Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Read Time:3 Minute, 51 Second
Oleh: Pandent M. N. Lubis*
Ketika Presiden Joko Widodo berada di Solo untuk menghadiri perayaan pernikahan putranya di Solo, di saat itu pula media ramai memberitakan soal penunjukkan Ketua Umum Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso, Sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).
Mungkin momentum pernikahan putranya ini merupakan suatu strategi untuk menghalau pertanyaan media dan pihak lain seputar pengajuan Letnan Jendral Purnawirawan itu sebagai KaBIN. Bagaimana tidak, respon pro dan kontra pun mulai meramaikan pemberitaan terkait keputusan Presiden itu.
Menunjuk Kepala Telik Sandi di Republik ini memang merupakan hak prerogatif Presiden. Akan tetapi, mengingat Sutiyoso adalah Ketua Umum PKPI, apakah ini merupakan murni keputusan Presiden berdasarkan rekam jejak atau dorongan politik balas budi karena PKPI merupakan bagian dari Koalisi Indonesia Hebat.
Saat kampanye pemilihan pilpres yang lalu, banyak janji Jokowi – Jusuf Kalla (JK) yang didengungkan termasuk program besar Nawa Cita dan koalisi tanpa syarat. Di antara turunan dari Nawa Cita itu ialah penegakkan hukum, pemberantasan korupsi dan penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan ditunjuknya mantan Pangdam Jaya ini sebagai KaBIN, banyak pihak yang mempertanyakan komitmen Jokowi terlebih persoalan penegakkan hukum dan HAM.
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky, mengatakan ada lima catatan penting yang harus dipertimbangkan Jokowi dalam mengajukan Sutiyoso menjadi KaBIN. Pertama, Keterlibatan Sutiyoso dalam pelanggaran HAM kasus kerusuhan 27 Juli 1996 saat ia menjadi Panglima Kodam Jaya. Kedua, saat jadi Gubernur Jakarta, ia dikenal sebagai tukang gusur rumah warga. Ketiga, kental dengan orde baru, jadi ia dianggap masih represif. Keempat, merupakan pimpinan Partai, jadi rentan untuk di politisasi. Dan terakhir, sudah terlalu tua untuk menjadi KaBIN (Republika.co.id, 11/6/2015).
Apakah hal tersebut akan berakhir seperti kasus Budi Gunawan, yang di setujui DPR dan di tolak KPK serta masyarakat umum. Terlebih untuk KaBIN ini, DPR akan melibatkan Komnas HAM dan KPK dalam fit and proper test.
Perlahan komitmen tersebut mulai luntur, baik dari kinerja pemerintahan Kabinet Kerja maupun bagi-bagi kekuasaan yang jauh dari harapan koalisi tanpa syarat. Hal ini memang membuktikan bahwa Jokowi belum bisa untuk keluar dari cengkraman oligarki partai pengusung dan orang-orang dekat yang banyak memiliki kepentingan dikekuasaannya ini.
Sinyal Kepasrahan
Dari awal pemerintahan Jokowi – JK banyak kebijakan dan keputusan yang cukup meresahkan masyarakat. Baik dari kebijakan yang tidak populis seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, penunjukkan Kapolri yang memiliki rapor merah dari KPK, soal mobil nasional dan kebijakan lainnya.
Penempatan posisi yang strategis di pemerintahan ini pun sangat kental dengan bagi-bagi kekuasaan, sehingga menjadi polemik di internal koalisi, organisasi pengusung maupun yang bersifat perorangan yang tidak kebagian jatah. Publik pun mempertanyakan kembali komitmen di awal soal koalisi tanpa syarat dan pemerintahan yang bersih.
Hal-hal yang bersifat admistratif dan kesalahan kecil lainnya pun seperti sengaja dibuat oleh orang-orang dekat di sekitar Jokowi untuk memanfaatkan posisinya sebagai presiden. Seperti yang kita tahu soal penandatanganan Perpres soal DP (Down Payment) untuk pembelian mobil pejabat, yang Jokowi sendiri tidak mengetahui isinya sehingga memancing amarah publik. Soal pidato yang salah tentang tempat kelahiran Bung Karno pun seolah tidak teliti si pembuat pidato tersebut untuk pidato pimpinan negara.
Pada Kongres PDIP di Bali yang kemarin pun menggambarkan Jokowi diam dalam kepasrahan. Sebuah acara yang mengundang Presiden RI, tidak mungkin protokoler tidak tahu soal jadwal dan isi acara. Akan tetapi, Jokowi sebagai Presiden RI hanya pasrah tidak diberi kesempatan untuk bicara.
Belum lagi kita lihat kinerja Kabinet Kerja yang belum memuaskan dalam pelaksanaan program Nawa Cita. Majalah Tempo, edisi 6-12 April 2015, mengungkapkan bahwa program Nawa Cita yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun oleh Badan Perencananaan Pembangunan Nasional (Bappenas) hanya sekitar 10 persen. Apakah Pemerintahan Jokowi – JK ini mampu menjalankan janji-janjinya?
Jika kita melihat berbagai produk kebijakan dan kegaduhan politik saat ini, apakah semua ini merupakan murni ketidaktegasan Jokowi selaku pimpinan Republik atau ini merupakan bagian dari strategi Jokowi bahwa kepasrahannya ini adalah sinyal bahwa ia berada dalam intervensi dari cengkraman oligarki politik.
Oligarki partai politik, pengusaha hitam pemburu rente dan birokrat yang korup memang merupakan musuh rakyat sejak Orde Baru hingga kini. Persengkokolan ketiga unsur tersebut yang selalu faktor yang sistemik dan struktural dalam merugikan negara.
Jokowi memang tidak bisa lepas dari partai pengusung. Tetapi ia juga banyak dipilih oleh rakyat yang bukan dari kader partai pengusung. Di sini terlihat Jokowi butuh dorongan dan dukungan oleh rakyat Indonesia secara luas dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Di samping itu, perlu diingat oleh Jokowi sebagai orang nomor satu di republik ini, ketika publik sudah memberi dukungan dan dorongan, maka perlu juga ketegasan dari Jokowi. Berani mengevaluasi Kabinet Kerja, menjalankan program Nawa Citanya dengan baik dan menjaga marwah serta kedaulatan Bangsa.
*Aktivis KMSU (Komunitas Mahasiswa Sumatra Utara)
Average Rating