Kala Bala Bala Bla Bla Bla

Read Time:5 Minute, 52 Second

Oleh : Faisal Maarif*

Perhatian kepada seluruh penumpang, akan masuk dari arah stasiun Kerenceng ke stasiun Cilegon kereta Api Patas Ekonomi tujuan akhir stasiun Angke… akan masuk dari arah stasiun Kerenceng ke stasiun Cilegon kereta Api Patas  Ekonomi tujuan akhir stasiun Angke.. segera periksa tiket dan barang bawaan anda jangan sampai tertinggal di stasiun Cilegon

Suara panggilan petugas stasiun itu dengan segera membuatku bergegas mendekat ke samping rel tempat kereta akan berhenti. Dengan agak repot karena membawa tas ransel besar berisi baju-baju dan buku yang kubawa dari rumah, hari itu aku berniat berangkat ke tempat kuliahku di daerah Ciputat. Seperti biasa, kereta adalah kendaraan langgananku ketika akan berangkat atau pulang dari tempatku berkuliah. Saat itu siang hari disaat terik kurasa sedang berada pada puncaknya memancarkan panas yang membakar.

Kereta tiba dan berhenti tepat didepanku dan penumpang lain berdiri. Aku bergegas menuju gerbong kedua kereta itu yang sebelumnya sekelibat kulihat dari luar kaca jendela kereta itu kursi-kursinya agak kosong. Aku masuk berdesak-desakan dengan penumpang lain dan langsung mencari kursi-kursi yang menurutku nyaman untuk ditempati.  Ditengah hiruk keramaian penumpang dalam gerbong, terdengar suara keras yang serasa janggal ditelingaku.

“kala bala bala bla bla bla” suara itu yang kudengar. Terdengar lagi, “kala bala bala bla bla bla” dan ketika kereta akan segara berangkat suara itu semakin terdengar jelas ditelingaku “kala bala bala bla bla bla.”

Kucari sumber suara itu, dan mataku langsung tertuju pada lelaki tua yang duduk di bangku kedua dari belakang gerbong tersebut. Ia duduk seorang diri di bangku kereta berhadapan yang muat untuk empat penumpang pada sisi kanan gerbong. Sedangkan aku melihatnya dari sisi kiri gerbong pada bangku ketiga dari depan. Ada seorang laki-laki paruh baya yang duduk berhadapan denganku. Karna posisi ini dengan jelas aku bisa melihat wajah lelaki tua berpeci hitam itu.

Aku terus memperhatikan lelaki tua yang kuanggap aneh itu. Aku penasaran dengan tingkah lakunya. Ia terus meracau “kala bala bala bla bla bla” berulang kali tanpa sejenakpun berhenti. sesekali ia memainkan jarinya seperti sedang menghitung sesuatu. Raut mukanya seperti orang sedang mengalami sakit perut dengan dahi mengkerut dan mata agak memicing.

Tak luput para penumpang lain memperhatikannya. Tapi kuperhatikan Ia menghentikan racauan itu ketikan kereta itu sudah mulai jalan kira-kira 500 meter dari stasiun, namun pria itu tidak diam, melainkan menggantinya dengan siulan yang menurutku berirama aneh. Penumpang disekitar Ia duduk  pun kukira sudah mulai menyadari ada yang aneh pada lelaki tua itu. Dan lelaki paruh baya yang duduk didepanku kulihat hanya tersenyum-senyum geli mendengarnya. 

“kala bala bala bla bla bla” aku terkaget karna lelaki tua itu memulai racauannya ketika kereta akan berhenti di stasiun Tonjong Baru. Dan terdengar sangat keras ketika kereta itu mulai berhenti. beberapa penumpang keluar, tapi banyak penumpang yang masuk ke gerbong yang kutempati. mereka mencari kursi  menurut mereka nyaman untuk di tempati. Tak luput kursi kosong yang lelaki tua itu tempati mulai terisi dengan para penumpang. Namun yang membuatku  heran ketika orang-orang mulai duduk di samping tempat Ia duduk, racauannya itu semakin keras, kulihat  seperti orang sedang marah, dan kali ini matanya agak melotot dan tangannya menunjuk-nunjuk ke atas. Awalnya mereka hirau, tapi dengan segera orang-orang yang duduk disamping lelaki itu pindah dari tempat duduknya dan mencari tempat kosong yang lain, karna mungkin mereka merasa takut. Akupun mulai merasakan hal demikian.  

