Perangai aneh Intan itu tidak disukai Mega, mereka telah dua tahun merantau bersama mencari ilmu di kota besar, tinggal di kontrakan yang sama, hidup bersama. Selama itu mereka saling terbuka, kedekatan emosi sudah terbentuk sangat erat walaupun tidak berangkat dari asal daerah yang sama. Perasaan yang membebani masing-masing setiap malamnya diutarakan, dan biasanya menghasilkan keinginan untuk membantu memecahkan masalah.
Malam setelah mendapat kabar kematian Ibunya, Intan bercerita kepada Mega, namun hanya sekadar itu. Mega hanya bisa berkata “Aku turut berduka…” dengan menunggu pernyataan Intan selanjutnya. Tak ada lagi ungkapan yang terlontar dari bibir Intan, pupus harapannya. Mega tidak bisa membantunya, karena memang tak ada yang bisa dia lakukan selain ikut bersimpati.
Malam itu sangat pendek bagi Mega, tak ada malam panjang yang dia lalui bersama Intan. Tak ada lagi percakapan, setalah bercerita Intan langsung tidur. Tangannya menutupi mata, seperti tak ada yang ingin dia ketahui lagi dari malam, waktu ingin dilaluinya dengan cepat.
Mega hanya terdiam, menutupi kekesalan pada Intan. Dia tahu temannya itu sedang ditimpa masalah yang besar, tapi dia merasa tidak nyaman dengan perangai Intan sekarang. Tak ada teh dan diskusi malam itu. Malam itu adalah malam terakhir mereka, karena masa kuliah satu semester telah dijalani. Esok adalah waktu kepulangan mereka ke kampung halaman masing-masing.
Di stasiun, mereka menunggu kereta. Intan menunggu kereta yang menuju Jogja, untuk kemudian turun di Purwokerto dan melanjutkan perjalanan dengan bus menuju Wonosobo, kampung halamannya. Sedangkan Mega menunggu kereta menuju Semarang. Mereka duduk bersama di kursi peron, membawa koper besar-besar berisi penuh barang. Hanya satu koper yang dibawa Mega, dan Intan membawa dua koper seakan mau pindahan.
“Kenapa kau bawa semua barangmu, Mbak?”
“Barang kali, aku tidak kembali”
Sungguh menggembirakan, bibir Intan berucap namun jawabannya menyakiti hati Mega.
Suasana di stasiun sangat ramai, seperti stasiun-stasiun lain di Jakarta. Bukan hanya penumpang yang akan menikmati jasa kereta tetapi juga banyak pedagang. Di luarnya menjadi pasar, banyak penjual yang menjajakan minuman, makanan ringan, dan buah tangan. Para pedagang menjajakan dagangannya sampai pada bahu rel. Relnya juga disebrangi banyak kendaraan.
Kereta menuju Jogja telah tiba. Intan beranjak dari kursi, Mega masih menunggu keretanya. “Aku duluan, Meg.”
Mega tercengang mendengar ucapan Intan hingga tak sempat membalasnya. Sosok Intan pun hilang dari pandangan, bersama kereta yang membawanya. Mega tak sempat pula mengembalikan buku catatannya yang tertinggal di kursi.
***
Di dalam kereta, Intan masih mencari tempat duduk sesuai nomor tiket. Tak ada seseorang pun di gerbong itu. Gerbong itu kosong, kursi-kursi di kanan-kiri tak berisi, dicahayai pintu gerbong yang terbuka lebar di depan. Hanya Intan yang sedang menulusuri gerbong. Kursi telah ditemui, dia duduk menghadap jendela, memandangi cakrawala. Dia sendiri, kesunyian mendukung untuk merenung.
“Apakah aku harus benar-benar pulang, untuk apa aku pulang jika harus menjemput kesedihan. Ibu tidak ada, pasti terasa ada yang kurang di rumah. Ada yang berkurang pada diriku. Aku belum melihatnya, sejak tahu kabar dia sedang sakit. Aku tidak sempat menjenguk karena ada ujian, dan dia menyarankan tidak pulang sebelum ujian selesai. Aku tidak melihatnya untuk terakhir kali, sebelum dimakamkan, aku harus menyelesaikan ujianku. Kini aku hanya akan melihat nisannya, aku ingin bertemu denganmu Ibu!”. Mata Intan seperti kaca jendela yang berembun seakan sedang menahan sakit yang sangat dalam.
Sesal Intan tak henti-hentinya membayangi. Dia hanya bisa menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, menutup mata, menahan air mata. Tetap saja satu butir air mata mengalir turun ke pipinya.
***
Intan telah sampai di kampung halamannya, di Wonosobo tepatnya di Dieng. Bukan rumah yang langsung disambanginya, tapi telaga warna, dia ingin menenangkan diri. Seperti di gerbong tadi, telaga tersebut sepi, tak ada pengunjung, kabut tipis menyelubungi ilalang, semak-semak dan pohon rindang.
Intan berjalan menyusuri jalan setapak yang mengelilingi telaga, berteman kabut. Kemudian dia duduk di pohon tumbang menghadap telaga, tak ada yang dilakukannya, hanya sesal yang menggelayut ditubuhnya.
Mata Intan memandang telaga, memandang air yang tenang.
“Aku ingin jadi sepertimu, telaga. Tenang, tak ada kegelisahan di dalamnya. Kau dilindungi kabut, semak-semak dan pohon rindang. Aku? Tak ada lagi sekarang, selama ini yang melindungiku adalah Ibu. Kau pun jika tak ada pohon rindang, semak dan tak berkabut hanya akan jadi telaga biasa. Apa jadinya denganku?”
Mata Intan terkesiap pada sosok yang berada di seberang telaga. Sosok tersebut diselimuti kabut, tinggi, besar dengan rambut pendek. Intan rasa itu Ibunya, dia berlari menuju bayangan itu.
“Ibu…Ibu…”, teriak Intan.
Dengan penuh haru, Intan berlari mengejar sosok itu. Tak ada yang didapatinya, sosok itu seperti lenyap bersama kabut.
“Kini aku harus ke mana, sunyi sekali di sini. Aku tak ingin pulang ke rumah, jika aku pulang makin sakit hatiku ini. Aku ingin pergi jauh, mungkin ke Semarang, ke rumah Mega”.
***
Di Semarang, Mega telah sampai di rumah. Badannya lemas, telah melakukan perjalanan jauh. Dia langsung menuju kamar untuk istirahat.
Tidak lama kemudian, telepon genggamnya berbunyi, ayah Intan memanggil. Mengabarkan bahwa kereta yang ditumpangi Intan Anjlok dan terguling, Intan meninggal di perjalanan menuju Purwokerto. Mega tak tahu harus bilang apa. Dia tercengang seperti saat terakhir kali bertemu Intan.
Kini kamar Mega dihampiri sunyi, jam dindingnya berputar cepat dan berdentang kencang. Sunyi tersebut mengingatkan Mega akan kenangannnya bersama Intan. Mega pun melanjutkan kisahnya bersama Intan dalam buku catatan tersebut. (Vita)
Average Rating