Read Time:3 Minute, 27 Second
Kasus penipuan berkedok Kiai ataupun tokoh agama kembali muncul di Indonesia. Lebih lagi, beberapa dari pelaku kerap menjadikan pesantren sebagai tempat praktiknya. Atas dasar itulah pelaku dengan mudah mendekati para calon korban lalu mengajak bergabung mengikuti ajarannya.
Belakangan ini, kasus penipuan berkedok Kiai yang menjadi buah bibir masyarakat terjadi di Probolinggo, Jawa Timur. Ialah Taat Pribadi, pemilik Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Pada kasusnya, ia mengaku dapat menggandakan uang dengan ilmu gaib kepunyaannya. Tak pandang bulu, korbannya sudah mencapai ribuan orang mulai dari kalangan awam sampai orang berpendidikan tinggi pun terhasut tipu dayanya.
Dalam praktiknya Taat Pribadi sering kali menyuruh pengikutnya untuk menyerahkan sejumlah uang yang ingin digandakan. Namun nyatanya uang tidak berlipat ganda, korban justru diberikan uang dan emas palsu. Uang hasil penggandaan yang dijanjikannya pun tak pernah terwujud.
Dengan demikian, adanya peristiwa seperti ini cukup meresahkan masyarakat. Walhasil Majlis Ulama Indonesia (MUI) turut ikut angkat bicara mengenai penipuan penggandaan uang oleh Taat Pribadi. Berikut ini beberapa petikan wawancara reporter Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut dengan ketua MUI Tangerang Selatan Hasanuddin Ibnu Hibban, Jumat (21/10).
Bagaimana Islam memandang kasus penipuan penggandaan uang dengan menggunakan kedok Kiai?
Penggandaan uang dapat dipahami dalam dua arti, yakni membuat uang palsu dan mengambil uang dari tempat lain dengan kekuatan gaib. Keduanya sama saja melanggar hukum, baik menurut Islam maupun Undang-Undang.
Ia menjelaskan, membuat uang palsu adalah penipuan, sedangkan memindahkan uang tanpa hak dari tempat lain itu merupakan pencurian. Menipu dan mencuri dalam Islam hukumnya haram. Dosa bagi penipu itu besar, terlebih lagi ia menggunakan kedok Kiai dalam menipu korbannya. Padahal yang selama ini kita tahu, Kiai merupakan panutan masyarakat dalam mendirikan tiang agama khususnya Islam.
Faktor apa yang membuat masyarakat mudah menjadi korban penipuan?
Tiga faktornya, dan ketiganya berpangkal pada kata lemah. lemah iman, ilmu, dan ekonominya. Nah, kalau yang dimiliki para penipu itu ilmu apa? Ilmu tipu-tipu, kali ya? Lebih jelas, ia melanjutkan, iman yang lemah membuat orang tidak yakin terhadap Allah sebagai pemberi rejeki. Hingga akhirnya korban terkena iming-iming untuk mendapatkan kekayaan dengan cara yang instan.
Asal kalian tahu, Allah hanya memberikan keistimewaannya kepada manusia terpilih saja. Semisal mukjizat kepada Nabi dan Rasul, irkhaskepada calon Nabi dan Rasul, karomahkepada para wali, dan ma’unah kepada orang shalih. Di sisi lain, lemahnya pemahanan seseorang mengenai ilmu agama membuat mereka mudah tertipu. Karena itu, jangan aneh kalau yang ikut tertipu itu dari kalangan berpendidikan tinggi. Ditambah lagi, ekonomi yang lemah merupakan faktor penting lain korban mudah tertipu.
Apa saja usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari adanya korban berikutnya?
Menurut saya salah satu kuncinya ialah dengan selalu mengingat kata-kata bijak seperti “Jangan ingin untung dengan modal enteng”. Sebab biasanya untung besar itu didapat dengan perjuangan dan modal besar pula. Jika sudah begitu, akal sehat akan mengatakan, tidak mungkin memperoleh untung besar kalau modal dan perjuangannya kecil-kecil saja.
Apa yang membedakan Kiai sungguhan dan penipu berkedok Kiai?
Kiai yang pantas dijadikan panutan memiliki empat kriteria keunggulan, antara lain kompetensi personal, pedagogis, profesional, dan lulusan. Bila ada yang mengaku Kiai tetapi tidak memiliki empat keunggulan tersebut, maka jiwa ke-Kiai-annya patut diragukan.
Pada kompetensi personal, Kiai ialah sosok yang murah hati, penyayang, lemah lembut, santun serta berakhlak mulia. Lalu dalam kompetensi pedagogis, Kiai sebagai sosok pengajar dan pendidik. Untuk kompetensi profesional, Kiai selalu mengajarkan tentang kebenaran ilmu Allah.
Lazimnya, Kiai memiliki kompetensi lulusan, maksudnya ia telah memperdalam ilmunya di suatu lembaga pendidikan yang kompeten dan berkualitas. Sehingga ia juga dapat mencetak murid yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Bagaimana cara Islam agar dapat menyadarkan para penipu berkedok Kiai?
Saya ingin melihatnya dari perspektif haji mabrur. Rasulullah SAW bersabda melalui HR.Ahmad yang artinya: Dari Jabir RA dari Nabi Muhammad SAW bersabda: Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Rasulullah SAW ditanya: Apa ciri kemabrurannya? Rasulullah SAW menjawab: senang memberi makan dan lemah lembut dalam ucapan (HR.Ahmad).
Maksud diberi makan di sini, hendaknya para korban diberi kesejahteraan. Biasanya kalau seseorang sudah sejahtera lahir batin maka ia tidak akan mudah di iming-imingi dengan sesuatu yang absurd. Serta ingat, terapkanlah dalam hidup metode lemah lembut dalam ucapan, tetapi tegas dalam tindakan.
DSM
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating