Lampu remang-remang menyoroti panggung. Alunan musik pengiring menggema memenuhi seluruh ruangan. Para pemain berarak ramai memasuki panggung. Seorang lelaki mengenakan celana komprang kucel dan seorang wanita berambut panjang tergerai mengawali adegan.
Read Time:1 Minute, 58 Second
Mereka adalah sepasang suami istri, Korep dan Turah. Turah mengungkapkan kemuakannya terhadap nasib miskin mereka, ia ingin kaya. Namun, Korep tetap kukuh dengan pendiriannya bahwa hidup sederhana akan membuat ia lebih bahagia. “Kau itu takut kaya Korep!” maki Turah pada suaminya.
Bosan hidup dalam kemiskinan membuat Turah nekat. Ia dan beberapa orang miskin lainnya mengadu nasib pada sekelompok bandar judi togel. Semua hartanya ia jual kepada tukang loak, bahkan hingga kehormatannya. Namun nasib berkata lain, pengorbanan Turah sia-sia. Ia kalah dalam perjudian.
Mengetahui Turah menjual kehormatan demi harta, Korep membabi buta. Ia pun menempuh jalan pintas dengan mendatangi Embah.
Empat puluh hari empat puluh malam Korep menempuh perjalanan yang tak mudah. Untuk menemui Embah ia harus melewati hutan belantara, sungai lumpur dan pemakaman-pemakaman. Lalu, Korep harus memakan sambal goreng lintah, minum air kencing perawan tua, dan makanan najis lainnya.
Setelah itu, ia dianggap telah siap menjadi orang kaya. Sebagai persyaratan, Embah meminta Korep agar menumbalkan istri-istrinya. Selama Empat belas tahun pernikahan, empat belas istri, dan empat belas peti mati menghiasi kehidupan Korep yang mewah.
Namun, dibalik hartanya yang melimpah, Korep merasa hampa. Kegetiran baru dirasakan Korep ketika satu per satu orang terdekatnya pergi meninggalkannya. Ia lalu sadar bahwa kekayaan bukanlah segalanya dan memutuskan untuk kembali menjalani hidup sederhana.
Kembalinya Korep menjalani hidup miskin yang bahagia bersama Turah menjadi penutup pentas berjudul Tengulyang diadakan oleh Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastar Indonesia (PBSI) di Aula Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (8/6).
Pementasan yang disutradarai Eka Putri Hanifah ini merupakan rangkaianpagelaran drama PBSI Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Jakarta. Pagelaran drama ini berlangsung selama empat hari dengan mengusung karya-karya Sastrawan Arifin C. Noer.
Menurut Eka, pementasan drama ini mengajarkan kita untuk selalu mensyukuri apapun keadaan yang ada. “Hidup sederhana lebih kaya dari pada kaya harta, asal kita mensyukuri keadaan itu,” ungkap mahasiswa PBSI semester enam ini.
Pagelaran drama ini juga mendapat respons dari penonton. Nur Subhan, salah satu mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum mengungkapkan drama yang disajikan meskipun lama, tapi tidak membuat penonton bosan. “Beberapa adegan dan percakapan yang ada, mengundang tawa kita semua,” terang Subhan.
KB
Average Rating