Memulihkan kembali Kerukunan antar Umat beragama melalui Pemahaman “Bentuk dan Substansi Agama”

Read Time:2 Minute, 23 Second

Oleh: Ikhya Ulumuddin*
 
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia sejak pertama kali lahir di dunia ini tidak akan pernah lepas dari perjanjian primordial antara (manusia sebagai makhluk) dan Tuhan sebagai Khaliq (yang menciptakan), antara yang Transenden dengan yang Imanen dan antara yang Sakral dengan yang Profan. Hal seperti itu dibuktikan dengan sejarah sebagai objek penelitian, dan sejarahwan sebagai subjek yang meneliti sejarah ataupun prasejarah (zaman purbakala).

Sejak dahulu kala manusia sudah mempercayai dan merasakan kekuatan dari luar batas dirinya. Mereka meyakini itu sebagai kekuatan yang menciptakan dan mengatur alam semesta. Terlebih, mereka meyakini kekuatan itu termanifestasi ke dalam sebuah benda atau fenomena-fenomena alam yang tak biasa—mereka sebut dewa. Kepercayaan itu biasa disebut Animisme, Dinamisme, Politeisme, Henoteisme. Akhirnya, kepercayaan itu akan menjadi satu kekuatan yang menjadi raja dari kekuatan-kekuatan lain—disebut monoteisme.

Manusia sebagai makhluk yang berakal, menempatkan posisinya sebagai makhluk yang teratas nan istimewa diantara makhluk-makhluk lain. Melalui akal manusia, zaman menjadi semakin maju dengan teknologinya yang canggih dan menjadikan kepercayaan mereka yang sebelumnya bersifat irasional, gaib, dan tanpa alasan menjadi logis dan sistematis. Kiranya hal tersebut menjadi akar terbentuknya institusi agama yang didalamnya terdapat ideologi, moralitas, sejarah. Hemat saya, orang yang bertuhan secara otomatis dia akan beragama, namun sebaliknya orang yang beragama belum tentu dia bertuhan.

Pada dasarnya agama hanya institusi yang mengatur dan mengekang umatnya untuk menjaga sifat kejelekanya supaya tidak menjadi liar—karna di dalam diri manusia terdapat berbagai macam sifat: kejelekan, kebaikan, keganasan, kekerdilan dan lain sebagainya—namun pada kepercayaan mereka, itu sama—percaya akan sebuah kekuatan yang diluar jangkauan dirinya (supranatural). Substansi dari agama itu sendiri adalah sama yaitu, mempercayai akan adanya tuhan. sedangkan yang membedakan agama satu dengan agama lainya serta mengklasifikasikanya adalah bentuknya.

Teringat ketika Nurcholis Madjid, akrab dipanggil Cak Nur mengatakan, semua agama yang ada di dunia tidak lain adalah islam (dengan huruf i kecil  di depannya). Cak Nur menegaskan bahwa kata islam itu sendiri yang menjadi permasalahan. memang benar, selama ini kita hanya berkutat dan membeku  dalam kata islam itu sendiri, serta tidak mau keluar untuk menafsirkan lebih lanjut term itu.

Islam berasal dari kata bahasa Arab yaitu aslma, yuslimu, islaman, yang bisa diartikulasikan dengan selamat, kedamaian atau kebahagiaan. Argumentasi ini mengindikasikan, semua agama bisa disebut islam jika di dalamnya tidak ada kekerasan, keanarkisan. Yang ada hanya kebahagiaan, kedamaian, dan keselamatan. Sayangnya mayoritas dari para pemeluk agama hanya memandang sebelah mata (hanya bentuknya) dan penuh kesombongan serta merasa agama dialah yang paling benar. sehingga hal seperti ini lah yang menjadikan instabilitas kerukunan antar umat beragama.

kiranya hal seperti itulah yang patut kita hindari demi berlangsungnya kehidupan yang lebih rukun dan saling menghargai satu dengan yang lainya dan mengerti akan pentingnya interaksi antar umat yang berbeda, karena dengan tindakan semacam itulah kita bisa mengambil pelajaran-pelajaran penting dari mereka tanpa ada unsur-unsur politik.
*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat, Fakultas Ushulludin UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Jantan
Next post (Masih) di Sini