Informasi Benar di Masyarakat Pasca-Kebenaran

Informasi Benar di Masyarakat Pasca-Kebenaran

Read Time:6 Minute, 23 Second
Informasi Benar di Masyarakat Pasca-Kebenaran
Muhammad Fanshoby*
Di era pasca-kebenaran ini, tak heran semakin banyak hoaks atau informasi bohong menyebar. Karena kita dihadapkan dengan kebenaran yang digantikan oleh kepercayaan. Ia tumbuh subur dalam ruang ambigu antara kebenaran dan kebohongan, antara nalar dan naluri. Mengutip ungkapan Ariel Heryanto, seorang Sosiolog, pengamat media dan budaya popular, hoaks atau informasi bohong disekitar kita seperti debu-debu beterbangan. Kita mungkin tak dapat membuat lingkungan sekitar kita bebas dari debu selamanya. Diperlukan masker untuk menghalau debu-debu itu, namun juga diperlukan kesadaran akan lemahnya imunitas tubuh kita dari bahaya terhirupnya hoaks. Kesadaran itu untuk menghindari diri dari klaim kebenaran.
Selama ini media telah berhasil menyingkap kebohongan dengan cara memeriksa dan menguji fakta sebagai data yang dikemukakan pihak lain. Namun respons media terhadap kebohongan itu tidak mudah diterima oleh beberapa pihak. Informasi yang tersebar di masyarakat pasca-kebenaran berkembang di dalam ruang yang aneh antara kebenaran dan kebohongan; yang berdasarkan kepercayaan mereka, sehingga dengan mudah mereka menyerap perbedaan faktual bahkan kebohongan yang terang-benderang.
Hoaks seperti dengan mudah diterima oleh pihak-pihak yang telah lama percaya dengan tema-tema hoaks yang biasa disebarluaskan. Mereka mengulang hoaks yang sama, dengan maksud yang sama, dan tetap memercayainya. Kepercayaan yang dibangun oleh pihak tertentu itu menjadikan informasi bohong berubah seketika menjadi kebenaran yang disebarluaskan bersama-sama di media sosial. Ini menimbulkan pertanyaan ontologis, apa yang terjadi di masyarakat pasca-kebenaran?
Data-Informasi-Pengetahuan-Kebijaksanaan
Dengan keberagaman media informasi digital yang modern sekarang, kita tetap perlu mengingat kembali konsep klasik mengenai isi pikiran manusia untuk mencapai kebenaran yang diklasifikasikan ke dalam hirarki data-informasi-pengetahuan-kebijaksanaan (Data-Information-Knowledge-Wisdom). Data adalah simbol yang mewakili properti dari objek dan peristiwa, ia berupa fakta. Informasi terdiri dari data yang telah melalui proses yang diarahkan untuk meningkatkan kegunaan. Pengetahuan dibangun berdasarkan informasi yang diekstrak dari data di dalam tradisi filosofis, ia dapat mengambil berbagai bentuk dan definisi. Sedangkan yang terakhir yaitu kebijaksanaan, kemampuan untuk bertindak secara kritis atau praktis dalam situasi apa pun melalui pertimbangan-pertimbangan etis yang ada di lingkungan.
Jika mengingat konsep klasik tersebut, era masyarakat pasca-kebenaran mengabaikan kebenaran hampir atau malah justru di semua tingkatan. Mereka mulai memalsukan data, mengolah informasi secara salah dan pengetahuan yang banyak terdistorsi. Maka ketika terjadi data pasca-kebenaran, informasi pasca-kebenaran, dan pengetahuan pasca-kebenaran, dapat dipastikan mengarah pada kebijaksanaan pasca-kebenaran. Sekali lagi, kebenaran digantikan oleh kepercayaan. Maka tak perlu heran, jika ada banyak dari kita sangat mudah termakan hoaks. Di sini yang kita hadapi bukanlah mereka yang tak berpendidikan, atau yang berpendidikan rendah. Sebagian dari mereka merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi dalam dunia akademis. Melihat kondisi masyarakat pasca-kebenaran, muncul pertanyaan mengapa itu bisa terjadi?
Realisme Naif dan Bias Konfirmasi
Secara alami manusia tak pandai membedakan antara informasi benar dan informasi bohong. Di era pasca-kebenaran ini, manusia yang tak pandai membedakan informasi benar dan informasi bohong secara arogan dieksploitasi dengan bantuan media sosial. Dengan sistem kerja yang berbeda dengan media pada umumnya, media sosial memungkinkan pengguna mempercayai informasi bohong. Melalui fitur echo chamber atau ruang gema yang dimiliki oleh media sosial, memungkinkan pengguna menerima informasi bohong berulang-ulang sehingga menimbulkan rasa percaya dan yakin. echo chamber merupakan algoritma tertentu yang mengatur kondisi beranda media sosial sesuai dengan informasi yang kita sukai. Meskipun hal yang disukai sudah terkontaminasi berita bohong, pengguna akan tetap percaya terhadap informasi tersebut. Pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk membentuk kelompok yang berisi orang-orang yang berpikiran sama, kemudian mereka memolarisasi pendapat dan menghasilkan efek ruang gema. Pada akhirnya, efek dari echo chamber berhasil membuat orang mengonsumsi dan memercayai informasi bohong karena faktor psikologis.
Ada beberapa teori psikologis dan kognitif yang dapat menjelaskan fenomena ini serta bagaimana kekuatan dari pengaruh informasi bohong. Informasi bohong menargetkan pengguna media sosial dengan cara mengeksploitasi kerentanan individu mereka. Ada dua faktor utama yang membuat pengguna secara alami rentan terhadap informasi palsu, yaitu realisme naif dan bias konfirmasi. 
