Si Pengecut Yang Mengambil Hidupmu

Si Pengecut Yang Mengambil Hidupmu

Read Time:15 Minute, 7 Second
Si Pengecut Yang Mengambil Hidupmu

Oleh : Mulia Kurniati*


Sore itu, seperti biasanya aku kembali dari kampus. Akhir-akhir ini hujan  terus mengguyur setiap sore. Aku yang pada  dasarnya memang tidak menyukai jas hujan dan payung lebih memilih berhenti dan menepi. Di setiap waktu inilah pikiranku mulai menggerayang, aku mencoba melepas otakku untuk berpikir, berpikir tentang hal yang paling kritis untuk aku lamunankan. Sudah beberapa semester ku tempuh, aku ditantang oleh keadaan untuk hidup mandiri, dan karena kemandirian pulalah aku menjadi pribadi perenung. Aku suka menebak-nebak kejadian apa yang akan datang ditiap detik dan menit hidup ini. Sekejap, renunganku kali ini jatuh pada ketidakperdayaan keluargaku. Kemerdekaan keluargaku dapat dinilai tidak lebih, namun tidak juga kurang dalam artian sejahtera, tapi kuakui, banyak kurangnya. Padahal sudah bertahun-tahun lamanya si jawatan itu berkuasa, dan untuk seorang yang berjiwa muda, berbagai persoalan hidup sudah banyak aku rasakan, salah satu yang terberat adalah saat harus kehilangan sosok Ibu. Ibuku beberapa bulan yang lalu meninggal dunia. Kuingat lagi masa-masa  itu, masa-masa saat kulihat Ibu masih kelihatan sehat. Tanpa disertai angin maupun hujan, penyakit itu melekat dengan sembarangnya dan enggan untuk pergi, seolah-olah sudah menjadi bagian dari tubuh Ibuku. Aku ingat betapa hancurnya hati ayahku ketika Ibu meninggal. Mungkin karena kesedihan yang amat mendalamlah yang membuat keadaan Ayahku sekarang tidak jauh berbeda dengan Ibuku dulu. Ayahku terkena komplikasi. Penglihatannya pun sudah tidak jelas, beberapa hari lalu ia menjalani pengobatan, namun bukan dari tangan-tangan dokter di rumah sakit, mungkin bisa dikatakan pengobatan alternatif. Tetapi setelah ku pikir-pikir, pengobatan ayahku ini ajaib sekali, karena ia langsung sembuh pasca pengobatan itu.
Bermula ketika Ayahku pergi tanpa pamit dan izin, ia memaksaku untuk mengganggu tetangga-tetanggaku di waktu sembahyang maghrib mereka. Masih kuingat dengan jelas, bukan keberadaan Ayah yang kuterima, malah jawaban bahwa Ayahku hanya menitipkan au pada mereka. Bukan main paniknya aku, namun sehari kemudian—tepatnya  sore hari—ia  kembali. Ia ceritakan semuanya. Tapi, aku hanya menyerap sebagian karena sebagian lainnya adalah bagian yang kurasa kurang penting. Yang membuat penasaran untukku adalah bagaimana ia bisa pergi tanpa memberi tahu aku, anaknya. Sekembalinya ia, kulihat kepalanya yang diperban, ia hanya mengatakan:
“Kepala Ayah di lubangi tanpa infus, lalu di ambil kankernya” Aku terkejut, Ayahku ternyata menderita kanker, ia mengatakan padaku bahwa ia juga baru mengetahui itu saat sedang diobati. Tapi kusadari, akhir-akhir ini ia mengeluhkan sakit kepala luar biasa. Tapi aku tidak menyadari itu sebagai suatu yang berbahaya. Betapa malangnya nasib Ayahku.
“Bagaimana Ayah bisa sampai kesana?” Tanyaku penasaran
“Teman Ayah ingin berobat ke luar kota, ia memohon pada Ayah untuk menemaninya, bahkan menawarkan agar Ayah diobati. Dalam situasi seperti itu, Ayah tidak berpikiran untuk meluluskan keinginannya karena Ayah tahu kamu akan khawatir, namun karena ia memaksa, Ayah mengiyakan” Katanya berusaha menghubungkan setiap pertanyaanku. Aku hanya  membisu, aku merasakan hantaman benda tajam, akuanak yang jahat. Beberapa waktu lalu  Ayahku sedang berada di ambang kematian, sedangkan aku tak tahu apapun.
