Oleh: Dewi Sholeha Maisaroh*
Tetap setia dan tak akan pernah berpaling, dengan perasaan miris ku tatap sayu wajah yang berada di cermin itu. Kupandangi dalam-dalam sembari tertegun dengan lamunan yang cukup lama. Kini aku telah dewasa, di mana aku memiliki jabatan, harta, dan semuanya.
Tatapan mulai kualihkan ke arah figura foto yang berada di meja rias kamar. “Di mana ia sekarang?” teringat dulu di saat aku masih kecil, di waktu kami belum memiliki kendaraan bermotor yang mampu mengantarkanku ke sekolah. Kendaraan yang juga dibutuhkan bapak untuk mengantar sayuran segar untuk para pedagang lain.
Di atas keranjang yang dipenuhi dengan daun singkong itu lah aku diam merangkul pinggang bapak yang kekar. Demi apa pun bapak pasti akan melakukannya hanya untuk mengantarku ke sekolah. Dinginnya pagi, panasnya sinar surya menjadi sahabat keseharian bapak. Sampai pada akhirnya aku lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP).
“Bapak, lebih baik aku sudahi untuk meneruskan sekolah, SMA itu pasti membutuhkan biaya yang sangat besar, dan pastinya aku harus jauh dengan bapak karena SMA hanya ada di kota. Bapak jangan paksa Jimi, karena Jimi ingin selalu dekat dengan bapak,” rayuku agar bapak mau menggugurkan niatnya.
“Jimi, apa kamu tidak yakin dengan kemampuan bapak yang selama ini dapat menyekolahkanmu? Doakan saja untuk bapak, dengan izin Allah bapak akan menyekolahkanmu lagi ke kota agar kelak kau menjadi orang berhasil,” kata bapak dengan mata berkaca-kaca.
Niat bapak sangatlah kokoh untuk membiayaiku melanjutkan sekolah, padahal aku tau setelah ini bapak akan semakin terbebani dengan apa yang telah beliau tekankan. Kini bapak telah lanjut usia, umurnya sekitar 50 tahun, kulitnya semakin hitam legam mengeriput, sedangkan badannya semakin kurus seakan tak terisi dengan daging kehidupan. Bapakku tersayang kini dirinya tak kekar seperti sedia kala.
Rumah kami di desa cukup jauh dari terminal, oleh karenanya kami memakai sepeda tua bapak untuk menuju ke sana. Pagi ini menjadi kali pertamanya aku harus meninggalkan rumah dan bapak. Tidak tega memang, di tambah dengan usia bapak yang semakin renta beliau harus membiayai anaknya ini. Namun, aku harus terus berjuang agar kelak bisa mewujudkan mimpi-mimpi bapak.
Di tengah perjalanan, embun-embun pagi berguguran membekukan tulang-tulang makhluk yang berani menerobos kesunyiannya. Namun, bapak tak pantang menyerah, sepeda jengky tua itu terus ia kayuh. Dengan membawa tas ranselku peluk pinggang bapak, sesekali ia angkat tubuhnya agar mendapatkan tenaga untuk dapat mengayuh lebih cepat lagi.
“Bapak capek?” tanyaku sembari kencang menarik baju bapak. Namun bapak hanya menoleh dan tersenyum tanpa memberi jawaban sepatah katapun. Namun, sangat terlihat wajah lelah bapak di kala itu dengan nafas yang sedikit tak beraturan.
Pagi itu semua terus berlalu, embun gelap itu kini telah menghilang digantikan dengan tabir surya yang menyelorong dari timur. Hingga akhirnya kami sampai di terminal. Tak ingin waktu terbuang sia-sia bapak menitipkan sepeda jengky miliknya di tempat penitipan sepeda, lalu mencarikan bus ekonomi yang dapat menampung kami hingga sampai ke kota.
Malam pun datang, jarak kota yang cukup jauh membuat kami harus bermalam di dalam bis. Mungkin bapak mengira aku tengah terlelap, pada saat itu bapak mengeluarkan uang yang berada di plastik hitam legang. Lima ribu.. sepuluh ribu.. semua dengan jumlah nominal yang kecil. Itulah hasil jerih payah beliau untukku kelak. Ku tarik nafas panjang, tak kuasa ku tahan haru dan berlinanglah air mataku.