Realisme naif merupakan kecenderungan individu yang percaya bahwa persepsi mereka tentang realitas adalah satu-satunya pandangan yang akurat, sementara yang lain, yang tidak setuju dianggap sebagai tidak memberikan informasi sama sekali, tidak rasional, atau justru bias. Kecenderungan ini meyakini bahwa kebenaran hanya datang dari diri sendiri dengan menutup kebenaran yang datang dari tempat lain. Selain itu, apabila sekali saja kesalahan persepsi terbentuk, sangat sulit untuk memperbaikinya.
Sedangkan bias konfirmasi merupakan kecenderungan individu lebih menerima informasi yang mereka sukai untuk mengonfirmasi pandangan atau keyakinan mereka yang ada sebelumnya. Individu lebih menyukai informasi yang mendukung apa yang mereka yakini dan menolak informasi yang bertentangan dengan apa yang mereka yakini. Karena itu memberikan kenyamanan secara mental. Sehingga mereka kesulitan untuk membedakan informasi yang benar dan informasi bohong. Perlu diakui bahwa bias konfirmasi melekat dalam sifat manusia, informasi bohong kerap dianggap nyata oleh individu. 
Kapasitas Kognitif Terbatas
Pada kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, kita amat sulit menjelaskan dan memaparkan kebenaran kepada pihak tertentu. Karena pihak itu sudah sangat yakin dengan kebenaran yang berasal dari diri mereka. Padahal manusia memiliki kapasitas kognitif yang terbatas utamanya dalam memroses sebuah informasi. Konsep ini dikembangkan oleh Annie Lang dan rekan-rekannya dengan sebuah gagasan bernama model kapasitas terbatas yang berkaitan dengan pemrosesan pesan di media massa.
Gagasan ini bermula pada kenyataan bahwa manusia sebagai penerima pesan memiliki sekumpulan sumber daya yang terbatas dalam pemrosesan informasi. Manusia diasumsikan memiliki sumber daya kognitif dalam jumlah terbatas untuk digunakan pada tugas mempersepsikan, mengodekan, memahami, dan mengingat dunia tempat mereka tinggal. Ketika sumber daya yang tersedia tidak mencukupi, maka pemrosesan informasi akan menjadi susah payah. Manusia kesulitan mengolah informasi karena kapasitas total perhatian seseorang pada satu titik waktu memiliki keterbatasan.
Total kapasitas yang dialokasikan untuk memproses semua kegiatan dapat dibagi menjadi dua bagian: kapasitas inti yang dikhususkan untuk melakukan tugas utama dan kapasitas cadangan yang ditujukan untuk tugas-tugas sekunder di lingkungan. Kapasitas inti yang ditujukan untuk melakukan tugas utama akan mendapatkan alokasi sumber daya maksimal dalam pemrosesan informasi yang lebih kompleks. Sedangkan kapasitas cadangan hanya mendapatkan alokasi sumber daya yang minim karena bertugas menyelesaikan tugas yang sederhana. Hal ini diyakini bahwa kapasitas yang digunakan untuk melakukan tugas utama tidak dapat digunakan untuk melakukan tugas sekunder. Dengan demikian, semakin banyak kapasitas yang digunakan untuk tugas utama, semakin sedikit sumber daya seseorang yang tersedia untuk menyelesaikan tugas sekunder.
Di era pasca-kebenaran ini, dapat dilihat bahwa beberapa orang yang terlibat dalam penyebaran hoaks tidak menggunakan sumber daya utama dalam pemrosesan pesan. Karena dalam mengidentifkasi pesan yang belum tentu kebenarannya diperlukan disiplin verifikasi yang membutuhkan sumber daya utama. Mulai dari bersikap skeptis terhadap pesan yang diterima, memaksakan diri dengan tidak hanya melihat judul berita tapi membaca seluruh isinya, memeriksa sumber-sumber informasi yang diterima, hingga membandingkan informasi di media yang satu dengan yang lainnya. Ini pekerjaan yang berat dan membutuhkan sumber daya utama.
Selain itu, manusia juga memiliki dua sistem motivasi yang mendasarinya. Pertama; sistem selera/kesukaan (atau pendekatan), kedua; sistem permusuhan/ketidaksukaan (atau penghindaran). Sistem ini secara otomatis akan menjadi aktif sebagai respons terhadap rangsangan dari informasi yang relevan berdasarkan motivasi seseorang di lingkungannya. Hal itu memengaruhi proses kognitif yang sedang berlangsung. Semakin informasi itu disukai maka semakin mudah pesan itu diterima dan diproses dengan baik, begitu juga sebaliknya. Dalam kasus pelaku penyebaran hoaks misalnya, beberapa orang kita ketahui memiliki reputasi yang tidak main-main, atau memiliki gelar akademik yang cukup tinggi. Dapat kita lihat bahwa informasi bohong yang mereka sebarkan memiliki kaitan afiliasi ideologi atau golongan tertentu yang menjadikannya motivasi untuk menyebarkan informasi tersebut meskipun informasi itu bohong.
Masyakarat pasca-kebenaran harus mengakui ketidakberdayaan mereka membedakan informasi benar dan informasi bohong. Dengan demikian kita bersama-sama bersikap rendah hati menerima kebenaran yang datang dari tempat lain. Meski kebenaran itu datang dari seorang kecil sekali pun. 
*Mahasiswa Program Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Si Pengecut Yang Mengambil Hidupmu Previous post Si Pengecut Yang Mengambil Hidupmu
Tetap Mengabdi Walau Tersisih Next post Tetap Mengabdi Walau Tersisih