Read Time:3 Minute, 12 Second
Judul : Samin: Mistisisme Petani di Tengah Pergolakan
Penulis : Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin
Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan : Maret 2014
Tebal : 218 halaman
Pengikut ajaran Samin acap kali menuai tanggapan negatif karena menjunjung nilai-nilai kearifan lokal. Tanpa kekerasan, mereka menolak kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Wong Sikep weruh teke dhewe begitulah ungkapan yang dapat menggambarkan pokok ajaran Samin. Ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut bermakna Orang Sikep tahu miliknya sendiri.Pengertian ini menegaskan Orang Sikep seharusnya saling menghargai sesama manusia dan mengetahui hak serta kewajiban mereka.
Orang Sikep atau Wong Sikep adalah sebutan bagi pengikut ajaran Samin. Ajaran yang berkembang di sekitar Jawa Tengah pada 1890 ini dimulai ketika Samin Surosentiko mengajar ilmu kebatinan. Samin adalah seorang petani kelahiran 1859 di Randublatung, Blora. Tak sedikit orang yang tertarik mengikuti ajarannya.
Beberapa aturan dalam ajaran tersebut mengenai moral dan etika yang harus diikuti. Misalnya berperilaku sabar, jangan berbohong, mencuri, berzina, jika dihina tetap diam, tidak meminta uang atau makanan dari siapa pun, serta membantu satu sama lain. Tanpa disadari ajaran Samin terus menyebar luas dan pengikutnya meningkat secara signifikan.
Berdasarkan laporan yang dibuat Residen Rembang pada 1903, pengikut Samin baru mencapai 722 orang. Lalu dua tahun kemudian bertambah pesat,menurut koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Agustus 1905 pengikut ajaran Samin telah mencapai 2.600 orang.
Banyaknya pengikut ajaran Samin didorong oleh adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda yang dinilai merugikan rakyat. Sementara itu ajaran Samin lebih memilih melakukan perlawanan, seperti tidak mengikuti aturan mengenai pajak, kepemilikan tanah garapan dan tempat tinggal serta kepemilikan hewan ternak.
Sebelum Blora dan Grobogan menjadi wilayah milik negara (houtvesterijen), rakyat boleh mengambil kayu dari dalam hutan dengan seizin kepala desa bila ada kebutuhan yang mendesak. Setelah adanya houtvesterijenrakyat tak bisa mengambil kayu seenaknya. Menyikapi hal itu, Samin dan pengikutnya punya sebuah ungkapan tersendiri yakni lemah padha duwe, banyu phada duwe, kayu padha duwe yang berarti tanah, air dan kayu milik semua orang.
Oleh karena itu, Samin Surosentiko sempat keluar masuk penjara karena kasus pencurian kayu di hutan. Samin menganggap, hutan memang milik negara, namun sebenarnya kayu tersebut adalah hak setiap orang yang membutuhkan.
Seiring berjalannya waktu, ajaran Samin menerima respons negatif dari kalangan masyarakat dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka menilai Wong Sikep susah diatur dan berperilaku ngeyel terhadap aturan dan otoritas pemerintah.
Pada 1907 Samin beserta enam pengikutnya ditangkap dalam perjalanan memenuhi undangan Bupati Blora untuk menghadap. Setelah itu Samin serta pengikutnya ditahan dan dibuang ke luar Jawa. Tujuh tahun kemudian pada 1914 Samin pun meninggal. Meski Samin dikabarkan meninggal,Wong Sikep tetap setia pada ajarannya. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Wong Sikep tidak melibatkan kekerasan fisik, bisa dibilang gerakan tersebut bersifat defensif.
Kekhawatiran akan meluasnya ajaran Samin, membuat pemerintah menggali informasi lebih jauh mengenai ajaran ini. Peneliti banyak yang kewalahan ketika mewawancarai Wong Sikep karena permainan kata dan model komunikasi mereka. Wong Sikep suka memelesetkan atau memberikan arti kata berlapis pada kata yang umum digunakan. Ini dilakukan sebagai alat pertahanan saat berada dalam tekanan karena pengikut ajaran Samin dituntut untuk selalu menjaga ajaran mereka.
Maka dari itu beberapa orang cenderung menganggap Wong Sikep buta huruf dan ajarannya tidak terorganisasi dengan baik. Pemahaman tersebut membuat ajaran Samin seolah-olah berupa aksi spontan dan dadakan terhadap realitas yang menekan mereka sebab perubahan kebijakan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Buku Samin menceritakan awal mula ajaran Samin dari waktu pemerintahan kolonial Belanda hingga pada masa sekarang yang mulai menghilang karena tergerus arus perkembangan zaman. Sampai saat ini,pengikut ajaran Samin terus mempertahankan budaya aslidan laku ajaran mereka.
Jeannita Kirana
Average Rating