi”, Menguak Kejahatan Media