Hujan Turun Deras

Read Time:6 Minute, 5 Second

Oleh Ayu Alfiah Jonas*
Apabila Setya menyebutnya sebagai wanita tak berperasaan maka iya-kan lah. Sebab Anggia memang terlahir sebagai wanita tangguh nan perkasa. Dan ia sama sekali tak bisa memilih Setya, lelaki yang selalu bersedia menolongnya. Bukan apa-apa. Hanya saja, Setya memang terlalu baik untuknya. Tidak baik memanfaatkan lelaki yang rela melakukan apa saja demi cinta; begitu kata ibunya. Dan sungguh, betapa Anggia memang sangat mengagumi Setya. Bertahun-tahun lamanya Setya berusaha membuktikan cinta. Tetapi tetap saja Anggia tak bisa menerima. Terlalu indah baginya untuk menjalin hubungan dengan Setya.

“Anggia, bagaimana hubunganmu dengan Setya?” Ibunya bertanya suatu ketika, saat Anggia baru pulang kerja.
“Tidak ada apa-apa antara saya dan Setya, Bu.” Anggia duduk di sebelah ibunya.
Anggia mencium tangan ibunya dengan lembut. Ia amat menyayangi ibunya sebab selalu mendukung apapun keinginannya. Segala hal yang berasal dari hati dan jiwanya selalu didukung dengan sempurna.
“Mungkin Setya memang diciptakan untukmu, Anggia.” Sang ibu mengelus rambut Anggia.
“Tidak, Bu. Anggia belum siap. Ibu pasti tahu alasannya.” Anggia pergi meninggalkan ibunya yang masih menghela napas.
Begitulah Anggia. Tiap kali ditanya perihal Setya, ia akan pergi dengan tergesa. Anggia merasa bahwa Setya terlalu baik sehingga, tak pantas mendampinginya. Tetapi Setya—dengan kesetiaannya yang luar biasa—tetap bertahan mengejar Anggia. Meski ia dibohongi berkali-kali, dikecewakan setiap hari. Setya tetaplah Setya, lelaki dengan sejuta maafnya.
Perasaan Setya yang tetap kokoh meski ditumbangkan berkali-kali pernah membuat Anggia terdiam seribu bahasa. Suatu ketika, saat Anggia baru saja berangkat kerja, Setya sudah menunggu tepat di depan kantornya. Dengan senyum paling manis, Setya menyambut Anggia. Sarapan telah siap beserta pencuci mulutnya. Setya tahu betul Anggia tidak pernah sempat sarapan di rumah. Sebenarnya Anggia amat bahagia. Tetapi, sekali lagi, ia tak bisa menerimanya. Ditinggalkannya Setya dengan langkah tergesa, tanpa mengucapkan sepatah kata. Setya ternganga. Usahanya tak diberi harga. Padahal ia telah mengorbankan seluruh waktunya untuk ini semua.
Sungguh apabila Setya tiba-tiba membenci Anggia, seharusnya itu menjadi hal yang wajar dan biasa. Manusia mana yang tetap bertahan jika cintanya terus diinjak-injak setiap saat? Meski sering meminta maaf, Anggia tetap melakukan kesalahan. Ia telah melecehkan perjuangan Setya. Bertahun-tahun lamanya memperjuangkan cinta, Setya tak jua mendapatkan perhatian Anggia. Apalagi yang kurang dari seorang Setya sehingga Anggia begitu amat membencinya? O, tunggu. Anggia tidak membenci Setya. Ia hanya tidak menyukai cara Setya mencintainya. Mungkin begitulah isi hatinya. Tak ada yang tahu, tak seorang pun tahu isi hati Anggia.
Bukan Anggia tak percaya pada Setya. Anggia tahu Setya pintar dan bertanggung jawab. Ia juga tahu betapa Setya amat menginginkannya sebagai isteri yang baik dan penurut, bekal nanti ke syurga. Dengan pengetahuan agama yang luar biasa, Setya mampu membuat Anggia terkesima. Namun, o betapa kasarnya perilaku Anggia. Ia pantas disebut bukan manusia jika masih menyakiti Setya. Menyerahkah Setya dengan semua hal yang dihadapinya? Sementara Anggia terus memanahnya dengan segenap luka.
Setya kembali menemui Anggia di kantornya, kali ini dengan setangkai bunga mawar merah, Anggia dibuat terkesima olehnya. Anggia terlihat begitu bahagia. Tetapi, detik berikutnya, Anggia berlalu dan membiarkan Setya tetap terpaku dengan setangkai mawar merah di tangannya. Harum bunga mawar yang merekah, sungguh tak sama dengan suasana hati Setya. Ia remuk. Tetapi Setya tetaplah Setya, ia masih bisa tersenyum di tengah duka. Dan Anggia, dengan berlinang air mata, perlahan masuk ke dalam kantornya. Seharian itu Anggia merasa benar-benar hampa. Sekali lagi ia menggores luka di hati Setya. Sekali lagi ia menelan perasaannya.
