www.sadargiz.com
|
Read Time:2 Minute, 20 Second
Berdiskusi dan membaca dirasa tak lagi menjadi kebutuhan. Kesadaran akan pentingnya kebutuhan tersebut digalakan berbagai forum diskusi untuk menjaga nilai intelektual dan akademis mahasiswa. Undangan untuk mengikuti forum diskusi pun dilakukan, ajakan perseorangan, menyebar pamflet dan leaflet secara langsung maupun media sosial juga sudah dilakukan, tetapi hasilnya nihil.
Hal demikian dialami anggota aktif Forum Diskusi Ciputat (Formaci) Abdallah, menurutnya, forum diskusi dan kajian di UIN Jakarta terancam punah. “Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) misalnya, hanya 10 sampai 15 orang saja anggota yang aktif mengikuti diskusi. Padahal di UIN Jakarta ada sekitar 22.000 mahasiswa aktif, itu sisanya pada ke mana?” ujar mahasiswa semester 11 Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora, Rabu (1/10).
Pergantian Student Government (SG) ke Senat dirasakan Abdallah sangat berpengaruh terhadap gairah berdiskusi mahasiswa. Saat masa SG, kata Abdallah, semarak kajian sangat terasa. Tapi, sistem perkuliahan saat ini dengan beban SKS yang padat menuntut mahasiswa untuk cepat lulus. “Saya melihat sistem kampus yang seperti itu berimbas pada forum diskusi” paparnya.
Senada dengan Abdallah, Kordinator forum diskusi Komoenitas Lesehan Keboedajaan (Kolekan), Azami menjelaskan, sejak pergantian SG ke senat, Kolekan vakum beregenerasi. “Hampir setengah tahun kita mati suri atau collapse pada 2010-2011,” jelas mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Rabu (1/10).
Sedangkan Andi Kristianto, Pembina Lembaga Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan, forum diskusi mesti meninjau kembali metode dan pola berdiskusi agar mahasiswa mau bergabung. Menurutnya, forum diskusi perlu memanfaatkan semua saluran komunikasi saat megundang mahasiswa untuk berdiskusi. “Harus kreatif saat mengajak orang lain,” paparnya ketika dihubungi INSTITUT, Rabu malam (1/10).
Inovasi dan perubahan telah dilakukan oleh Kolekan dan Formaci dalam menarik mahasiswa untuk ikut serta dalam forum diskusi. Azami mengatakan, Kolekan telah mengubah gaya diskusi yang bersifat ortodoks. Selain itu, lanjut Azami, menyambangi tempat kajian baru seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) juga menjadi inovasi Kolekan. “Saat mengadakan diskusi, Kolekan juga mengundang teman-teman Institut Kesenian jakarta (IKJ) agar memantik motivasi peserta diskusi,”paparnya.
Berbeda dengan Kolekan, untuk mengajak mahasiswa mengikuti forum diskusi, Formaci menggunakan media sosial dalam menyebarkan pamflet dan leaflet. Namun, menurut Abdallah, mahasiswa sekarang tidak peduli akan berdiskusi, ketertarikan mereka terhadap diskusi sangat kurang. “Padahal, diskusi itu kebutuhan dan harus didasarkan oleh kesadaran, saya sendiri tidak bisa memaksa mahasiswa lain untuk ikut berdiskusi,” jelasnya.
Pentingnya mengikuti diskusi diakui oleh Andi Kristianto. Ia memaparkan, berdiskusi dapat melatih kecakapan berkomunikasi maupun beradu argumentasi dengan orang lain dalam berbagai hal. Sejatinya, ujar Andi, kesadaran dapat muncul dan tumbuh secara alami dalam diri seseorang. “Kesadaran itu mudah menular, sebagaimana kemalasan yang juga mudah menjadi wabah yang merusak kita,” ungkapnya.
Abdallah bercerita, rezim represif yang membayangi pada tahun 80-an membuat mahasiswa lebih kritis dengan membentuk forum-forum diskusi. Namun, pascareformasi ia mempertanyakan daya kritis mahasiswa. “Bagaimana bisa kritis kalo mahasiswa sekarang dininabobokan di Seven Eleven dan Starbucks?” tegas Adballah.
Adi Nugroho
Average Rating