Kupikirkan ini semua lebih dalam, dan kudapati kenyataan, aku hanyalah seorang pemuda yangtinggal di tempat yang bisa dikatakan tidak layak. Meskipun sudah kukatakan, aku tinggal di tengah-tengah kota, hidupku setelah perginya Ibu, tidaklah sungguh baik. Rumahku sudah reyot, dengan dinding-dinding bangunan yang dari luar kelihatan masih kuat namun nyatanya di dalam sana sudah hancurtersisa kerangka-kerangka bangunan. Dahulunya keluargaku paling disegani masyarakat, karena Ayah dikenal sebagai pengumpul sampah yang ada di tengah maupun pinggir jalan, ini membuat orang terbantu. Tapi, dulu, banyak orang yang bertanya padaku, “apa tidak khawatir?” Aku hanya tersenyum.
Saat aku kecil, Ayah selalu mengatakan “di zaman seperti ini semua orang bekerja, dan melakukan semuanya hanya atas dasar itu” Aku belum sepenuhnya paham. Lalu, ia mengajak ku naik sepeda butut nya, butuh perjuangan ketika aku harus duduk di kursi belakang, karena tinggiku yang tidak melampaui ukuran sepeda, aku perlu digendong Ibu untuk duduk di kursi belakang. Ia kemudian mengajakku bersepeda di jalan raya, sambil menunjuk banyaknya sampah yang berada ditengah jalan, bahkan saking lamanya dibiarkan, sampah itu sudah menempel. Baru ku sadari pula, sampah-sampah itu asalnya dari TPA di pinggir jalan, yang pagarnya sudah hancur dan tersisa tembok-rembok bongkahan. Aku yang saat itu belum terlalu paham hanya melihat itu dari kacamata anak kecil. Aku lebih terpesona pada pemandangan lapangan pesawat terbang yang amat luas di pinggir jalan.Lapangan itu dikelilingi rumput dan beberapa traktor besar untuk membajak sawah, aku bahagia dan bertepuk tangan saat pesawat di atas kepalaku membuat jalanan gelap, suara baling-balingnya sangat riuh dan berisik, sayangnya aku tidak bisa menerobos masuk, karena dibatasi pagar dengan kawat tinggi, jadi aku hanya bisa menonton di atas sepeda butut ayah.
Setelah pesawat berlalu, Ayah turun dari sepeda lalu mengangkatku, kemudian menyuruhku diam dipinggir jalan, aku disuruh untuk memperhatikannya memungut sampah-sampah tersebut. Ia terlihat kesulitan saat memungut sampah plastik yang sudah menempel, sambil memungut ia mengangkat tangannya ke atas, lalu semua orang yang berkendara akan berhenti. Aku bosan menunggu Ayah, aku membalikan badan melihat ke arah lapangan, dan betapa indah pemandangan yang disuguhkan. Warna hijau dimana-mana, di kejauhan terdapat rumah besar bagi pesawat-pesawat itu. Aku terkagum-kagum. Rambutku berkibar-kibar. Mesipun sejuk, perasaanku tidak enak, suasana pun mulai berubah, angin mulai terasa sangat kencang, awan kelihatan mulai gelap, seperti akan malam. Namun aku masih ingat, hari itu masih pukul setengah tiga. Suara kendaraan makin terdengar memburu, kendaraan-kendaraan itu seolah sedang berbalapan untuk menentukan siapa yang akan sampai duluan sebelum hujan turun, tapi aku baru tersadar, Ayahku sudah tidak ada ditengah jalan. Beberapa orang dipinggir jalan berkerumunan, seseorang menggendongku lalu membawaku ketempat Ayah. Kulihat Ayah tidak sadarkan diri dengan darah dimana-mana dan tangan yang memegang plastik yang menempel tadi.
