Malam ke seratus dari seribu mimpi, ketika tanah retak dengan harapan-harapan manusia yang mulai telanjang.
“Telanjang itu mati, sayang,” bisik anak yang memiliki bibir vertikal di sebelah nisan tua yang tak bernama.
“Mereka terbungkus kain mori sepanjang dua meter, tertanam jauh di tanah,” lanjutnya dengan girang sembari memainkan celana dalamnya yang kendur.
“Kau mesti ingat, kematian adalah hal yang menyenangkan, banyak lelucon tentang kematian yang sering didongengkan orang tua yang mulai berlipat kulitnya.” Kata perempuan berjubah putih dengan menyeringai.
“Bidadari, kemewahan, kenikmatan, dan segala yang nyaman menjadi kidung malam, pengantar tidur. Siapa yang tak ingin bercinta dengan bidadari hanya dengan mengirim sepotong surat ke seluruh alam? Lelucon klasik, serupa anak itik yang baru keluar dari cangkang telurnya yang putih.” Hihihi, sedang aku yang telah mati seribu tahun saja tak pernah beranjak dari tempat busuk ini.
***
Hidup hanyalah dongeng pengantar tidur, kata ibu suatu waktu. Perkenalkan namaku Luka, laki-laki atau perempuan, perempuan atau laki-laki. Ibu tak pernah menjelaskan padaku, aku ini laki-laki atau perempuan. Bagi anak kecil yang selalu menetek pada puting ibu toh hal ini tidak terlalu penting, yang terpenting perutku gembung oleh air susu.
Terkadang ibu memakaikan aku rok putih dari kain mori yang dililitkan begitu saja, terkadang ibu melekatkan celana yang dibuka dan dilemparkan bapak saat menunggangi ibu di malam-malam yang penuh debu padaku.
Ibu pernah berkata padaku, Tuhan akan mencintaimu dengan lebih jika kau selalu mendekapnya. Lelucon macam apa lagi ini, ibu yang tak pernah melihat Tuhan pun mulai ikut-ikutan mendalilkan namanya di telingaku, tunggu sebentar, ini bukan telinga, tetapi lebih mirip dengan lubang sumur, karena tak ada daun serupa milik manusia lainnya.
Semua orang bisa memasukkan sampah-sampah ke dalam telingaku, tapi bagaimanapun juga air dalam telingaku tetap jernih. Maka dari itu banyak orang yang mengambil air dari telingaku, ya mungkin karena sumur-sumur yang mereka gali mulai tercemar karena banyaknya pabrik yang berdiri di negriku yang kian sesak. Dengan seenaknya pemilik pabrik membuang limbah, tanpa merasa bersalah. Kau lihat banyak ikan-ikan di sungai yang mati, akibat racun moncong-moncong kapitalis?
Tak ada orang yang mau mendekatiku, mungkin karena aku tak memiliki kelamin dan juga kengerian melihat telingaku yang serupa sumur ini. Banyak orang yang beranggapan bahwa aku ini titisan si Lucifer. Aku tak memiliki kawan selain anak kecil berpopok yang memiliki bibir vertikal dan perempuan cantik yang tak pernah bosan bergelantungan di pohon, serupa monyet.
Kami bertiga selalu mendiskusikan bagaimana menjadi seorang pembunuh yang professional, kami selalu mengincar mangsa-mangsa yang hanya ingin menunggangi manusia lainnya, bahkan manusia yang berani membunuh manusia lainnya demi satu moncong kapitalis.
Kami jadikan mereka mangsa, bila malam ganjil telah tiba, kami mendatangi rumah mereka tiba-tiba, kami menyelinap dari celah-celah dinding yang retak. Setelah semua nafas terhenti, kami mancangkul kepala mereka, persis saat mereka mencangkul tanah di pekarangan milik orang yang berumah kardus.
Keesokan harinya kami mendengar kabar kematian, kami tersenyum bangga. Tak ada darah pun jejak yang kami tinggal. Malam menjelang dua belas kali lonceng berdentang, aku kembali menemui kedua temanku.
“Kun.” Aku memanggil perempuan cantik itu dengan nama Kun, bukan kunti, tapi kalkun, karena bokongnya mirip dengan ayam kalkun milik ibuku.
“Ya? Kau masih belum puas melihat kematiannya?”
“Begitulah, dia harus telanjang, seperti saat mereka menelanjangi banyak orang hanya demi satu kepuasan. Membiarkan dia telanjang seperti orok, biarkan dia menjerit, lalu bangkit, atau hanya menggigil di dalam kubur. Pasti belatung-belatung dengan lahap memakan perutnya yang gendut karena daging-daging yang mereka sesap dikala dia masih hidup.”
