Mencintai Bahasa Ibu

Read Time:5 Minute, 13 Second

Oleh: Anom B. Prasetyo*

Peneguhan identitas ini mesti dipahami bukan sebagai nasionalisme etnisitas. Ia lebih merupakan ikhtiar menjaga identitas salah satu pilar penting kebudayaan nasional.

SEBAGAI warga Jawa Barat, saya ikut gembira menyusul terbitnya revisi Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Daerah Provinsi Jawa Barat. Pada mulanya Perda Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah itu diterbitkan pada 2003, dan kini direvisi menjadi Perda Nomor 14 Tahun 2014.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat menyatakan, revisi dilakukan agar sesuai kebutuhan zaman. Jawa Barat. Anda tahu, telah menjadi acuan provinsi-provinsi lain di Indonesia, terutama dalam penerapan perda maupun kinerja eksekutif dan legislatif pemerintahnya.

Pelaksanaan Perda Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah (Perda Bahasa), menjadi acuan banyak provinsi di Indonesia, termasuk Jawa Tengah. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah mengesahkan Perda Nomor 17 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.

Tak ragu lagi, kini payung hukum bagi pelestarian bahasa daerah memasuki babak baru; implementasi, pewarisan, serta pelestarian. Payung hukum berupa peraturan daerah menjadi sangat penting, agar budaya daerah tidak semakin terkikis.

Potensi kebudayaan trasidional Jawa–sekadar contoh–meliputi bahasa, sastra dan aksara sangatlah besar. Regulasi itu mengatur penggunaan Bahasa Jawa di masyarakat, institusi pendidikan, serta institusi pemerintahan, agar kecintaan terhadap kekayaan bangsa ini dapat lestari dan senantiasa berkembang.

Pelestarian bahasa memerlukan kecintaan dan ketakjuban, karena itu perda saja tidak cukup. Keduanya amatlah penting, jika sebuah bahasa diimpikan akan tetap berfungsi dan lestari. Cinta dan takjub bisa menjadi spirit (ruh) guna melestarikan bahasa (dan budaya) daerah.

Dalam pelestarian bahasa daerah, dorongan cinta dan takjub tak bisa dipandang sepele. Tanpa keduanya, niscaya tak ada kebanggaan, rasa memiliki, dan kepercayaan diri terhadap akar budaya di kalangan penuturnya. Keduanya merupakan laku ruhani, karena ia lahir dari rahim ketulusan para penuturnya.

Dua spirit itu, Anda tahu, tumbuh dari dalam hati tanpa ‘paksaan’. ‘Cinta’ adalah tertambatnya hati dan rasa. Sedangkan ‘takjub’ adalah keterpesonaan tingkat tinggi hingga mencerahkan nalar, membuka kesadaran, bahkan menyentuh sisi spiritual.

Tanpa dorongan keduanya, mustahil bahasa daerah bisa bertahan melintasi zaman. Dengan sentuhan yang sama, hendaknya bahasa dan budaya adiluhung ini dilestarikan. Perda Bahasa Daerah, hemat saya mesti dilihat sebagai upaya menjaga, merawat, melestarikan serta meneguhkan identitas kultural yang adiluhung.

Dalam perspektif yang lebih luas, peneguhan identitas ini mesti dipahami bukan sebagai bentuk nasionalisme etnisitas yang sempit dan primordialistik. Ia lebih merupakan ikhtiar menjaga identitas salah satu pilar penting kebudayaan nasional kita.

Bagaimana bahasa (dan budaya) Jawa dipahami—demikian halnya dengan bahasa dan budaya lainnya—di tengah persentuhan beragam budaya lainnya? Dapatkah nilai-nilai kedaerahan dihayati serta diejawantahkan nilai-nilai filosofisnya? Dalam konteks inilah, Perda Bahasa Daerah mesti dipahami.

Bahasa: budaya
Bahasa Jawa, misalnya, begitu kuat dirasakan sebagai ungkapan utama identitas ke-Jawa-an. Bukan hanya identik, sebagai bahasa ibu orang Jawa, ia dirasakan sebagai manifestasi alam pikiran orang Jawa. Bisa dimengerti jika upaya meneguhkan identitas ke-Jawa-an dilakukan dengan melestarikan bahasanya.

Sering dikatakan, bahasa Jawa begitu kaya dengan kesamaan bunyi yang bermakna kias, dengan onomatope (pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi)-nya yang canggih. Ia bukan hanya khazanah yang kaya dengan racikan filosofis, tapi juga kedalaman estetika sekaligus rumit.