                                                                                              _______
“Tin… Tin…” Tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil, kukira itu bagian dari khayalanku, ternyata tempatku duduk adalah kedai pemilik mobil itu. Dasar laknat, ia mengagetkanku dari lamunan masa kecil, aku terlihat kikuk. Aku berjalan pergi, hujan pun sudah berhenti. Sambil berjalan, kuingat kembali kisahku tadi, saat Ayah memberi tahu penyakitnya, aku menangis tersedu-sedu, Ayah memelukku lalu mengusap rambutku dengan tangan kasar miliknya, tangan itu yang membuat keluargaku hidup hingga sekarang, tangan itu pula yang menjadikan aku bisa bersekolah karena pungutan sampah itu. Aku mencium Ayah lalu memintanya untuk beristirahat. Aku kembali tertengun. Ya, Ayahku memang seorang pemungut sampah—di akhir pekan. Hari-hari biasanya ia kerjakan dengan membuat kerajinan dari sampah-sampah itu, dan itu masih ia lakukan sampai sekarang, meskipun aku sendiri sudah bisa menghasilkan sedikit uang dari kerja paruh waktuku. Prinsipnya hanya satu : “Mereka yang bekerja sekedar mencari uang tidak bisa merasakan bagaimana rasanya mencari uang tanpa meninggalkan kewajibannya mengabdi untuk masyarakat”, Ayahku memungut sampah bukan untuk mencari penghidupan dari sampah-sampah itu, orang lain hanya menganggap sampah-sampah itu tidak penting, berbeda dari pandangan Ayah, yang menganggap itu adalah suatu bahaya bagi pengendara yang melewatinya, karena bisa saja sampah itu terbang menutupi jalan para pengendara dan membuat kecelakaan. Ayahku sudah seringkali berbicara dengan pihak TPA, mereka sempat kaget dengan apa yang dikatakan Ayah, awalnya mereka menunjukan kesediannya menanggapi pendapat Ayah untuk merenovasi pagar penutup TPA tersebut, namun hingga sekarang itu hanya omong kosong. Yang kusesali hingga sekarang, Ayahku seringkali celaka untuk sebuah sampah.
Ku hentikan lamunanku di perjalanan pulang, lalu bergegas untuk pulang. Sesampainya Aku di rumah, semuanya kelihatan sepi, Tapi aku yakin Ayah ada di rumah. Aku pergi masuk dan melewati kamar Ayah, Ayah sedang tertidur. Kupandangi ia dengan mata sayu. Wajah berumurnya sudah kelihatan berbeda sejak dua belas tahun yang lalu. Rambutnya hampir seluruhnya memutih, garis air mata terlihat jelas, ku ingat saat itu ia menangis tidak berhenti saat Ibu meninggal. Aku tersenyum, setidaknya iatidak kurus. Meskipun tidak sesehat dulu, ia tidak kurus kering, hanya saja wajahnya seperti pucat dan sakit. Aku menciumnya lalu berjalan kembali ke kamar. Pagi harinya, memasuki minggu keempat dibulan Mei, aku berangkat kuliah berjalan kaki. Aku lakukan ini sudah bertahun-tahun semenjak diterimanya aku di Univeristas ini. Dulunya aku sadar, seharusnya aku tidak perlu kuliah. Itu akan membebani Ayahku, tapi aku ingin membuat Ayah bangga. Aku tidak ingin merepotkan Ayah dikemudian hari karena menjadi pengangguran.
Beberapa waktu yang lalu, kampusku baru saja tertimpa musibah besar. Para Mahasiswa banyak yang menjadi korban. Padahal mereka hanyalah rakyat yang memiliki hak untuk berbicara. Beberapa di antara mereka ada yang mati. Memang, pada saat itu Negara dalam keadaan yang semrawut, demo dilakukan hampir di seluruh kalangan masyarakat di berbagai daerah.  Tempatnya pun tidak pandang bulu. Kampus dan Mahasiswa yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat tidak bisa hanya diam mengetahui ini. Dalam demo itu, beberapa teman-temanku banyak yang mati.