Aku mencoba menuju alam mimpi dan terbuai dalam kesedihan malam itu. Tak terasa bus yang kami naiki mendesitkan rem kencang di sebuah terminal. Itu pertanda kami telah sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah kota perantauan. Ya, inilah kota di mana aku akan meneruskan sekolahku.
Hilir mudik para muda-mudi terlihat jelas di pelupuk mata, pakaian mereka yang penuh kemewahan berpadu dengan polesan tebal yang meriasi wajah anak hawa. Kehidupan di tempat ini pastilah sangat berbeda dengan keseharianku di desa. Namun, sama sekali tak kami hiraukan karena niatku hanya untuk menuntut ilmu mewujudkan cita-cita bapak.
Dengan langkah pasti, bapak menggandengku menuju sebuah sekolah yang cukup bergengsi dan berkelas di kota ini. “Bapak, SMA 04?” tanyaku kebingungan. Ini kan sekolah bergengsi yang selama ini menjadi impianku. Bapak tersenyum perlahan menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.
Ketika kami melangkah memasuki halaman depan sekolah, seolah semua orang tengah melirik hina akan kedatangan kami. Baju yang kami kenakan memang tak layak di pampangkan di banding dengan mereka. Aku seolah batu kecil yang sedang dikelilingi oleh emas murni di etalase.
Sesampainya di kantor sekolah bapak segera mengurusi semuanya, dari pembayaran, buku, dan uang bulanan. Entah apa yang sedang bapak rundingkan dengan seseorang itu, bapak tak mengijinkanku menyimaknya. Beberapa saat kemudian, bapak keluar beserta lelaki asing yang mulanya duduk tenang di kantornya.
“Semua sudah bapak urus, kamu sudah bisa sekolah di sini. Ini om Erik dan bapak percayakan kamu dengannya. Bapak yakin suatu saat kamu akan berhasil di tempat ini. Bapak sangat sayang padamu nak,” kata bapak dengan mengusap-usap rambut ikalku.
Tak ada sepatah kalimat pun yang dapat ku bisikkan saking harunya perasaan yang tak dapat ku tahan. Setelah berpamitan, bapak pergi berjalan menjauh dari ku. “Bapak!” dengan suara lantang aku memanggilnya dan akhirnya ku peluk bapak erat-erat. “Sudah nak, jangan pikirkan bapak! Belajarlah sungguh-sungguh di sini, kelak kau yang akan memajukan desa kita!” kata bapak.
Kemudian bapak pun pergi meninggalkanku dan hilang di balik pintu ruangan. Om Erik pun menghampiriku dengan penuh kewibawaannya. Beliau mengajakku datang ke rumahnya dan memperkenalkanku pada istrinya. Rumahnya yang megah berdirir kokoh di atas tanah dengan di kelilingi taman bunga yang tertata rapi. Aku pun tinggal di rumah ini.
Makanan yang ku telan pun penuh dengan gizi yang tak seharusnya dipertanyakan lagi. Buku dan kebutuhan sehari-hari semua telah tercukupi oleh mereka. Hingga sekarangpun aku tak tau siapa mereka sebenarnya. Seakan seorang malaikat yang menjelma menjadi manusia penolongku. Kehidupanku tak memiliki kendala sama sekali.
Tahun pertama, kedua, dan menginjak tahun ketiga waktu begitu cepat bergulir. Kehidupanku di tempat ini mungkin akan segera berakhir, kini aku sedang belajar untuk mengikuti Ujian Nasional dan mempersiapkan diri mencari beasiswa untuk ke pendidikan lebih tinggi. Aku memiliki cita-cita kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta.
Selama aku ikut bersama om Erik, seringkali ku mengirim surat untuk bapak. Namun satupun surat dari ku tak ada balasan. Sampai akhirnya aku mempunyai pikiran untuk menelepon bapak yang berada di desa. Lewat Kepala Desa (Kades) ku sangat menaruh harapan penuh.
“Assalamualaikum pak kades, ini Jimi anaknya pak Wawan. Apakah bapak bisa menolong saya?” kataku penuh dengan antusias. “Jimi, ini bapak nak!” jawaban yang tak lain adalah suara bapak. Benar-benar sebuah keajaiban bisa mendengar suara bapak langsung dari kabel telepon sepi, sunyi terasa hening di saat ku dengar suara bapak tenang merajai perasaanku.
