(Sumber: Internet) |
Read Time:2 Minute, 33 Second
Oleh: Lia Syam Arif*
Pelecehan seksual pada perempuan kini masih marak terjadi di Indonesia. Fakta membuktikan korban pelecehan didominasi oleh perempuan di bawah umur. Biasanya pelaku berasal dari orang terdekat korban entah keluarga, saudara, maupun orang asing. Terkadang perbuatan tak bermoral tersebut dilakukan di depan publik semisal dalam transportasi umum dan tempat sepi.
Untuk itu, mestinya perempuan bisa menjaga prilaku dan cara berpakaian agar tak selalu menjadi sasaran kejahatan. Diawali dengan lebih menjaga diri, berpakaian terbuka lagi mencolok kerap dikenakan banyak perempuan. Padahal sebenarnya hal tersebut bisa membuka peluang bagi pelaku untuk bertindak asusila.
Belakangan ini tapatnya pada 24 Juni kembali ditemukan kasus pelecehan seksual di Kalibata City. Korban merupakan mahasiswi, dan diketahui pelaku seorang warga negara asing berasal dari Irak bernama Hussein Hashim. Mulanya korban dan pelaku sedang menunggu lift. Sesaat kemudian, dengan sengaja tangan pelaku menyentuh bagian belakang tubuh korban. Korban pun menjerit, langsung saja ia mengadukan Hussein ke pihak keamanan apartement lalu diteruskan ke kepolosian.
Berkaca pada kasus pelecehan tersebut, untung saja korban berani bertindak. Sebab banyak juga korban pelecehan tak mengadukan kejahatan tersebut ke kepolisian. Beberapa macam alasan mendasari mengapa korban pelecehan seksual memilih untuk tidak melapor. Di antaranya karena mendapat ancaman dari pelaku. Terlebih bila korban melapor ke kepolisian maka ia akanmenjadi pusat perhatian yang akhirnya ia bisa dikucilkan di masyarakat.
Tak hanya itu, keluarga korban pun mengkhawatirkan kondisi psikologis dan tanggapan miring dari masyarakat menjadi alasan lain korban enggan angkat bicara. Di sisi lain hal tersebut sangat disayangkan banyak pihak, sebab dengan begitu pelaku dapat bebas berkeliaran dan leluasa mencari korban berikutnya.
Survei Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat sebagian besar pelaku asusila berasal dari orang yang memiliki hubungan darah dengan korban seperti ayah, paman, kakak atau pun saudara sepupu. Prosentase survei tersebut menyentuh angka 76 persen, itu membuktikan bahwa perlindungan negara terhadap perempuan masih rendah.
Meskipun begitu diperlukankan kedewasaan masyarakat untuk meminimalisir terjadinya tindakan pelecehan. Serta dibutuhkan peran besar pemerintah dalam menghukum pelaku cendrung sesuai dengan kejahatannya agar pelaku jera dan kejahatan tersebut tak terulang lagi. Adapun bentuk usaha pemerintah ialah dengan membentuk Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasaan Terhadaap Perempuan.
Di sisi lain pengesahan undang-undang (UU) tentang anti kekerasan terhadap perempuan No 65 pasal II tahun 2005 yang berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia. Meningkatkan upaya pecengahan dan penangulan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak asasi-asasi perempuan.
Namun, upaya pemerintah akan terasa percuma jika masyarakat sendiri masih acuh terhadap sesama. Diperlukan keberanian lebih dari korban melaporkan pelaku pelecehan ke kepolisian. Kepolisian pun mestinya memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku agar tidak ada lagi korban pelecehan berikutnya.
Untuk mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual, maka perempuan baiknya bisa membekali diri meraka dengan berbagai tindakan. Di antaranya banyak mempelajari persoalan pelecehan seksual, mampu bertindak asertif dan berani mengatak tidak (menolak), mau bertindak sebagai saksi, membentuk kelompok solidaritas peduli perempuan, dan mekampanyekan penegakan hukum bagi hak-hak perempuan.
*Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora
Average Rating