Judul: Perempuan Berbicara Kretek
Penulis: Abmi Handayani, dkk
Penerbit: Indonesia Berdikari
Tahun terbit: Januari 2012
Harga: Rp45.000,-
Tebal : 320 halaman
Nomor ISBN: 978-602-99292-18
Di negeri dengan sistem patriarkhal yang melekat dalam keseharian masyarakatnya, tidak mudah bagi seorang perempuan untuk berekspresi. Ada banyak hal yang tak pantas dilakukan oleh perempuan. Mereka seakan-akan berada dalam ruang yang memiliki garis demarkasi antara yang pantas dan tak pantas dilakukan. Sayangnya, hal yang tidak pantas dilakukan perempuan justru sangat leluasa dilakukan oleh laki-laki tanpa ada pandangan miring terhadapnya.
Salah satunya adalah pandangan miring masyarakat terhadap kretek. Tindakan mengkretek yang dilakukan oleh laki-laki, dinilai sebagai hal yang biasa. Namun, apabila seorang perempuan terlihat sedang mengkretek, maka akan dilabeli perempuan “nakal”.
Buku berjudul Perempuan Berbicara Kretek ini mengulas ragam informasi dunia kaum perempuan berkaitan dengan produk kretek, baik itu aspek historis maupun antropologis. Buku ini juga menyorot perkembangan anti kretek yang cukup meresahkan bagi para penulis, meski tidak semua penulis buku ini adalah pengkretek. Mereka menulis tidak hanya untuk menyuarakan hak perempuan, tetapi juga untuk mempertahankan identitias dan penyangga ekonomi dan budaya Indonesia.
Secara umum, buku ini dibagi dalam empat bab. Bab “Ritus Keseharian” membahas tentang kehadiran kretek dalam keseharian. Tulisan Abmi Handayani yang berjudul “Candu Jawa” (hlm.3), berkisah tentang pengalaman Abmi ketika mengkretek di salah satu angkringan dekat Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menceritakan, muda-mudi di angkringan tersebut sering meliriknya sambil berbisik tak suka karena di antara jari telunjuk dan jari tengahnya tersembul rokok. Bagi mereka, perempuan yang merokok sangat jauh dari moralitas.
Abmi membantah perihal moralitas itu dengan mengulas kembali sejarah di Indonesia. Tembakau, cengkeh, dan tanaman-tanaman di Indonesia yang dihasilkan menjadi kretek merupakan warisan dari nenek moyang Indonesia, yaitu Rara Mendut. Sejarah ditemukannya kretek dan diperdagangkan pun bermula di Indonesia, yaitu di Masjid Kudus oleh Sunan Kudus. Nama Djamhari, Nitisemito, dan Nasilah semakin jauh dari sejarah negeri ini. Apalagi jika kretek dihilangkan dari Indonesia. Semakin tenggelam sejarah-sejarah yang pernah terukir di Indonesia.
Bab “Perempuan di Samping Stigma” membahas bagaimana stigma buruk terhadap perempuan pengkretek yang hadir di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Tulisan Retno Suyoko bertajuk “Celakanya, Sudah perempuan, Perokok Pula !” (hlm.115) yang menceritakan pandangan masyarakat. Bagi mereka, jejak perempuan perokok melangkah menuju sosok yang ditakuti, atau perempuan “nakal” yang bisa diajak berfantasi. Bagaimana dengan laki-laki? Mereka yang merokok justru dianggap maskulin. Kaum perempuan saja bisa masuk dalam kelompok marjinal, apalagi kaum perempuan perokok.
Pada bab “Dalam Pusaran Arus Zaman”, Bonchie Yoska menyuarakan pendapatnya tentang peranan tembakau di negara Indonesia yang makin tenggelam seiring berkembangnya zaman dalam tulisan berjudul “Yang Terlupakan” (hlm. 171). Padahal, tembakau merupakan sumber kekayaan Indonesia, karena tembakau yang baik hanya dihasilkan di daerah-daerah tertentu, salah satunya negara kita ini. Sebanyak 6,1 juta jiwa bekerja karena tembakau. Cukai industri hasil tembakau menyumbang Rp54,5 triliun untuk negara. Siapkah pemerintah jika benar-benar mengambil kebijakan untuk meniadakan tembakau?
Sedangkan bab terakhir yang berjudul “Kretek, Budaya, dan Keindonesiaan”, tulisan Devi Dwiki berjudul “Perempuan, Tembakau dan Lahbako” (hlm.257) mengulas tentang hubungan antara kretek dengan budaya tari Lahbako, tarian yang berasal dari Jember. Tarian tersebut dibuat pada tahun 80-an atas prakarsa Bupati Jember selaku bentuk penghargaan terhadap besarnya peran perempuan Jember dalam industri tembakau. Tarian ini bercerita tentang proses pengolahan tembakau mulai dari panen hingga pengemasan. Jika masyarakat Jember saja mau menghargai warisan budaya dengan mengapresiasikannya ke dalam tarian, bagaimana dengan masyarakat lain?
Buku yang terbit tahun 2012 ini ditulis dalam bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Tulisan yang diangkat dari para penulis berlatar belakang Sarjana Ekonomi Universitas Sebelas Maret, aktivis perempuan, bendahara umum partai politik, mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dan berbagai latar belakang lainnya, mampu menyadarkan pembaca bahwa tembakau dan kretek memiliki banyak nilai tersembunyi untuk perempuan dan Indonesia.(Gita Juniarti)
Average Rating