Indonesia Ibarat Kapal Hendak Karam

Read Time:4 Minute, 33 Second


Oleh: Zainuddin Lubis*



Di awal tahun baru silam Indonesia berduka. Kejadian tragis menyayat hati. Tangis histeris bergema. Pontang-panting kesana-kemari minta bantuan. Bak kapas berterbangan ditiup angin. Tak sedikit  pasrah pada nasib. Hajat batin ingin berwisata. Malang, kapal  Zahro Express membawa penumpang itu terbakar di Muara Angke. Tak kurang dari 23 orang tewas terpanggang gosong bak ikan bakar. Takdir maut telah berseru.
Kejadian nahas jua berseru di negeri seberang.  Terjadi 23 januari lalu. Kini, negeri para datuk, Malaysia yang angkat saksi. Sekitar 10 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tewas. Kapal pengangkut TKI itu karam. Tanpa ampun, mayat bergelimpangan. Pergi sehat. Pulang jadi mayat. Godaan dari tetangga berujar suka-cita kerja di negeri orang. Membuat para TKI ini tertarik.  Sarau, berakhir fatal. Alhasil  kantong mayat pun diterima keluarga, pertanda diri telah binasa. Innalillahi
Saya tak ingin bercerita tentang korban yang tewas. Tak jua ingin menghakimi siapa pelaku. Siapa yang bertanggung jawab. Sejauh apa respon dari BNP2TKI? Perjalanan ini legal atau illegal. Tak ada masud hati mencemooh. Tapi angan ingin mengajak daya nostalgia dan imajinasi terkait peristiwa pahit ini. Empiris kita perlu diasah untuk merenung kembali masa lampau. Tak usah pusing membayangkan, tonton saja film Titanic (1997) karya James Cameron. Lihat bagaimana para penumpang berhamburan dari kapal. Tak ada yang peduli kepada sesama. Daya binatang buas mendominasi. Satu ambisi, selamatkan hidup. Tak peduli orang lain.
Dalam situasi gawat seperti ini, semua serba salah. Ke kanan salah. Kiri salah. Berdiri salah. Duduk pun serba salah. Tak ada yang benar, semua gerakan salah. Segala sesuatu yang awalnya benar, berubah berbau salah. Kondisi ini memprihatinkan bukan? Hukum alam dan logika dipinggirkan. Ilmu sains dibuang seolah tak ada pengaruh.
Kondisi kapal yang hendak karam tadi  terjadi di republik ini. Gambaran besar Indonesia kini. Pengetahuan dipreteli. Persis, antara kebenaran dan kesalahan kabur. Kabut kelam menutupi. Kemiringan persepsi dilengserkan. Puing-puing kecerdasan kaum intelektual pun dinodai. Karsa, agar buram kebenaran segera punah.
Kita seolah kembali kemasa balita. Dituntun tak bisa paham. Atau bisa jadi menyembunyikan pemahaman. Rasa saling percaya hilang. Muncul rasa saling curiga. Tak ada rasa persatuan dan kesatuan. Semua musuh. Maka, musuh harus dibasmi. Rasa kebangsaan yang ditanamkan para pendahulu bangsa hilang tanpa bekas.
Konflik ini kian nyata. Tak percaya? lihat Pilkada serentak silam. Saling hasut. Saling tuding bertebaran. Kebenaran hanya milik satu golongan. Diluar itu salah. Ujaran kebencian berhamburan di media cetak, online, dan sosial. Aksi saling lapor kepada pihak Kepolisian terjadi setiap hari. Rasa kebhinekaan seolah hilang. Dikikis bara api kebencian.
Agama pun diseret dan dijual. Tudingan kafir dilontarkan terhadap kaum yang berbeda. Ayat suci diperdagangkan. Sumpah atas nama Tuhan yang suci diperdengarkan sebagai alibi. Deretan kelakuan iblis ini dipertontonkan setiap hari. Pelakunya bermacam corak. Para politisi, birokrat, penegak hukum. Para agamawan dan akademisi pun seolah ambil bagian. Tak mau ketinggalan.