Kereta mulai berangkat dari stasiun itu dan lagi-lagi lelaki tua itu menghentikan racauan “kala bala bala bla bla bla” nya itu dan menggantinya dengan siulan. Tak lama kemudian petugas yang ada dalam kereta mulai memeriksa tiket yang dibawa oleh penumpang satu persatu, dimulai dari depan ke belakang. Sampai pada sang  petugas memeriksa tiket lelaki tua itu, Ia tak sama sekali menghiraukan dan terus bersiul. Petugas berseragam putih biru itu merusaha menanyakan kembali tiketnya untuk diperiksa tapi tak ada respon sama sekali, Ia terus melanjutkan siulannya. Dan sekali lagi menanyakan tiket sang lelaki tua, tapi tetap tak membuahkan hasil. Sampai petugas itu kurasa sudah menyadari ada yang salah pada orang tua itu, Ia langsung melewatinya dan memriksa tiket penumpang lain.

Pada setengah perjalanan, ketika matahari mulai sedikit condong ke arah barat, sinarnya  masuk menerobos kaca jendela kereta tempat lelaki tua itu duduk. Mungkin karena kepanasan, kuperhatikan  duduknya mulai tidak nyaman, bergeser-geser ke samping dan bergeser lagi tempat duduknya. Itulah yang mungkin membuat Ia bergegas dari tempat duduknya. Kulihat Ia mencari-cari tempat duduk yang kosong di sekitarnya, sambil bersiul Ia maju ke arah depan, dan gawatnya berhenti tepat samping tempatku duduk yang kebatulan masih kosong.

Masih dengan siulannya, Ia memperhatikanku dan orang di yang duduk di hadapanku. Hal ini membuat ketakutanku memuncak. Aku kalut, lelaki paruh baya yang duduk di depanku memandanginya dengan santai. orang yang duduk di sekitarku tak luput memandanginya. Aku pun mulai berpikiran negatif, takut melakukan sesuatu yang tidak diinginkan ketika Ia nanti duduk disampingku. Tapi untungnya setelah agak lama memperhatikan tempat duduk yang ku tempati, Ia maju kearah depan dengan siulan yang masih keluar dari mulutnya. Akhirnya Ia duduk di depan. dua bangku dari tempatku. Aku lega. namun pada posisi ini jika menoleh sedikit aku masih bisa melihatnya.

Lama kelamaan aku sudah biasa dengan tingkah lakunya di gerbong nomor dua itu. Aku sampai hafal kapan Ia meracau dan kapan bersiul. Namun pada saat sampai di stasiun Rangkasbitung, suara racauannya seakan terdengar menjauh, dan semakin menjauh di telingaku. dan Benar saja, Ia keluar dari gerbong kereta, kulihat dari jendela ia menghampiri seorang perempuan tua seumurannya yang sepertinya sudah menunggunya dari tadi. Sesaat ketika sampai pada perempuan itu, kulihat lelaki tua itu berbicara dan mengobrol layaknya orang kebanyakan. Tentunya karna sudah jauh,  jadi tidak aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

Lelaki tua dan perempuan itu menyimpan banyak pertanyaan. Apakah yang mereka bicarakan, apa perempuan itu mengerti bahasa sang lelaki aneh itu, apa sang perempuan tua itu juga aneh layaknya sang lelaki itu?  Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku.

***

Dari jauh kulihat papan bertuliskan Stasiun Serpong, kereta semakin mendekat kearahnya. Dari itu aku bersiap-siap mengambil tas yang ku taruh di tempat menyimpan tas sebelah atas tempat dudukku, aku keluar dari gerbong ketika kereta berhenti di stasiun itu. Aku langsung bergegas membeli tiket kereta Commuterline untuk melanjutkan perjalananku sampai Stasiun Pondok Ranji.

Sepintas tempat ini seperti tempat yang biasa kusinggahi, tapi ketika aku hendak menannyakan rel sebelah mana sebagai tempat berhenti kereta ke Pondok Ranji, aku terkaget ketika orang yang kutanya hanya menjawab “kala bala bala bla bla bla”, aku tanya orang lain, jawabannya tetap “kala bala bala bla bla bla”. aku tidak percaya, dan bertanya lagi pada penumpang yang lain untuk meyakinkan diri, tapi jawabannya tetap sama. Kudengar panggilan di pengeras suara petugas kereta pun sama, hanya mengucapkan kata-kata itu. Aku bingung, takut tidak karuan, ini seperti mimipi. aku terjebak di dunia yang aneh saat ini. Dunia dengan orang-orang yang hanya berbicara kala bala bala bla bla bla.

Untuk lelaki tua yang duduk seorang diri di gerbong nomor dua.

Ciputat, 2 Februari 2016

*Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, FAH, UIN Jakarta dan pegiat komunitas Anak Panah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Manuskrip Bukan Prioritas
Next post Uji Independensi di Tengah Intimidasi