Read Time:3 Minute, 43 Second
Diabsahkannya undang-undang pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah bentuk paling nyata dari pengingkaran wakil rakyat terhadap hak politik orang banyak. Kekalahan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden Juli lalu membuat persekongkolan yang apik dengan partai-partai untuk menarik mundur jarum sejarah, mengembalikan kedaulatan rakyat ke pangkuan golongan tertentu.
Keberhasilan Koalisi Merah Putih yang mendukung pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada voting di Senayan itu me-ngakhiri pemilihan langsung yang dibangun sembilan tahun silam. Alhasil, setelah RUU usulan pemerintah yang diundang-undangkan, para politikus partai telah menjadi penentu tunggal kepemimpinan di 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota di Indonesia. Jumlah itu akan terus bertambah karena politikus juga terus membentuk daerah otonomi baru.
Tak bisa dipungkiri lagi keputusan itu jelas mempertebal tembok yang memisahkan kepentingan partai dengan hajat orang banyak. Sejatinya, sejumlah jajak pendapat telah menyimpulkan mayoritas rakyat masih menginginkan pemilihan langsung kepala daerah. Kita semua sepakat pemilihan langsung kepala daerah masih jauh dari kata sempurna, kritik terbesar adalah besarnya ongkos politik.
Bukan hal yang tabu fenomena kandidat harus membeli pencalonan ke partai atau koalisi partai, menyogok pemilih menjelang pemungutan suara hingga menyediakan pengacara jika muncul sengketa hasil pemilihan. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyimpulkan mahalnya ongkos politik menjadi biangnya korupsi.
Dalih Bos Besar di Kementerian Dalam Negeri itu sebenarnya gampang dipatahkan. Ongkos politik yang tinggi malah muncul akibat ‘kegagalan’ partai-partai politik dalam mengusung kandidat yang tangguh dan disukai masyarakat. Di sejumlah daerah kandidat yang mempunyai track recordbaik tak mengeluarkan ongkos tinggi untuk memenangi pemilihan. Tengok saja Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, dan Ridwan Kamil di Bandung merupakan sebagian kecil dari pemimpin-pemimpin daerah yang tak banyak mengeluarkan biaya politik. Bahkan, Gamawan pun tak perlu ongkos banyak dalam memenangkan pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada 2006 lalu.
Perihal ongkos politik yang tinggi sebenarnya bisa ditekan dengan berbagai macam perbaikan. Mi-salnya, pelaksanaan pemilihan secara serentak, pembatasan biaya kampanye, juga menentukan kandidat yang memiliki track record yang baik. Mengembalikan pemilihan ke DPRD tak menjamin bakal menghilangkan ongkos tinggi. Justru potensi suap dan politik uang akan makin merajalela. Bahkan politik uangnya lebih sistematis karena cukup diberikan kepada beberapa ratus anggota DPRD agar sang kandidat bisa terpilih. Mungkin bahasa sederhananya siapa yang paling banyak menyuap anggota DPRD dialah yang jadi pemenang.
Berbeda dengan pemilihan langsung. Jika diamati, politik uang kepada pemilih dapat diragukan efektivitasnya karena tak menjamin politik uang bisa membeli suara. Atau kalau menurut istilah orang Jawa dikenal dengan sebutan ‘madep mungkur ati’. Artinya masyarakat menerima apa yang telah dikasih (kandidat) tapi belum tentu memilih.
Menyerahkan pemilihan kepala daerah kembali ke tangan DPRD tak hanya menarik jarum sejarah, tapi juga membahayakan demokrasi di Indonesia. Hampir semua partai dikuasai oligarki. Pada akhirnya partai hanya menjadi semacam kartel. Para pemilik modal mempengaruhi keputusan-keputusan penting partai dan bisa dipastikan kelak termasuk penentuan calon kepala daerah. Raja-raja kecil akan menjadi pelayan bagi DPRD.
Padahal jika anggota dewan sempat membaca dan memahami risalah Bung Karno yang berjudul ‘Mencapai Indonesia Merdeka’, tergambar jelas bahwa prinsip kedaulatan di tangan rakyat itu bermakna rakyat sebagai pemegang kekuasaan meliputi pemerintahan rakyat itu semua urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs (pendidikan), urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa saja dan terutama urusan ekonomi, haruslah di bawah kecakrawatian (kekuasaan tertinggi) rakyat.
Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak bisa direduksi hanya sekadar hak memilih, baik memilih badan perwakilan maupun pejabat eksekutif dalam bilik suara setiap lima tahun sekali. Namun, rakyat sebagai pemegang kekuasaan mengisyaratkan adanya partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Karena itu, perdebatan soal kualitas demokrasi di pilkada tidak serta merta hanya berhenti pada soal teknis memilih pemimpin, tetapi juga menyangkut penciptaan ruang bagi partisipasi rakyat dalam membuat kebijakan dan memastikan pelaksanaannya.
UU Pilkada sejatinya menjadi pelajaran penting bagi kita semua terutama mahasiswa. Sebagai agen perubahan mahasiswa sejatinya harus sadar bahwa demokrasi yang telah dibangun di atas genangan darah dan keringat rakyat telah dibunuh oleh orang-orang yang katanya mewakili rakyat. Marco Kartodikromo pernah bilang ‘didik masyarakat dengan pergerakan, didik penguasa dengan perlawanan.’ Penulis berharap UU Pilkada ini menjadi pemantik bagi bangkitnya gerakan mahasiswa untuk satu tujuan bersama yakni ‘mengembalikan kedaulatan rakyat’.
Mengutip puisi Wiji Thukul, bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN!
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta
Average Rating