Read Time:3 Minute, 48 Second
“Untuk memperlancar jalannya pembelian tanah di Cikuya itu, pihak IAIN—sekarang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—kemudian segera menyusun anggaran. Anggaran awal yang diajukan Bappenas—sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang— sebesar Rp20 miliar. Upaya pembebasan tanah pihak IAIN dibantu oleh PT. Anugrah milik Fadel Muhammad. Demikian pula disepakati tentang harga tanah permeter Rp15 ribu,” Demikian catatan Institut pada Majalah Mahasiswa IAIN Jakarta edisi 24 Januari 1996.
Tak lama kemudian pada majalah Institut edisi majalah 1998 tanah Cikuya pun kena sorot. Pembelian 40 haktare (ha) di Cikuya berujung apes. Pasalnya tanah tersebut dalam lingkaran sengketa. Tak tanggung-tangung, masyarakat sekitar mengklaim sebagian tanah yang dibeli UIN Jakarta melalui Fadel Muhammad merupakan tanah pribadi mereka. Tak sampai di situ, agen tanah yang juga merupakan eks karyawan PT Anugrah, Taufiq Helmi pun mengaku tanah tersebut empunya tanah. Sang Bos Fadel Muhammad tak menggaji dia.
Terhitung hingga kini, tanah Cikuya 22 tahun dalam pusaran polemik. Alhasil, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) atas Laporan Keuangan Kementerian Agama (LK Kemenag)—karena notabene UIN dibawah Kemenag—UIN Jakarta pun rutin mendapat temuan terkait permasalahan atas sengketa tanah Cikuya tersebut. Pada LHP BPK-RI atas LK Kemenag tahun 2015 misalnya, pada halaman 315 tercatat tanah Cikuya termasuk aset yang tidak dilengkapi bukti kepemilikan.
Berselang satu tahun—2016 silam—sengketa tanah Cikuya pun belum usai. Dalam LHP BPK halaman 406 mencatat dari 40 hekatare masih ada 13 ha tanah masih dalam pusaran konflik. “27 hekatare telah tersertifikasi,” ungkap BPK. Sayang, yang 27 hektare pun terdapat kendala. Pasalnya, eks karyawan PT Anugrah Cinta Buana—dulu PT Anugrah—mengaku sebagian tanah kepunyaannya.”Namun pada kenyataannya tanah yang tersertifikasi (27 ha) bermasalah,” tulis LHP BPK.
Dalam LHP BPK yang sama, sengketa juga terjadi pada tanah seluas 3.390 m2 di Ciputat Timur, samping kampus satu UIN Jakarta. Kali ini yang menggugat UIN Jakarta adalah Yayasan Perguruan Islam Triguna Utama (YPITU). Perkara sengketa telah naik ke meja hijau dengan nomor No.559/pdt.G/2013/PN.TNG.
Hingga 2015, penggugat telah memenangkan perkara di tingkat pertama dan banding. Namun pada tingkat kasasi, perkara No.420K/PDT/2016 dengan Amar Putusan mengabulkan permohonan para pemohon—UIN Jakarta/Kemenag. Artinya UIN Jakarta memenangkan sengketa di tingkat kasasi.
Tak berhenti sampai disitu, sengketa lain juga terjadi. Yakni tanah dan bangunan berjumlah 115 unit di Komplek Rumah Dinas UIN Jakarta. Penghuni daerah itu tak terima dengan keputusan UIN Jakarta yang akan menggusur lahan tersebut. Mereka meminta bahwa status tanah menjadi hak milik sekaligus menggugat ke Pengadilan Negeri Tangerang. Namun, MA menolak gugatan penghuni komplek, tetapi mewajibkan Kemenag membayar ganti rugi kepada penghuni sebesar Rp500 juta per unit.
Nasib nahas turut terjadi di Gedung Perpustakaan lama. Sejak perpindahan aktivitas perpustakaan ke Gedung Pusat Perpustakaan baru pada 29 Januari 2016 silam, gedung PP lama menjadi bangunan tak terpakai.Meskipun pelbagaipihak mulai melirik kekosongan dan merencanakan alih fungsi gedung tersebut. Kepala Bagian (Kabag) Umum Encep Dimyati berencana akan membagi fungsi gedung tiap lantai. “Lantai satu dialokasikan untuk Pusat Informasi dan Pangkalan Data (Pustipanda) dan ruang pusat jurnal. Sementara lantai dua dan tiga difungsikan untuk ruang dosen,” ujarnya, Rabu (17/5).
Sayang, rencana alih fungsi masih belum terealisasi. Kekosongan gedung PP lama berpotensi pada temuan Badan Pengawas Keuangan (BPK). Hal ini diamini Sekretaris Satuan Pengawas Intern (SPI) Adi Cahyadi. Ia menganggap bahwa gedung PP yang terbengkalai menjadi tidak efektif dan efisien. “Padahal UIN Jakarta masih kekurangan ruang dosen, ruang Pustipanda, dan pusat jurnal,” tegasnya, Selasa (16/5).
Institut pun mencoba klarifikasi polemik sengketa tanah yang melibatkan pihak UIN Jakarta kepada Kabag PK Kuswara. Ia mengatakan, pembebasan sengketa aset negara sudah masuk ke dalam anggaran tahun 2017 atas usulan Kabag Umum dan Badan Pertanahan Nasional. “Tapi tugas saya hanya menganggarkan. Lebih jelasnya silakan tanya ke Kepala Sub Bagian Rumah Tangga Abdul Halim,” jawabnya singkat, Rabu (18/10).
Senada dengan Kuswara, Abdul Halim pun enggan memberikan komentar terkait permasalahan sengketa tanah. Lewat pesan singkat, ia langsung mengalihkan ke Kabag Umum Encep Dimyati. “Ia lebih kompeten untuk menjawab hal ini,” kilahnya, Kamis (19/10). Namun hingga berita ini diturunkan, Encep tetap urung menjawab kasus sengketa tanah yang menjadi master plan UIN Jakarta.
Terkait aset negara dan temuan BPK, Manajer bidang Knowledge Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenti Nurhidayat menyayangkan sikap UIN yang terkesan lalai akan asetnya. “Aset negara harus dimanfaatkan,” ujar Yenti saat ditemui di salah satu hotel di bilangan Sarinah, Jumat (20/10). Di samping itu, Yenti pun berharap UIN Jakarta menjalankan rekomendasi dari BPK terkait pelbagai temuan di UIN Jakarta. “BPK hanya bersifat mengaudit dan memberikan rekomendasi,” pungkasnya.
Dewi Sholeha Maisaroh
Average Rating