“Nak, bapak bangga denganmu, kamu pasti kelak akan menjadi orang yang berhasil. Jangan lupa salat dan ngaji, bapak di sini baik-baik saja dan terus mendoakanmu,” sambung bapak. Kebahagiaan pun mereba di raut wajah ku. “Terima kasih pak!” Telepon pun terputus. “Ah, mungkin pulsanya habis,” pikirku.
Tiga hari kemudian hari kelulusanku tiba. Semua anak menyambut kelulusan dengan suka cita, keluarga mereka pun hadir demi melihat kelulusan serta perpisahan sekolah anak-anakya di SMA favorit ini. Acara pun akan segera di mulai, rasa senang bercampur debar menggerogoti hatiku.
Semua anak kelas tiga SMA dibariskan di aula besar gedung utama sekolah. Hampir semua anak didampingi orangtua mereka masing-masing, kecuali aku. Om Erik selaku komite sekolah tak dapat mendampingiku. Sedangkan bapak yang selama ini ku tunggu tidak ada sama sekali datang untuk menemaniku. Akhirnya pengumuman pun datang, hasilnya memuaskan tak satupun dari kami yang tidak lulus. Tepuk tangan bergemuruh pun terdengar kencang.
Bapak?
Tiba-tiba kulihat sosok datang menghadiri undanganku, namun pada saat itu acara telah usai.
Sesosok lelaki yang kulihat kini menghilang. Mungkin tadi bapak, tapi beliau tidak bisa langsung menemuiku karena harus mengurusi urusan yang lain. Aku harus memahami keadaan, atau hanya ilusi semata? Entahlah.
Keesokan harinya atas ijin om Erik aku pergi ke desa untuk menemui bapak yang sangat aku sayangi dan aku rindukan. Akhirnya sampailah aku di desa tempat aku ditempah sejak kecil. Ku turun dari bis dan mulai menyusuri jalanan pedesaan yang telah banyak berubah, sesekali aku tersenyum teringat masa kecilku.
Rumahku pun telah terlihat, ku percepat langkah dan berharap segera bisa bertemu orang yang aku rindu di dalamnya. Namun, sepi yang aku temui dan taka da satupun orang di dalam sana. Ku kelilingi setiap penjuru ruangan namun hasilnya tetap saja nihil.
Ku terduduk hening di teras depan sembari menunggu dengan penuh harapan dan teramat cemas. Lama sekali, hingga pikiranku mulai tak karuan. Ah, mungkin bapak belum pulan dari lading. Senja pun mulai menjelang namun bapak belum juga kunjung pulang.
“Jimi… ke mana saja kamu nak? Kenapa kamu baru pulang? Apakah kamu tidak tahu kalau…” kata Pak Tomo tetangga seberang rumahku yang terlihat baru pulang dari ladang. “Kalau apa..?” sahutku sambil menghampiri pak Tomo.
“Jimi, bapakmu sudah meninggal!” kata pak Tomo. “Meninggal? Ini tidak mungkin pak, jangan bercanda ini sungguh tidak lucu. Kemarin saja bapak menghadiri acara wisuda ku dan aku sangat yakin itu bapak yang aku lihat,” kataku penuh dengan kecemasan.
“Tidak Jimi, ayahmu sudah meninggal dua tahun yang lalu tepat akan diadakannya panen raya desa. Almarhum ingin mengantarkan nasi jagung kepada para petani, dengan sepeda tua beliau pergi ke sana. Namun di tengah perjalanan ia tertabrak mobil bak besar,” kata pak Tomo dengan mimik penuh kesedihan.
Aku tak sanggup membayangkan, dengan langkah gontai ku kembali ke teras rumah. Jadi orang yang aku lihat kemarin bukanlah bapak. Bapak datang hanya ingin melihat keberhasilanku, jadi ini hanya halusinasi, dan suara di telepon itu? Ah, sudahlah.
Aku mulai tersadar dari lamunan panjangku. Kembali kulihat wajah di figura foto itu hingga ku menitikan air mata. “Ya Allah, ampunilah dosa Ayah Ibuku dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak kecil, aamiin”.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta
Average Rating