Anomali Stasiun Televisi Pasca-Orba

Read Time:3 Minute, 35 Second
Sumber: Internet
Judul               : Orde Media : Kajian televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orde Baru
Editor              : Yovantra Arief dan Wisnu Prasetya Utomo
Penerbit           : INSISTPress
Cetakan           : Juni 2015
Tebal               : 296 halaman

Pasca-Orba, stasiun televisi leluasa menayangkan siarannya tanpa kekangan pemerintah. Sayangnya, stasiun televisi menyalahgunakan kebebasan tersebut.
Pada masa Orde Baru (Orba) media massa mendapat kekangan dari pemerintah. Saat itu, media yang memberitakan keborokan pemerintahan Presiden Soeharto segera dibredel pemerintah. Tak hanya itu, Soeharto juga memandatkan Departemen Penerangan untuk mengontrol media massa.

Soeharto menerapkan kebijakan tersebut untuk menjaga nama baik pemerintahan yang ia pimpin agar tak dikritisi masyarakat. Ia paham, lewat berita masyarakat dapat mengetahui keborokan pemerintahannya.

Televisi Republik Indonesia (TVRI) stasiun televisi nasional tak luput dari pengawasan Departemen Penerangan. TVRI dilarang untuk memasang iklan dengan alasan mencegah terjadinya kecemburuan antara masyarakat desa dan kota.

Padahal, masyarakat kelas menengah kota yang memiliki usaha memerlukan iklan demi memasarkan produknya. Salah satu pemegang saham stasiun televisi swasta di Rajawali Citra Televisi (RCTI) Bambang Trihatmojo, mengajukan izin ke Departemen Penerangan untuk membentuk televisi swasta di Indonesia pada Agustus 1987. Departemen Penerangan pun segera mengabulkan permohonan Bambang yang notabene putera Soeharto.

Meski mendapat izin siar, stasiun televisi swasta kala itu hanya dapat menyiarkan tayangan ulang TVRI. Untuk mengantisipasinya, stasiun televisi swasta membangun program beritanya sendiri. Namun, berita yang mereka siarkan hanya mencakup kejadian-kejadian seputar Jakarta saja.

Setelah Soeharto lengser, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers. Peraturan tersebut pun memberikan angin baru bagi industri media. Kini, media dapat menyebarluaskan berita tanpa intervensi dari pemerintah.

Namun, lambat laun, independensi media makin terkikis akibat berbagai kepentingan yang pemilik stasiun televisi miliki. Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 adalah contoh memudarnya indepedensi media.

Memudarnya independensi media terlihat betul ketika pemilik stasiun televisi ikut campur tangan dalam menentukan siaran Pemilu 2014. Harry Tanoesodibjo dengan RCTI-nya, Surya Paloh dengan Metro TV­-nya, dan Aburizal Bakrie dengan TV One-nya berusaha membangun citra positif calon presiden yang mereka dukung.

Alhasil, RCTI, Metro TV, dan TV One mendapatkan teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lantaran penayangan berita calon presiden dan wakil presiden yang tak seimbang. Pelanggaran yang mereka lakukan tidak hanya sekali. Meski ditegur KPI, mereka kembali melakukan pelanggaran serupa.
Berdasarkan hasil kajian Remotivi dalam buku Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca-Orba menunjukkan 57 persen responden menganggap konten siaran yang ditayangkan televisi berada di bawah kendali perusahaan televisi, 34 persen untuk pemerintah dan 8 persen sisanya untuk masyarakat.

Survei yang dilakukan Remotivi bukan tanpa alasan. Pasalnya, siaran televisi mampu mempengaruhi hingga mengubah watak sosial seseorang. Tak mengherankan, jika banyak stasiun televisi yang mendapat teguran dari KPI lantaran tidak layaknya tayangan stasiun televisi.

Sementara itu, ada beberapa tayangan di televisi yang melecehkan sebagian suku dan ras tertentu. Dalam artikel Kebhinekaan ala Televisi dalam buku Orde Media, Louvikar Alfan Cahasta menjelaskan, tayangan Keluarga Minus yang disiarkan Trans TV merupakan pelecehan suku dan ras. Minus, seorang yang beretnis Papua seolah-olah direndahkan etnis lainnya.

Tayangan yang melecehkan suku dan ras terlihat saat Minus membeli daging di pasar. Sayangnya, daging tersebut tertinggal di bajaj yang sempat ia tumpangi. Louvikar menuliskan, Keluarga Minus mendeskripsikan Minus sebagai seorang yang memiliki watak lugu dan bodoh.

Selain itu, tak jarang stasiun televisi memberitakan suatu kejadian secara berlebihan demi mengdongkrak rating semata. Muhammad Heyckel dalam artikelnya yang berjudul Mukjizat Televisi menceritakan, program Selebrita Pagi di stasiun televisi Trans 7 memanfaatkan fenomena meninggalnya Ustad Jeffry (Uje).

 “Pada malam hari, beberapa peziarah mengaku melihat pancaran sinar terang keluar dari makam,” ungkap salah seorang penjaga makam Uje yang diwawancarai Selebrita Pagi (Halaman 146). Selebrita Pagimelebih-lebihkan informasi meninggalnya Uje.

Buku Orde Media merupakan kumpulan artikel yang telah dipublikasikan di situs Remotivi.or.id. Buku yang diterbitkan INSISTPress ini menceritakan bagaimana posisi media televisi pasca-Orba.
Dalam bukunya, Remotivi secara fokus memberikan kajian dan advokasi untuk menyadarkan publik atas informasi dan hiburan yang sehat dalam siaran televisi. Hingga kini, lembaga yang berdiri pada 2010 silam tetap konsisten menyuarakan kampanyenya agar masyarakat mendapat siaran televisi yang bermutu.


Rizky Rakhmansyah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Lack of System and Low Contribution
Next post Dosen FISIP Laporkan Kasus Pencurian ke Polisi