Kaum inilah yang oleh Cak Nun disebut “kaum talbis”. Penghancur NKRI. Pemecah belah umat. Di depan publik bicara persatuan dan kesatuan. Gaung nasionalisme digemborkan. Suara kesejahteraan dan keadilan dikumandangkan. Kata atas nama rakyat diteriakkan. Namun, dibalik itu kaum talbis ini tertawa riang. Kata-kata hanya kamuflase. Kostum agama dan nasionalisme hanya alat semata. Tujuannya, untuk diri sendiri. Pragmatis betul. Inilah potret Indonesia kini.
Para kaum talbis juga berpikir transaksional. Demi kekuasaan apapun dilakukan. Sebuah ideologi yang berorientasi kepentingan ditanamkan. Tujuannya hanya memenuhi keinginan terbatas demi diri dan kelompok. Membangun keluarga. Melanggengkan primodialisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme begitu kental.  Realitas  licik itu dipertontonkan secara  telanjang di depan mata. Kepentingan seksional dijadikan patokan hakiki dan suci. Tak ada kebenaran diluar golongan.
Merawat NKRI
Ibarat kapal yang hendak karam. Indonesia harus diselamatkan. Terlalu lama sakit. Terlalu lama berbaring. Bangkit adalah jalan terbaik. Sumbu masalah harus dipotong kandas. Para elit yang berpikir transaksional harus sadar. Para agamawan yang jual ayat suci harus insaf. Para negarawan kacung segera sadar. Ini merupakan jalan agar bisa keluar dari bayangan masa depan kelam. Ancaman eksistensi negara bangsa begitu nyata.
Tengoklah Nuh. Membangun bahtera besar demi menyelamatkan dari karam. Indonesia seyogianya pun begitu. Para pemikir, agamawan, negarawan jujur harus tampil menyelamatkan. Bimbing rakyat kepada kesadaran tentang kebenaran. Agar tak buram dan kabur.
Sebagai rakyat, masyarakat pun harus turut andil. Indonesia bukan hanya milik perorangan. Keberagaman suku, bahasa, dan adat adalah modal kita untuk memperbaiki kondisi ini. Kapal yang hendak karam perlu diservis oleh semua lapisan.  Rakyat punya kuasa penuh dalam ranah demokrasi.
Tak muluk, bila mengutip gagasan Max Weber tentang kewenangan negara. Konsep ini pula dibeberkan secara gamblang oleh Dosen Universitas Airlangga, Novri Susan dalam artikel Menyelamatkan Politik Indonesia. Kewenangan negara bekerja atas asas kontrak sosial yang dibangun antara rakyat dan pemangku kekuasaan yang terjewantah sebagai hukum. Negara harus punya andil dan sesuai aturan main.  Pelaksanaanya bertindak tegas kepada para pelaku yang melanggar. Paran utama kebijakan ini untuk ketertiban sosial. Kebisingan dan kegaduhan agar terminimalisir.
Dialog kebangsaan pun perlu dicanangkan. Dialog ini untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, kebhinnekaan, dan patriotisme. Perbedaan suatu keniscayaan. Tanpa perbedaan tak akan ada Indonesia. Tapi perbedaan perlu dirawat agar tak habis dipotong sifat serakah manusia. Indonesia rawan konflik. Tak berlebihan kita butuh dialog kebangsaan.

Para elit politik, pemangku kebijakan, polisi, TNI, akademisi, agamawan, ilmuwan, dan masyarakat awam membutuhkan ruangan untuk berdialog. Dialog kehangatan penuh cinta. Tanpa pamrih. Duduk sama rendah. Tegak sama tinggi. Duduk melingkar demi merawat Indonesia agar tak karam ke dasar lautan dalam. Tak ada masalah tanpa solusi dengan dialog dan musyawarah. Musyawarah dan mufakat inilah warisan berharga dan mutiara mahal warisan para founding father republik ini.



*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Tokoh Cerita yang Ingin Membunuh si Tuan
Next post Melalui Pendidikan, Lahirkan Pemilik Lapangan Kerja, Bukan Sekadar Pekerja