“Baiklah, aku akan membantumu.”
Kami bertiga kembali beraksi mencabut patok nisan, menggali gundukan tanah yang belum sempat kering, dengan ganas aku menelanjanginya, aku melihat sekilas belatung-belatung mulai melubangi pusarnya. Aku mengambil salah satu dari mereka. “Teruskanlah kerjamu nak, kau pandai sekali.”
***
“Kau dapat dimana kain mori itu” bapak membentakku.
“Mendekatlah, aku mencurinya di kuburan, aku akan sakti dengan memakai kain ini, aku akan lebih lihai dari para tuyul dalam mencari uang ataupun tanah.”
“Dasar anak edan.” Bapak pergi dari hadapanku, karena sedari awal kelahiranku bapak tak suka denganku. Aku kelahiran yang tak pernah dikehendakinya. Bapak sering kali ingin membunuhku ketika aku dalam kandungan, tetapi aku lebih kuat mencengkeram rahim ibu.
Aku mengitari kampung dengan kain mori, akan aku sulap daerah ini menjadi gedung-gedung bertingkat atau gedung serupa kaki ayam, biar bisa aku buat jalan-jalan keliling dunia.
Kata orang aku semakin tidak waras dan ibu berencana untuk memasungku, karena menurutnya aku adalah aib, tapi apa peduliku dengan mereka, arwah pemilik kain mori itu sudah merasuk dalam tubuhku. Aku bukanlah Luka yang lugu, yang sering diinjak oleh kaki bersepatu lars dulu.
Ibu tak bermain dengan ucapannya, malam ke dua puluh satu setelah aku mendapatkan kain mori itu, ibu memasungku. Tak memberi aku tetek, perutku mengempis sepeti kain mori yang aku lilitkan pada tubuhku. Aku semakin kurus, si Kun menemui aku diam-diam, karena jika ada yang tau maka matilah Kun untuk kedua kalinya.
“Makanlah daging sisa belatung ini.”
“Kau mengambilnya darimana?”
“Dari orang yang kita bunuh dua puluh hari yang lalu, dia akan bangkit tepat pada hari ke tiga puluh hanya dengan tulang. Ia akan kembali mencari daging untuk menutupi tulang putihnya.
“Hahaha, bangkitnya kematian, apakah Tuhan tau?”
“Jangan bicara tentang Tuhan, dia masih tidur.”
Ssttt….
Aku memakan daging itu dengan lahapnya, perutku kembali menggembung, bukan karena susu, tapi karena bangkai.
***
Seperti ramalan si Kun, kuburan itu tebelah ketika hari genap tiga puluh, ada sedikit kengerian dalam diriku, jangan-jangan dia mencariku. Si Luka yang telah membunuhnya. Tapi dia tak akan menemukanku di sini, aku sedikit lega.
Berita kematian terus saja menghiasi pemukiman kumuh di seberang sungai, ini serupa teror. Warga mulai resah dan beberapa telah meninggalkan daerah yang tak aman ini. Sebagian lagi masih menetap karena mereka tidak tau harus kemana, sedang hanya sepetak tanah yang menjadi makanannya. Tanah yang setiap hari ia cangkul untuk memenuhi perutnya.
Kun kembali menemuiku dengan segurat kesedihan yang menghiasi tubuhnya.
“Bayiku-bayiku….” Kun menangis dengan menyesap kakiku
“Bayimu kenapa Kun? Ada apa dengan bayi berpopokmu?”
“Ia telah memakan anakku.” Kun memancarkan cahaya yang tak berdaya di matanya.
“Tak hanya itu, dia akan membunuhmu juga, keluargamu, dan semua orang yang ada di sini. Ia akan menjadikan rumah-rumah dari kardus ini kuburan kita. Tak hanya itu, kau tahu rumah persemayamanku. Rumah-rumah dongeng kematian? Akan mereka ratakan. Bersiaplah, katakan pada Tuhan, aku ingin berdamai dengannya.”
“Aku juga ingin berdamai denganya.”
Tapi semua terlambat, laki-laki yang sempat mereka bunuh berada di hadapanya mengendarai buldozzer dan mengeruk mereka. Luka mati dengan kain mori yang masih melekat di tubuhnya.
*Penulis adalah mahasiswa Aqidah Filsafat, FU, UIN Jakarta
Average Rating