img.okezone.com |
Read Time:6 Minute, 4 Second
Oleh: Afsir Mlajah
Aku duduk termangu sambil memandang kosong lobi gedung mewah ini. Beberapa orang lalu lalang, bercakap-cakap, tertawa. Beberapa orang duduk bergerombol di sisi-sisi lobi, satu dua menunduk mengutak-atik telepon genggam androidnya, dua tiga entah membahas apa, heboh rasanya. Suasana yang tak asing lagi bagiku. Ya, dulu, dua belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku duduk termangu, di tempat yang sama, di lobi ini. Sudah delapan tahun semenjak hari kelulusanku, aku tak pernah kembali ke kota ini, ke tempat ini. Apa kabar kampusku?
Baru saja masuk halaman kampus, rasa itu kembali datang. Rasa yang selalu membuatku bersemangat untuk melangkahkan kakiku pagi-pagi. Delapan tahun bukanlah hal yang mudah untuk merasakan suasana ini kembali. Mahasiswa-mahasiswa lalu lalang, menggendong tas, membawa buku-buku, sebagian menjingjing lembaran fotokopi makalah, segelintir menghentikan langkahnya, membaca selembaran pamflet yang ditempel di papan pengumuman. Begitulah suasana dua belas tahun yang lalu saat pertama kali aku masuk perkuliahan.
Namun ada sesuatu yang berubah, ada satu yang hilang dari keramaian ini. Itulah alasan mengapa aku duduk termenung di lobi ini. Ada yang salah? Apa yang salah dengan keramaian ini? Aku mengedarkan pandanganku, mencari sisa-sisa masa laluku yang kini tak kudapati. Dimana? Dimana letak perbedaan itu?
Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Aku hanya menatap datar sekitar. Sejenak kupejamkan mata, mencoba mengingat apa yang hilang. Satu menit, dua menit. Seseorang berjalan melewatiku. Dua menit sepuluh detik. Kubuka kelopak mataku, tersenyum getir. Benar dugaanku. Ada yang hilang, ya, ada yang hilang. Aroma kopi tubruk!
Bagaimana bisa aku lupa mengingatnya? Padahal aroma kopi itulah yang selalu menyambutku dan mahasiswa-mahasiswa lainnya di gedung ini setiap pagi, saat kaki-kaki melangkah mantap menuju warung yang terletak pas di samping gedung. Ah, dimana warung itu sekarang? Dimana?
Lelah kutatapi setiap detail ruangan di lantai dasar gedung bertingkat empat ini. Nihil, ternyata warung itu sudah disulap menjadi tempat parkir sepeda motor. Aku mengernyitkan dahi, bertanya dalam hati, jikalau warung itu tidak ada, pastilah hanya pindah tempat. Buktinya, aroma kopi itu masih ada, meski bukan kopi tubruk seperti yang disukai oleh teman-teman seperjuanganku dulu. Siapa tahu saja Bu Sri, si pemilik warung itu sudah berganti merk. Mungkin saja begitu bukan?
Aku mangut-mangut, mengiyakan pertanyaanku sendiri. Lantas kulepas pandanganku menyisiri sekeliling lobi ini. Ah, itu dia! Gumamku dalam hati. Lekas kulangkahkan kaki menuju sudut lobi gedung. Ruangan itu tak begitu besar, tapi bila dibandingkan dengan warung Bu Sri yang dulu, ruangan itu lebih besar.
Saat masuk ke dalam ruangan, seorang penjaga, lelaki muda berperawakan hitam manis memperhatikan gerak-gerikku, menatapku penuh tanda tanya, lantas menyebut sebuah nama.
“Mas Jufri? Mas Jufri!” Lelaki itu berseru girang.
Aku melipat dahi, siapa?
“Ini aku Mas, Ridwan!” Lelaki itu memelukku. “Yo opo kabhare Mas?” sapanya.
Ridwan? Nama yang tak asing di telingaku. Tapi siapa? Sedetik, dua detik, sepuluh detik. Ah ya! Ridwan anaknya Bu Sri! Alamak, delapan tahun tak bertemu, bocah ingusan ini sudah tumbuh besar ternyata.
“Haha,” Aku tertawa sendiri menjambak rambut Ridwan “Yo opo kabhare, aku apik-apik wae.
“Hahaha” Aku tertawa lepas. Tak berapa lama, kami pun saling bercerita tentang kondisi masing-masing.
***
Bagaimana bisa aku dekat dengan Ridwan? Gampang saja. Dulu, aku selalu stand by di warung Bu Sri, ibunda Ridwan. Saat itu, usianya masih dua belas tahun dan aku masih duduk di semester tiga. Sejak itulah aku mulai nongkrong di warung Bu Sri. Saking dari istiqamahnya nongkrong, sampai-sampai kami serasa seperti keluarga. Apalagi saat-saat dompet mengering, Bu Sri-lah yang siap menampungku sebagai pelanggan setianya, meski datang tanpa uang. Sejalan dengan itu, si bocah ingusan, Ridwan kecil, selepas pulang sekolah selalu membantu ibunya. Tak lupa juga ia selalu jahil menggangguku, menyembunyikan buku yang kupinjam dari perpustakaan. Dasar penjahat kecil!
