Buku

Read Time:4 Minute, 12 Second
Sumber: Internet
Oleh : Uus Mustar*
Ia menatap saya. Sorot matanya begitu tajam. Semakin menajam. Saya hanya terdiam. Hening memang paling pandai menyelinap, ia merasuki setiap pori-pori kulit kami, saya dan dia. Tak ada kata bertautan.Tak ada kata. Diam. Hanya Diam dan terdiam, selalu saja kami mendiam dalam nuansa hening denting jam di perpustakaan.
Saya diam. Juga dia. Tapi saya selalu lebih setia mendiam dibanding ia. Ia tak mengerti kenapa saya terdiam. Tak pernah. Yang pasti, walau saya bicara. Walau saya berkata. Walau saya bercanda. Walau saya tertawa. Tetap saja saya diam. Tetap saja di mata ia saya hanya pendiam.
Saya terdiam. Bukan membisu. Tapi saya bisu. Dan semakin pilu acap kali mata itu, yang mulai memerah, marah. Saya tahu ia marah kepada saya. Dan saya sangat tahu Ia bakal marah ketika lelah, Ketika masalahnya tak kunjung terpecah. Kalau ia marah, saya hanya bisa memasrah. Bersalah atau tidak saya di matanya, sama saja. Ia akan tetap mencampakkan saya. Ia akan pergi begitu saja. Sial!
***
Mata itu, di balik lensa tebal, selalu menyetia. Saya suka pemilik matanya.
Cantik. Saya mengenalnya. Pemilik mata cantik itu bernama cantik. Mata dan pemiliknya sama-sama cantik. Nama dan matanya cantik. Sama sama. Ia begitu setia. Hanya Ia yang mau mengenal saya sebegitu intim. Ia memang tak lazim dari yang lain, tapi istimewa.
Saya mengenalnya sedari dulu, ketika cantik baru duduk di bangku kuliah. Ia yang pertama kali mendekati saya. Ia yang pertama kali menyapa saya. Ia yang pertama kali mengajak saya bercengkrama. Tentang apa saja. Terkadang, ia suka membicarakan cinta. Tapi seringnya ihwal materi perkuliahannya. Sebagai remaja, ia memang suka sekali cerita romansa. Tak terhitung jumlah cerita yang sudah saya bacakan untuknya, teramat banyak. Saking tergila-gilanya Ia dengan cerita, ia bisa melupakan segalanya, kecuali saya. Ia akan selalu kembali memeluk saya.
Entah kenapa, sejak semula, mata cantik itu seolah suka menatap saya berlama-lama. Di manapun kami berjumpa. Di taman, di jalan, di kantin, di malam, di siang, di pagi, di sore, dan di di yang lainnya. Pokoknya dimana-mana.  Saya jatuh cinta. Atau ia yang jatuh cinta. Entah.
Ketika Ia dahaga, Haus akan cerita. Tak segan Ia memaksa saya untuk keluar singgasana. Di taman atau dimana saja, asal Ia suka. Ia memaksa saya untuk menemaninya.
Ia selalu menjemput saya usai jam kuliah. Saya biasa menunggunya di perpustakaan. Tak ada alasan untuk kata menolak. Karena memang saya tak punya alasan. Saya hanya bisa memendam diam dalam-dalam. Itu cukup membuat Ia senang.
Barang satu sampai tiga malam saya akan menemaninya, untuk sekedar membacakan cerita-cerita romansa atau menjawab tugas-tugas dari dosennya. Kemudian ia mengantar kembali saya ke singgasana. Walau tak jarang, selang sehari setelah kembali dari menemaninya, ia akan menyeret saya lagi. ‘cerita kamu belum kelar’ begitu alasannya, selalu saja.
Lewat pertemuan-pertemuan sederhana itulah saya mengenalnya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang pula sederhana, dari cerita-cerita romansa, dan dari tugas-tugas perkuliahannya. Saya mengenal cantik dengan baik. Dan ia mengenal saya teramat baik. Kami saling mengenal sangat baik.
Sampai detik-detik akhir ia kuliah. Wisuda di depan mata. Hubungan kami semakin bertambah intim saja. Kami merubah pertemuan-pertemuan sederhana itu menjadi lebih istimewa.  Perpustakaan jadi tempat favorit kami berjumpa. Di sana kami nyaman berdua. Tak ada suara-suara gaduh yang merobek telinga. Tak ada mata-mata yang bergerilya merazia. Di sana kami merdeka, tak ada sekat pemisah antara saya dan ia. Tak ada. Kami leluasa bersenggama.
Perpustakaan kami pilih sebagai tempat bersua. Untuk membebaskan semua beban kepala, mencairkan seluruh pertanyaan yang mengendap di dasar kepala, lalu temukan jawabnya. Walau semua itu, semua pertanyaan itu. kesemuanya akan ia tumpahkan semaunya kepada saya, semua pertanyaan dan soal-soal itu ia tujukkan kepada saya. tak apa, saya rela. Sungguh.
“Kamu hebat. Kamu tahu segalanya. Dunia ada padamu.” Ia memuji. Saya hanya diam.   
Kalau ia sudah mulai merayu, kalau tanya sudah menyilet otaknya bagai sembilu, maka ia tak segan lagi untuk segera membuka baju saya. Dan tatap mata cantiknya, dengan rona yang begitu menggoda, perlahan tapi pasti mulai bergerilya, menjajah seluruh tubuh saya. tatapnya begitu detail melumat huruf per huruf dari setiap lekuk sudut tubuh saya. Ia begitu gagah dalam memecah masalah. Tak kenal kata menyerah. Walau mata cantiknya akan tampak memerah selepasnya.
***
Cantik, gadis dengan paras cantik si pemilik rona mata cantik. Ia tak ingin banyak membuang waktu untuk wisuda. Skripsi adalah momok menyeramkan. Banyak diantara temannya yang tumbang menghadapinya. “Itu karena merekanya saja yang tak mau mengenal kamu” katanya kepada saya.
Ia mencintai saya seperti saya mencintainya. Atas nama cinta, saya membantunya, merampungkan tugas akhir kuliah.
Skripsi selesai. Sidang lancar. Tinggah menanti waktu wisuda. Tapi ia sudah jarang menginjakan kakinya di kampus. Sedih. Karena tak ada lagi kata jumpa, yang sederhana terlebih yang istimewa. Tak ada lagi cerita romansa. Tak ada lagi cinta. Dan tak lagi bisa kami bersenggama.
Saya terlunta. Dalam hening yang tak mengirama. Dengan rindu tatap matanya yang manja. Pada rak di perpustakaan yang dipenuhi debu asmara, ia mencampakkan dan meninggalkan saya begitu saja. Ia melupakan saya.
Ciputat, 06-05-2015 : 23:32 WIB
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab.

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Certificate of Competency Has Not Concerned Yet
Next post Fenomena Batu Akik, Bentuk Apresiasi Masyarakat terhadap Kebudayaan