Kosakatanya yang penuh sentuhan rasa, menyajikan khazanah hubungan sebab-akibat yang esoteris, pemaknaan yang lestari tentang kesinambungan tersembunyi yang mengalir menembus fenomena. Ragam ujarannya terasa menukik—sering kali puitis—ke lingkup yang paling akrab dalam kehidupan sehari-hari.

Antropolog Ben Anderson mencatat satu keunikan bahasa Jawa, dengan memotret adegan seorang pesinden (backing vocal) dalam sebuah pertunjukan wayang. Manakala pesinden ingin beristirahat dan mengingatkan dalang untuk mengambil alih peran, dia pun menjalin kata ron ing mlinjo (daun melinjo) ke dalam lagunya.

Kenapa daun melinjo? Di kalangan orang Jawa, daun ini dikenal dengan sebutan so, sedangkan beristirahat dalam bahasa Jawa adalah ngaso. Begitu keterkaitan ini dirasakan, yang tetap menjadi misteri bagi yang tidak paham, sang dalang dengan segera mengambil alih peran melantunkan suara menggantikan sinden.

Contoh di atas setidaknya mencerminkan pandangan dan sikap hidup orang Jawa, yang unik-estetis, filosofis, seakan berputar-putar sarat simbol tetapi mengisyaratkan perjalanan menuju ke satu titik, kemudian kembali lagi pada kehidupan sehari-hari.

Kekayaan khazanah yang sama dapat kita jumpai dalam ratusan bahasa ibu lain di nusantara. Dalam bahasa (dan budaya) Melayu, misalnya, kita mengenal tradisi berpantun yang berdaya seni tinggi dan sarat pesan moral. Bahkan, sejarah mencatat, dari bahasa Melayu pula bahasa Indonesia berasal.

Mencintai bahasa ibu
Terdapat 700-an bahasa ibu (bahasa daerah) yang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Ini jumlah yang amat besar untuk sebuah negara. Dalam catatan UNESCO, terdapat sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 300 di antaranya terancam punah.

Di Indonesia, ada banyak bahasa daerah yang telah punah. Sedikitnya sembilan bahasa daerah telah dianggap punah di Papua; bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat).

Daftar di atas bisa amat panjang, mengingat banyaknya bahasa daerah di nusantara yang terus berkurang penuturnya. Sama seperti bahasa daerah lainnya, bahasa (dan budaya) Jawa kini dihadapkan pada keberlangsungan hidupnya. Bahasa ibu orang Jawa ini, kini hanya lestari di kalangan berusia lanjut.

Generasi muda (Jawa) kini kurang peduli terhadap bahasa ibu-nya. Bahkan, ada anggapan berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Padahal, bahasa akan punah jika tidak dilestarikan (tidak dipergunakan) oleh masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap, maupun sebagai sarana
komunikasi.

Amat disayangkan, dunia pendidikan kita secara perlahan turut mengikis penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah. Demikian halnya tayangan di media-media massa. Tayangan televisi maupun siaran radio, misalnya, cenderung menonjolkan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, ditambah dengan bahasa gaul yang tanpa jenis kelamin epistemologi.

Di sinilah perda bahasa daerah menjadi penting bagi pelestarian bahasa ibu, yang terancam punah. Hanya saja, sebagai payung hukum, pemakaian bahasa daerah hendaknya lebih menumbuhkan kecintaan dari kalangan masyarakat sendiri. Dunia pendidikan sebagai medium pembelajaran amat penting bagi penggunaan, pemeliharaan, serta revitalisasi bahasa daerah bagi masyarakatnya.

Upaya pelestarian bahasa daerah di luar instrumen tersebut juga perlu terus dilakukan. Kelestarian bahasa ibu menjadi tanggung jawab semua, baik individu maupun masyarakatnya. Pengenalan kepada anak-anak sejak dini amatlah penting. Keluarga dan lingkungan memiliki peran besar agar bahasa daerah tetap lestari.

Gugusan bahasa atau budaya dapat terjaga bila ada penutur yang setia menggunakan dan mewariskannya ke generasi berikutnya. Penutur setia hanya lahir dari cinta, ketakjuban, kebanggaan, serta kesadaran pada akar budayanya sendiri. Selamat Hari Kartini.

*Peneliti yang tinggal di Kota Bogor Jawa Barat

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Apes Mencuri di Perpustakaan, Mahasiswa Diamuk Massa
Next post Tak Terima Dikritik, Persma Diberedel Kampus