Sebenarnya, bukan aku saja yang selalu stand by nongkrong di sana. Aku hanyalah salah satu dari sekian banyak penggemar warung Bu Sri. Saat itu, siapa yang tak mengenal dia? Selain murah meriah, cocok dengan kantong mahasiswa, Bu Sri mempunyai jurus jitu untuk menarik hati para pelanggannya. Apa itu?
“Buk, Kotobrok buk dua bungkus!” Begitulah kata yang sering kudengar selama nongkrong di warung itu. Kotobrok, sebuah plesetan dari kata kopi tubruk. Aku tak tahu bagaimana bisa bernama kopi tubruk. Yang jelas, saat itu, kopi itulah kopi nomor wahid di kampusku. Siapa yang tak tahu kualitas kopi ini? Nesscafe, Kapal Api, Torabika, semuanya kalah jauh rasanya dibanding “Kotobrok” buatan Bu Sri.
“Bukan rasanya Juf, tapi fenomenanya.” Begitu kata Yusuf, teman tongkronganku di warung Bu Sri mengomentari pendapatku itu. Biasanya setelah mendengar tanggapan Yusuf, Bu Sri lantas tertawa.
“Ngomong opo iki…” Celetuknya.
Sejujurnya, kopi tubruk buatan Bu Sri bukan hanya menang rasa, tapi juga menang selera. Buktinya, rata-rata teman-teman kampus suka sekali memesan kopi beraroma khas itu. Ada yang minum di tempat, ada yang minum di lobi, bahkan ada yang membawanya ke ruang kelas! Bukan hanya mahasiswa, tapi dosen-dosen pun banyak yang suka dengan Kotobrok ini.
Sejujurnya juga, apa yang dikatakan oleh Yusuf pun benar. Kotobrok merupakan sebuah fenomena. Sungguh pun mau mengelak, bagiku Kotobrok mempunyai fenomena tersendiri. Bagaimana tidak? Lihatlah pelanggan-pelanggan setia kopi tubruk Bu Sri. Lihatlah pemuda-pemuda di lobi itu. Lihatlah kelas-kelas itu. Simaklah pembicaraan para mahasiswa di sela-sela mereka menyeduh kopi tubruknya. Perhatikan apa saja yang mereka bahas. Lihatlah buku-buku yang mereka baca. Raut-raut wajah itu. Mata-mata yang serius memperhatikan. Telinga-telinga yang sigap mendengarkan. Tangan-tangan yang sibuk mencatat.
Mengesankan. Sungguh mengesankan.
Dimana-mana, kopi tubruk itu identik dengan diskusi-diskusi, baik formal ataupun nonformal. Mau di lobi, kelas, warung Bu Sri sendiri, mereka, para pelanggan setia Kotobrok selalu saja mempunyai pembahasan menarik setiap seduhannya menikmati rasa manis dan pahit yang bercampur di segelas kopinya. Sebuah pemandangan yang menarik selama aku kuliah di kampus ini. Untungnya, aku pun termasuk bagian dari fenomena tersebut. Akulah sang penunggu warung. Bersama teman-teman kelas, banyak permasalahan yang kita atasi bersama di warung Bu Sri, tentunya sambil menyeduh kopi tubruk. Kopi yang identik dengan aromanya yang khas itu.
***
Nahas, umur femomena kopi tubruk sama seperti umur sinetron-sinetron di layar televisi. Bahkan mungkin lebih buruk lagi. Syukur-syukur sampai episode ke seribu, episode kopi tubruk tak sampai nominal itu. Selepas dua tahun kelulusanku, menurut cerita Ridwan, fenomena itu memudar lantas hilang tak berjejak. Tak ada lagi diskusi-diskusi itu. Tak ada lagi wajah-wajah serius itu. Dan tragis, hal yang membuatku tak bisa menemukan masa laluku di sini, tak ada lagi aroma kopi tubruk itu.
“Ibu sakit-sakitan Mas semenjak dua tahun yang lalu. Sejak itu, akulah yang bertanggung jawab atas koperasi ini.” Ridwan menjelaskan apa yang terjadi.
Aku terdiam sejenak. Mataku sibuk memperhatikan keramaian di luar sana. Sama ramainya dengan masa delapan tahun silam. Kulihat segelintir beberapa pemuda yang sedang berkumpul di sudut-sudut lobi gedung. Mereka sedang asyik online dengan tablet, laptop, dan smartphone masing-masing. Sesekali mereka senyum-senyum sendiri. Entah apa yang membuat mereka begitu. Pandanganku hanya tertuju pada segelas kopi yang menemani kesibukan mereka. Mellihat hal itu, lantas aku menepuk pundak Ridwan.
“Kopi apa yang mereka minum?” Aku bertanya sambil menunjuk arah pemuda-pemuda tersebut.
“Kopi tubruk, Mas.” Ridwan menjawab polos.
“Yang benar saja!” Aku tersedat, antara percaya dan tidak. Seharusnya aku bisa mencium aromanya sedari tadi!, batinku dalam hati.
*Penulis adalah seorang perantau yang sedang menempuh pendidikan di Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Average Rating