Hari ini Aku dan beberapa teman satu jurusan akan kerumah orang tua salah satu temanku yang tewas.  Kami tidak bisa mengunjunginya pada hari kematiannya, karena kami sendiri masih syok. Aku dan temanku berboncengan menggunakan sepeda motor yang mirip seperti kepunyaan Ayah. Sesampainya dirumah almarhum temanku, kami disambut oleh sang Ayah yang kelihatan masih sedikit terpukul. “Silahkan masuk anak-anak” Sapanya hangat. Aku dan beberapa teman masuk ke dalam dan bertemu Ibu temanku. Saat itu Aku kasihan sekali padanya, Wajahnya pucat dengan mata terlihat merah, terdapat lingkaran hitam di bawah matanya, saat ia menunduk makin kelihatan lingkaran itu. Saat itu, kami semua hanya terdiam, tak berani bertanya macam-macam. Ia juga hanya duduk termenung, namun sesekali menyunggingkan senyum. Temanku izin kebelakang, bersamaan dengan itu tiba-tiba saja mulutnya bergetar.
“Syukurlah masih ada anak-anak yang selamat” Katanya menunduk namun kulihat ia tersenyum saat mengatakan itu, kami hanya berkata seadanya dan mengucapkan syukur pula. Ia mencoba kembali mengatakan sesuatu, tapi kelihatan sangat sulit, suara sesegukan membuat perkataannya tidak jelas. Beberapa kali suaminya mengingatkan untuk tidak terlalu memaksakan. Ayah temanku itu kemudian membawa beliau masuk ke kamar. Beberapa menit kemudian ia kembali dan duduk berkumpul bersama kami. Ia mulai bercerita pada hari dimana peristiwa berdarah itu terjadi. Sore itu, ia sedang beristirahat setelah pulang bekerja, sementara istrinya sedang di dapur. Media massa menyebarkan berita itu bagai angin. “Istri saya sempat pingsan beberapa kali, pikiran kami tidak bisa tenang, selepas maghrib kami ingin menyusulnya ke kampus, namun kami mencoba berpikir jernih, aparat menembakan peluru kesegala arah, kami juga mendapat informasi bahwa sasarannya bukan lagi hanya Mahasiswa melainkan juga orang luar” ceritanya pelan. Aku dan yang lainnya mendengarkannya dengan seksama.
Ayah temanku bercerita panjang lebar, beberapa kali ia menyeruput kopinya dan mempersilahkan kami untuk meminum dan memakan suguhan. Ia kembali bercerita, pada hari itu, Istrinya mengatakan bahwa malam sebelum peristiwa itu terjadi, anaknya sempat mengatakan hal yang tidak dimengerti. Kami dibuat penasaran. Salah satu temanku yang baru saja kembali dari toilet ikut penasaran lalu bertanya “Apa itu sebuah firasat?” Kami memandangnya dengan melotot. Ayah temanku hanya tersenyum. “Malam itu, anak saya meminta untuk ditemani Ibunya mencuci mobil, Anak saya termasuk manja pada istri saya, istri saya tidak melihatnya sebagai suatu firasat. Mereka berdua bersenda-gurau, saat itu saya sedang menonton televisi di ruang tengah. Samar-samar saya dengar tawaan mereka berdua. Ternyata setelah saya tanyakan hal itu pada istri saya pagi harinya, anak saya bercerita bahwa besok ia akan memberikan kado minyak wangi untuk teman wanitanya. Istri saya kaget luar biasa lalu menggoda anak saya. Namun perbincangan setelahnya sunyi, karena anak saya tiba-tiba mengatakan bahwa ia sedang dilanda rasa takut. Istriku memecah keheningan lalu kembali menggodanya, saat itu ia mengira bahwa anak saya takut untuk menyatakan perasaan” Pada kalimat terakhir, Ayah temanku mengeluarkan air mata. Karena terlalu fokus pada cerita Ayah temanku, kita tidak menyadari bahwa Ibu temanku itu keluar dari kamar, lalu duduk ditengah-tengah kami. Ia terlihat sudah sedikit membaik daripada tadi, aku rasa ia mendengar semua perbincangan kami. Untuk menghibur, teman saya yang lainnya mencoba menghibur ”Bu, Elang suka bilang ke saya, walaupun dia sudah makan siang di kampus, ia akan tetap makan masakan Bunda Teti di rumah” kata temanku tersenyum. Beberapa temanku yang lainnya mulai ikut membuka mulut menceritakan kebaikan temanku itu.
