Mempertanyakan Toleransi Beragama

Read Time:2 Minute, 11 Second
(Sumber : Internet)

 Oleh : Eli Murtiana*
Keberagaman adalah satu kata yang menjadi cerminan negara ini. Hal tersebut terbingkai jelas dalam semboyan negara Indonesia Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Melalui semboyan tersebut, bangsa Indonesia harus menghargai adanya perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, dan juga bahasa.
Toleransi menjadi kunci dalam menyatukan semua perbedaan tersebut. Khususnya dalam toleransi beragama, sikap saling pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi sangat diperlukan.
Bahkan, Founding Father kita juga telah menjamin setiap orang dapat memeluk agamanya dalam rumusan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Yang selanjutnya menjadi pasal 29 UUD 1945 pun menjelaskan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sayangnya, amanah untuk bebas memeluk agama menjadi rancu ketika masyarakat tak menghargai perbedaan. Perbedaan semakin kentara saat terjadi gesekan antara agama mayoritas dan minoritas di suatu wilayah yang sama. Imbasnya, agama minoritas terpaksa untuk tunduk dan patuh mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.
Fenomena tersebut terjadi di Aceh, Singkil, Selasa (13/10). Pembakaran gereja yang konon tidak memiliki izin bangunan, menjadi penyebab konflik di daerah ini. Awalnya hanya berupa pembongkaran yang disepakati oleh pemerintah setempat dengan warga karena banyaknya gereja yang tidak memiliki izin pembangunan.
Sayangnya, dalam pembongkaran tersebut sampai terjadi insiden pembakaran. Bahkan, sejumlah warga pergi sampai mengungsi ke daerah lain karena ditakutkan akan terjadi konflik.
Kasus serupa terjadi juga di daerah Tolikara, Papua, Kamis (23/7). Bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari besar bagi umat Islam di seluruh dunia. Kejadian ini bermula saat umat Islam Papua melakukan sholat Ied. Sejumlah pemuda lalu datang memicu konflik dengan aksi pembakaran sejumlah kios hingga menjalar ke mushola warga. Tak hanya itu, surat kaleng yang melarang umat Islam untuk sholat Ied juga sempat ramai dibicarakan di Tolikara.
Ini membuktikan, bukan lagi soal agama apa yang kita anut menjadi hal utama dalam negara ini. Tetapi, persoalan bertambah ketika penganut agama mayoritas menjadi pemenang dan penentu di suatu daerah. Tak jarang pula, agama mayoritas di Indonesia mendapat perlakuan diskriminasi.
Pembangunan rumah ibadah diperdebatkan izin pembangunannya. Sedangkan, rumah ibadah diibaratkan adalah rumah Tuhan. Bagaimana mungkin, kita meminta izin manusia untuk membangun rumah Tuhan.
Pada akhirnya, janji pluralisme yang dijunjung tinggi berbenturan dengan peraturan-peraturan yang membatasinya. Membuat konteks plural menjadi kabur hingga menyebabkan pluralisme menjadi tidak ada.
Agama yang beragam seharusnya memberikan warna dalam konteks kebhinekaan terlepas sebagai mayoritas ataupun minoritas di suatu daerah. Agama mayoritas tidak perlu khawatir dengan aktivitas agama minoritas. Sebab keyakinan seseorang berasal dari hati nurani dan sifatnya tidak mudah berganti.
 *Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Menatap Kinerja Satu Tahun Jokowi-JK
Next post Menyingkap Kriminalitas Pinggiran Kota