Read Time:3 Minute, 59 Second
Kamis 25 September yang lalu, Auditorium Harun Nasution seharian dipenuhi oleh peserta Seminar Nasional. Seminar yang bertemakan “Islam dan Politik Indonesia Mendatang” ini dihadiri oleh mayoritas mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, serta sejumlah pimpinan fakultas dan dosen. Arahnya, bagaimana kita membangun kebudayaan yang berkarakter. Asumsinya, kebudayaan kita ini adalah kebudayaan hybrida, pertemuan, perpaduan dan proses dialog yang kreatif dari berbagai kebudayaan masyarakat. Hingga saat ini, proses ini terus berlangsung, tidak berhenti.
Dari sisi keberagamaan, Indonesia tidak saja mendapatkan pengaruh dari berbagai agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan, tak sedikit kita jumpai perpaduan, integrasi atau akomodasi antar nilai-nilai atau tradisi dari berbagai agama yang ada, bahkan dengan local tradition sekalipun. Sebagai sebuah kebudayaan besar, tidaklah mudah untuk menjaga, melangsungkan dan apalagi membangun.
Corak kebudayaan seperti ini menjadi basis penting bagi kehidupan dan pembentukan tradisi/corak politik kita. Inilah yang menjadi argumen penting bagi teori politik aliran (political stream theory). Teori ini menegaskan bahwa arus kebudayaan kita akan besar sekali mewarnai arus politik. Jika mengacu basis teoritis klasiknya Clifford Geertz tentang Trikotomi Priyayi (nasionalis), Santri (Islam), dan Abangan (komunis), sebagaimana diterapkan pada masa Orde Lama, banyak penolakan dari berbagai kalangan. Akan tetapi, itulah yang juga menjadi keyakinan Soekarno selaku presiden RI kala itu. Bagaimana dengan aliran kebudayaan dan politik Indonesia saat ini, tentulah tidak sama.
Demokrasi di Indonesia sangat unik dan khas karena mencakup soal agama, local wisdom, termasuk tradisi ketimuran. Meski ide awalnya dari Barat, demokrasi telah mengalami proses domestikasi yang sangat berarti di negara yang mayoritas muslim. Tentu saja sebagai proses kultural sekaligus sebagai isu akademik, ini juga tidak gampang mempertemukan, berdialog antara Islam dengan demokrasi. Perdebatan panjang telah berlangsung dan melibatkan tidak sedikit tokoh dan pemimpin sosial keagamaan dan politik serta akademisi.
Mengapa panjang perdebatan ini? Karena, tidak saja menarik secara akademik akan tetapi juga penting dalam rangka mencari dan menemukan model Islam dan demokrasi yang applicable untuk Indonesia. Pertanyaannya tidak lagi boleh (halal) atau tidaknya (haram) menerapkan demokrasi untuk orang Islam, tidak sekadar menolak demokrasi karena produk Barat sebagaimana keyakinan atau pandangan kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesa (HTI).
Islam dan demokrasi, bukanlah kulit akan tetapi substansi dan esensi. Hajriyanto Y. Thohari, salah seorang pembicara seminar Islam dan politik tempo hari itu. Mengajukan pertanyaan: “milih yang mana partai de-ngan simbol-simbol Islam tapi kotor karena korupsi, atau partai apa pun tanpa simbol Islam tapi memperjuangkan sesuatu yang substansinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam” misalnya kejujuran, keadilan dan sebagainya. Inilah salah satu persoalan pokok Islam dan politik di Indonesia, memperjuangkan apa dan untuk apa?
Sebetulnya, banyak yang mengakui sebetulnya bahwa dari sisi prosedur, demokrasi di Indonesia berjalan dengan sangat baik. Pemilu sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia kemarin menunjukkan bahwa Indonesia telah sukses melampaui aspek prosedural. Soal puas dan tidak puas, ada tuduhan kecurangan dan sebagainya, bisa diselesaikan dengan prosedur yang tersedia. Memang mahal procedural democracyini. Tak semua negara bisa selenggarakan pemilu besar dengan aman dan stabil. Saya kira, ini ada soal awareness, ada komitmen untuk tetap bersahabat dengan baik meskipun tajam perbedaan pilihan ideologi politiknya.
Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari soal pemilu ini, ialah soal partai Islam. Ternyata, perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pemilih yang ma-yoritas beragama Islam ternyata sangat sedikit menentukan pilihannya kepada partai-partai Islam ini. Jadi, tidak ada korelasi antara anutan atau kepercayaan kepada kebenaran ajaran Islam dengan pilihan kepada partai Islam. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit.
Apa yang dikatakan almarhum Cak Nur soal ‘Islam Yes, Partai Islam No’ benar-benar nampak dengan kasat mata. Partai-partai Islam semakin kehilangan trust. Pasti ada yang salah dari partai-partai Islam ini. Kasus yang sangat mencolok tentu saja, antara lain; (1) keterlibatan aktivis dan tokoh penting partai Islam dalam kasus korupsi. Kasus ini tidak saja memperpuruk partai, akan tetapi juga menampar dan membuat malu orang Islam. (2) Tidak seriusnya partai Islam untuk memperjuangkan sesuatu untuk kemaslahatan masyarakat.
Partai-partai Islam telah gagal memanfaatkan demokrasi sebaik-baiknya secara prosedural untuk memenangkan pemilu. Tentu saja ini tidak sekadar mencederai partai, akan tetapi juga syariat Islam bahkan Islam itu sendiri. Atas nama kesucian agama dan syariat, ternyata syahwat kekuasaan dan ekonomi yang dicari.
Uraian di atas tentu peran civil society menjadi sangat penting dan strategis. Civil society ini adalah kekuatan orang-orang secara personal maupun kelompok yang sadar sesadar-sadarnya bahwa pemerintahan itu dibentuk untuk melayani masyarakat, mengayomi masyarakat, menciptakan keadilan, ketenangan, keamanan dan ketertiban. Pemerintah harus menjadi teladan yang mengarahkan masyarakat kepada tujuan moral yang luhur. Kekuatan civil society itu banyak, ada pers, kalangan profesional, akademisi, ulama, lembaga pendidikan, ormas, dan juga partai. Mereka harus kerja sama untuk memperkuat posisi dan peran-peran mulianya agar tidak terjadi penyelewengan.
*Penulis adalah Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan UIN Jakarta
Average Rating