Aku sendiri merasakan firasat yang tidak enak sebelum peristiwa itu datang. Hari itu, aku bersama Elang, berniat mengumpulkan tugas setelah sekian lama kami mengerjakannya semalaman. Setelah kami mengumpulkan tugas,ia mengajakku untuk melihat sebuah proyek di samping kampus. Wajarlah, kami jurusan Arsitektur. Sesampainya di sana, kejadian janggal mulai terjadi. Tiba-tiba saja seorang pekerja proyek memberikanku sebuah pensil, ia bilang, pensil itu adalah kenangan terakhir bagi Elang, saat itu Elang tidak sadar. Aku tidak dapat mencerna apa yang pekerja itu katakan, aku berusaha tidak memikirkannya. Lalu, saat kami berdua akan kembali ke kampus untuk mengikuti demonstrasi, seorang wanita datang pada kami sambil menangis, ia menangis sambil menatap Elang. Kami mengabaikannya, dan menganggapnya sebagai orang sakit jiwa. Sesampainya di kampus, tepatnya di parkiran kampus, kami di kejutkan kembali oleh munculnya seorang wanita berbeda, ia menangis sambil menunjuk temanku itu, kulihat wajah Elang kala itu, ia mulai kelihatan panik, aku mencoba menenangkannya.
Hari semakin sore, aksi Mahasiswa akan dilanjutkan dengan long march menuju Gedung DPR. Beberapa Mahasiswi terlihat sedang membagikan bunga kepada aparat sebagai tanda aksi damai. Namun, aksi ini malah mendapatkan kecaman dari aparat. Pihak aparat memerintahkan Mahasiswa kembali ke kampus, awalnya mahasiswa setuju untuk kembali. Ada kejanggalan dimana pihak aparat tiba-tiba saja seperti berubah pikiran. Suara tembakan dilangit mengangetkan seluruh mahasiswa. Sebelumnya, terdapat seorang mahasiswa yang tidak dikenal menyerang kumpulan Mahasiswa yang berorasi dengan kata-kata yang membuat naik pitam.  Beberapa Mahasiswa yang terpancing emosinya mulai mengejar Mahasiswa itu, tidak diduga-duga, Mahasiswa itu malah berlari dan menyembunyikan diri dibalik aparat. Aku dan teman-teman lainnya hampir saja dibuat naik darah, namun bisa dihentikan oleh pihak panitia acara orasi.  Mereka kembali berjalan menuju kampus, tapi, tiba-tiba saja terdengar suara peluru meluncur di atas langit. Aku, Elang, juga Mahasiswa lainnya kaget dan berusaha melarikan diri. Melihat situasi yang semakin tidak terkendali, Aku berpesan pada Elang untuk bertemu kembali di depan kantor pos satpam kampus. Sementara itu, aparat semakin gencar menembakan peluru ke segala arah. Setelah semua yang terjadi, aku menyebut hari itu sebagai hari berdarah, aku berpikir, apakah aku bisa selamat? Aku merasakan semua orang pada saat itu ketakutan, dan tidak pernah mengira bahwa aparat akan sekejam itu.
Aku berusaha meloloskan diri dengan melompat pagar yang membatasi kampusku dengan kampus sebelah, belum sampai di dalam kampus, aku merasakan panas pada bagian perut, setelah kusadari, aku terkena peluru karet, namun aku sangat bersyukur karena peluru tersebut tidak sepenuhnya mengenai bagian perut. Peluru tersebut meleset mengenai kancing celana, hanya saja kurasakan perutku perih, mungkin ini efek dari  peluru tersebut. Seketika aku teringat pada El dan teman-temanku yang lainnya. Aku memandangi sekelilingku, aku tak bisa menahan perasaan duka, marah, dan emosi dari darah, luka, pecahan kaca yang tercecer, juga penghinaan dan kebrutalan pada saat itu. Setelah ku rasa cukup aman, aku mencoba berlari menuju tempat di mana aku berjanji bertemu dengan Elang. Tapi ia tidak ku temukan. Beberapa menit kemudian, aku dapat info bahwa Elang tertembak peluru tepat pada jantungnya, peluru itu menembus hingga memecahkan kado untuk teman wanitanya. Saat itu aku jatuh ambruk, lalu berusaha menemui Elang.
