Dok. Pribadi |
UIN Jakarta, INSTITUT- Bagi kebanyakan orang, sampah merupakan sisa-sisa makanan atau barang bekas yang kotor dan menjijikan. Namun, tidak bagi Muhtadi, alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) angkatan 2000 ini melihat sampah dari sudut pandang berbeda. Ia melihat sampah sebagai sebuah potensi yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Dosen Pemberdayaan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) ini mengatakan, selama ini semua sampah dari kota Tangerang Selatan (Tangsel) dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di kota Tangerang, karena Tangsel tidak memiliki TPA sendiri. “Sementara, kalau sampah dari Tangsel ditolak oleh TPA kota Tangerang, bagaimana? Sampah akan terus menumpuk” ujarnya, Rabu (18/12).
Karena hal tersebut, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Simbol, FIDIKOM periode 1996-1997 ini merasa perlu untuk melakukan suatu hal yang dapat mengatasi masalah sampah, minimal di lingkungan tempat tinggalnya. Ia pun berinisiatif untuk membuka Bank Sampah di Perumahan Muslim Al-Falah 3, Tangsel.
Melalui program Bank Sampah, pria kelahiran Serang, 01 Juni 1975 ini ingin mengubah cara pandang masyarakat terhadap sampah serta mendidik masyarakat tentang bagaimana cara mengelola sampah. Sehingga, selain memanfaatkan sampah sebagai kerajinan, masyarakat juga dapat ikut serta dalam menyehatkan lingkungan.
Muhtadi mengatakan, program Bank Sampah ini memiliki fungsi sebagai pemberdayaan masyarakat terhadap sampah, “Artinya, masyarakat dilatih dan diberi pemahaman tentang potensi sampah yang layak jual. Selain itu, masyarakat juga dapat berperan aktif dalam proses pengelolaannya,” jelas mantan Redaktur Pelaksana Majalah INSTITUT periode 1995-1996
Ia pun menuturkan, sistem yang digunakan dalam Bank Sampah adalah sistem tabungan. Masyarakat bisa datang membawa sampah unorganic ke Bank Sampah untuk dijual. Lalu, sampah tersebut ditimbang dan dicatat harganya di buku tabungan. “Setelah satu tahun, masyarakat baru bisa mengambil uang tabungannya,” katanya.
Menurut Muhtadi, masyarakat sangat antusias dengan hadirnya Bank Sampah di lingkungan mereka. Hal itu terbukti ketika selesai pengajian ibu-ibu, mereka memungut sampah plastik bekas air mineral di sekitar tempat pengajian untuk dijual ke Bank Sampah.
Namun, mengelola Bank Sampah tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, Muhtadi harus berjuang dan tekun agar Bank Sampah dapat terus berjalan. Ia bercerita, dirinya sempat bersitegang dengan para pemulung yang tidak suka dengan hadirnya Bank Sampah, karena dianggap mengurangi penghasilan mereka.
“Pada akhirnya kami dapat menyelesaikan masalah tersebut secara damai, dan Bank Sampah dapat tetap berjalan,” tutup mantan Staf peneliti Lembaga Penerangan, Pelatihan dan Penelitian Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta periode 2002-2004.
(Mualiyah)
Average Rating