Baca : Gengsi Elit Politik Bayangi Pilgub DKI
Tak hanya itu, indeks kemiskinan di Jakarta pun meningkat. Tercatat dalam situs resmi BPS, disebutkan penduduk miskin DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384.30 ribu orang alias 3,75 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 15,63 ribu atau meningkat 0,14 persen dibanding September 2015 yang tercatat ada 368,67 ribu orang alias 3,61 persen.
Melihat daripada data-data permasalahan sosial di atas, pembangunan tak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh sastrawan, John Steinbeck bahwa “Pembangunan justru mengorbankan dan menyengsarakan kehidupan orang lain”. Dan ini sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya, entah warisan dari kolonial atau bukan, namun memang Jakarta merupakan simbol dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan Republik Indonesia ini.
Parahnya lagi, kebijaksanaan dari para pemimpin Jakarta tak pernah lahir untuk merubah kondisi yang sudah sedemikian akut tersebut. Kalaupun ada, hanyalah seperti menyuntikan obat analgesik saja, bukan mengobatinya secara permanen. Oleh karenanya Jakarta menjadi pesakitan sampai sekarang ini. Maka jangan harap ke depannya Jakarta akan lebih manusiawi, tak ada kesenjangan sosial, dan lingkungan yang sehat jika mindset daripada pemimpin, masyarakat elit dan masyarakat kelas menengahnya masih berpegang teguh kepada konsep pembangunan yang diwariskan oleh kolonial.
Hari ini kampung-kampung kembali ramai, terutama kampung yang sudah digusur dan teracam tergusur ramai disambangi para calon Gubernur DKI Jakarta. Media massa nasional sibuk meliput para calon Gubernur DKI Jakarta yang tengah sowan ke kampung-kampung, sampai-sampai berita soal reklamasi teluk Jakarta mulai sayup-sayup tak terdengar. Harapan-harapan tentang indahnya Jakarta baru di era si calon A, B, dan C mulai dilenakan kepada orang-orang kampung. Sejenak para calon dan para pendukungnya ikut berempati kepada ketidak adilan yang datang menghampiri orang kampung, namun sebelumnya acuh tak acuh dan tak bersikap apa-apa. Sebaliknya, mereka yang pro gusur-menggusur terus menyudutkan orang kampung dengan label ilegal, warga liar, kumuh, dan lain-lain.
Sementara itu, jauh di negeri paman Sam sana, Bank Dunia (World Bank) tak henti-hentinya mengucurkan dana segar untuk menggusur kampung-kampung di Jakarta. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, pada Juli 2016 kemarin kucuran dana dari Bank Dunia $ 216,5 juta atau setara dengan 2,814 triliyun kepada Indonesia untuk proyek pembersihan pemukiman yang dianggap kumuh. Dengan Jakarta sebagai titik realisasi proyek tersebut. Jadi, alasan demi terciptanya Jakarta yang baik, tanpa banjir adalah alasan belaka untuk memuluskan proyek Bank Dunia tersebut. Dan harus menjadi catatan, dana tersebut didapat dengan cara hutang dan berbunga setiap tahunnya.
Maka dari itu, seyogyanya pada moment menjelang Pilgub DKI Jakarta ini, kegaduhan politik haruslah dibarengi dengan kesehatan akal dan kebijaksanaan seluruh element masyarakat Jakarta untuk merubah wajah dan jiwa Jakarta yang berkeadilan sosial dan ekologi. Bagaimana caranya? Penulis sih sudah deklarasi akan golput pada Pilgub DKI Jakarta nanti. Karena memang KTP penulis bukan KTP DKI.
Baca: Ribut Pilgub DKI, Ikut Nyontreng?
Average Rating