Aku kembali memfokuskan pada situasi sekarang, Ayah dan Ibu Elang menangis di depan kami, mereka sangat kecewa dengan pemerintah. Mereka dijanjikan harapan mengenai pengusutan kasus ini, kematian Elang dihargai dengan sebuah plakat bertuliskan pahlawan reformasi. Namun, keduanya berkata pada kami: “Bukan penghargaan yang kami inginkan! Kami menginginkan penjelasan yang konkret terhadap penyebab kasus ini, siapa dan apa yang menyebabkan anak-anak kami harus mati di tangan aparat yang sudah seharusnya berusaha mencoba membuat masyarakat aman dan sejahtera” Kami hanya memandang keduanya dengan amarah di hati kami, kami juga merasakan ketidakadilan atas apa yang kami dapatkan.
Beberapa bulan kemudian, Ayahku meninggal. Aku tidak kuasa memberi pengobatan mahal, dokter-dokter di luar sana terlebih dahulu mempertimbangkan seberapa banyak uang yang kumiliki. Namun di sisi lain aku tidak bisa mencegah semua takdir yang sudah Tuhan kuasakan. Tapi, kadangkala aku masih seringkali menyalahkan negara ini. Ayahku juga seorang pejuang. Pejuang masyarakat, mengenai kejadian yang terjadi di kampus, itu merupakan ingatan yang tidak akan pernah kami lupakan. Masih kuingat pula, beberapa hari setelah kedatangan kami ke rumah temanku itu, Aku ditunjuk untuk ikut sebagai saksi dalam pengusutan aparat yang menembak teman-teman kami. Aku, beberapa teman, polisi, pihak kampus, juga beberapa orang yang berkepentingan juga diikutsertakan dalam penelitian ini. Yang akan diteliti adalah peluru yang menembus korban dari jurusan lain, peluru itu tidak sampai keluar, melainkan bersemayam di dalam tubuhnya. Masih dalam ingatanku pula, kami harus membongkar makamnya. Akan tetapi, polisi terlebih dahulu meminta izin keluarga untuk mengotopsi jenazah dengan maksud mengambil barang bukti berupa peluru yang nantinya dapat dijadikan sampel pembanding, untuk mengetahui jenis peluru dan senjata apa yang digunakan si pelaku. Namun dalam proses penelitian ini, terdapat banyak kejanggalan. Saat polisi dari pihak kami berniat meminjam senjata pada aparat—yang  pada saat itu dicurigai pemilik satu-satunya senjata bagi peluru itu—mereka mengatakan keberatan atas permintaan kami, namun beberapa hari kemudian, mereka berubah pikiran.
Akhirnya tanpa berpikir lama-lama, pihak kami mengadakan uji coba, namun kembali terjadi kejanggalan. Seperti yang sudah kita ketahui, setiap aparat memiliki senjatanya masing-masing, namun aparat-aparat itu kembali mempersulit kami dengan menggunakan senjata itu secara bergantian ketika hendak diadakan uji coba. Perlu disadari, bagaimana pun cara kami mengungkapkan peristiwa berdarah ini, ada sosok-sosok yang mencoba menghalanginya. Makin jelas persoalannya, Aku semakin menyesali kepergian mereka, tapi aku yakin mereka pasti tidak mati sia-sia. Dalam hatiku terenyuh, Pemerintah macam apa yang membuat masyarakatnya merasa tidak aman dan sejahtera, pada suatu saat nanti aku atau yang lainnya berjanji dapat mengungkap kasus ini untukmu, mencari tahu si pengecut yang mengambil hidup para pejuang negara.
*Judul ini saya kutip dari salah satu lirik puisi seorang Mahasiswa Trisakti yaitu Pramudya Wardhana dengan judul “Aku Peduli” sebagai wujud bela sungkawanya pada korban Tragedi Trisakti, 1998.
*Penulis merupakan mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Tisu Basah Musuh Lingkungan Previous post Tisu Basah Musuh Lingkungan
Informasi Benar di Masyarakat Pasca-Kebenaran Next post Informasi Benar di Masyarakat Pasca-Kebenaran