Read Time:2 Minute, 33 Second
2016 serentak seluruh universitas di Indonesia menerapkan Permendikbud No. 49 Tahun 2014. Peraturan yang mengatur mahasiswa strata satu (S1) harus menyelesaikan kuliahnya maksimal 5 tahun. Alasannya, agar mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Kalau kuliah tidak lulus-lulus akan menjadi beban negara,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim.
Pro-kontra pun bermunculan. Mahasiswa yang setuju menjadikan Permendikbud sebagai motivasi agar cepat lulus. Orientasi yang terbangun selama ini, kuliah untuk mencari pekerjaan yang layak. Jadi bisa dilihat betapa lakunya Job Fair yang diadakan berbagai perusahan untuk menjaring para Fresh Graduate. Berharap, dengan bekal ijazah dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) amat baik atau bahkan cumlaude para sarjana dapat mendapat pekerjaan yang diinginkannya.
Namun jika melihat Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2014, pengangguran bergelar sarjana mencapai 398.298. Bak lagu Iwan Fals “Sarjana Muda” yang menenteng ijazah dari satu perkantoran ke perkantoran lainnya. Jika meminjam perkataan H.A.R Tilaar pendidikan kita mencetak robot yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu untuk apa dipergunakan.
Dalam teori nilai tenaga kerja, tenaga kerja atau buruh merupakan sumber seluruh kekayaan. Keuntungan yang didapat oleh kapitalis menjadi dasar eksploitasi tenaga kerja, sederhananya membayar upah buruh kurang dari selayaknya yang diterima. Kemudian nilai surplus itulah yang disimpan dan diinvestasikan kembali oleh kapitalis.
Lalu jika diibaratkan robot atau mesin, maka robot tersebut telah dipersiapkan selama 5 tahun untuk menjadi basis eksploitasi. Basis eks-ploitasi yang tersedia bukan sedikit, malah ada 398.298 yang menunggu untuk dieksploitasi. Kapitalis tak perlu sulit mencari, bahkan setiap harinya akan ada yang datang untuk dieksploitasi.
Setelah mengatur lamanya studi apakah pemerintah mengatur lama-nya seseorang menganggur dan memastikan setiap lulusan S1 dengan ijazahnya mendapat kepastian untuk mendapat pekerjaan? Jika tidak kita dapat melihat indikasi bahwa pemerintah hanya menghasilkan sapi perah dari sistem pendidikan 2016 nanti.
Kemudian patut dipertanyakan, ke mana arah pendidikan saat ini? Apakah hanya dipersiapkan menjadi robot atau seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara bahwa esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pertanyaan tersebut diri kita sendirilah, “mahasiswa” yang dapat menjawabnya.
Dilihat dari etimologi, mahasiswa berasal dari dua suku kata yaitu, kata ‘maha’ dan ‘siswa’. Kata ‘maha’ berarti besar, paling, ter, sangat. Sedangkan siswa berasal dari kata ‘murid’ dari kata ‘iradatan’ yaitu orang yang mencari pengetahuan di tingkat sekolah dasar, menengah. Jadi, sebagai seorang yang tingkatannya paling tinggi dalam mencari pengetahuan seharusnya, mahasiswa dapat dengan sendirinya menentukan kapan dirinya akan lulus.
Bangku perkuliahan tidaklah sama dengan masa studi SD sampai SMA. Kuliah bukan hanya duduk manis dan mengerjakan tugas makalah, kemudian mendapat IPK amat baik bahkan cumlaude. Pentingnya proses kesadaran seseorang akan kebutuhan ilmu yang tidak didapatnya dari bangku perkuliahan sangatlah penting. Jika mahasiswa sudah disibukkan dengan pelbagai tugas bagaimana proses kesadaran tersebut terbangun.
Membangun sebuah proses penyadaran dalam 5 tahun tidaklah cukup. Pembatasan studi menjadi salah satu bentuk pengekangan jika alasannya menjadi beban negara. Beban negara adalah koruptor bukan mahasiswa yang lama lulusnya! Bisa dilihat apakah politisi yang duduk di DPR RI dahulu hanya kuliah saja? Dan Apakah dahulu reformasi dibangun hanya dengan duduk manis di dalam kelas?
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta yang menjadi beban negara
Average Rating