“Berhentilah mengejar-ngejar wanita itu. Banyak wanita cantik di luar sana yang bisa kaupilih untuk dijadikan isteri. Kenapa harus dia?” Seorang rekan kerja Anggia berusaha menasehati Setya.
“Apa kamu tidak pernah merasakan jatuh cinta?” Setya bertanya dengan nada tinggi. Ia merasa terhina.
“Pernah. Tapi tak pernah sampai gila sepertimu.” Rekan kerja Anggia menggelengkan kepalanya dan membalikkan badan, meninggalkan Setya sendirian di depan pintu masuk kantornya.
Setya diam lama sekali. Sebenarnya ia memikirkan nasehat rekan kerja Anggia. Tetapi Setya seperti dibius pesona Anggia. Ia tetap tak bisa mundur, meski luka menghantamnya berkali-kali. Setya tetap terdiam di tempat semula, ia tak juga pergi sampai seseorang menyentuh bahunya.
“Sudah jam dua belas malam, Mas. Kantor sudah tutup dan Anggia sudah pulang sedari tadi. Mas mau menginap di sini?”
Setya ternganga. Sungguh ia tak bisa menerka apa yang membuatnya seperti orang gila, mengemis cinta Anggia sampai sedemikian parahnya.
Di rumahnya, Anggia bercerita apada ibunya perihal Setya. Ibunya tersenyum dan memberikan solusi. Bahwa ia harus segera bicara pada Setya. Sebab tak ada waktu untuk menimbang-nimbang lagi. Usia Anggia mulai memasuki seperempat abad, sudah sangat pantas untuk menikah dengan Setya. Apalagi Setya memang sudah mapan sehingga Anggia tak perlu lagi berpikir tentang kondisi finansial untuk berumah tangga. Anggia masuk ke dalam kamar untuk berpikir lebih keras dari biasanya. Betapa Anggia ingin memutuskan suatu perkara tanpa tergesa. Bertahun lamanya ia menimbang-nimbang, saat ini ia harus mengambil tindakan. 
***
“Apa kabarmu, Setya?” Anggia tersenyum manis dengan meja di depannya, memisahkan dirinya dengan Setya.
“Kabar baik, Anggia.” Setya menjabat tangan Anggia dengan berbunga-bunga.
Sore itu mereka berdua terlibat dalam sebuah pertemuan yang tak pernah terpikirkan Setya bahkan Anggia pun tak pernah menyangka akan terjadi pertemuan berharga. Awalnya, basa-basi cukup lama dan pembahasan tentang kehidupan, layaknya sepasang teman yang baru bertemu setelah dipisahkan selama bertahun-tahun. Jam berikutnya, perbincangan itu menjorok ke dalam hal yang lebih sensitif. Tentang cinta milik Setya dan penolakan Anggia. Bagi Anggia, inilah saat yang sempurna untuk menuntaskan segala pelik dalam dadanya. Hatinya getir menyaksikan pertahanan yang masih dibangun Setya.
“Kau mau menerimaku?” Setya menatap wajah Anggia sepenuh hatinya.
Anggia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kenapa tidak?” Setya memutar-mutar cangkir kopinya.
“Saya belum siap, Setya.” Dengan tertunduk, Anggia gemetaran menjawab pertanyaan Setya.
“Usiamu sudah matang, saya sendiri sudah cukup mapan. Mau mempertimbangkan apa lagi?” Setya memandangi wajah Anggia dengan penuh keheranan. Ia tak bisa menebak apa yang ada di pikiran wanita di depannya.
“Perasaan saya, Setya.” Anggia semakin tertunduk. Ia takut Setya akan marah lantas kecewa.
“Ada apa dengan perasaan kamu? Bukankah kamu merasa nyaman dekat dengan saya?” Setya menopang dagunya, seolah menopang beban berat dalam otaknya.
“Iya. Tapi hati saya menolak kamu.” Anggia semakin ragu dibuatnya.
“Bagaimana bisa?” Setya berusaha mengontrol dirinya.
“Entahlah. Saya tak bisa menemukan jawabannya.” Anggia membuang wajahnya ke bawah.
Setya melihatnya dengan jantung yang berdegup kencang. Ia terbiasa menerima penolakan-penolakan tetapi tidak dengan Anggia. Ia sangat menginginkan wanita di hadapannya.
“Yasudah, pikirkan lagi. Saya akan datang lagi. Kalau perlu langsung mengobrol dengan ibumu.” Akhirnya Setya bangkit dari kursi dan memutuskan untuk mengantar Anggia pulang.
“Tidak. Kamu tidak akan pernah bisa memiliki saya, Setya.” Anggia pergi meninggalkan Setya dengan luka dalam hati yang masih menganga.
***
Hujan turun deras sekali. Anggia terdiam di rumahnya. Ia tak bisa kemana-mana. Begitu juga dengan Setya. Masing-masing dari mereka terhanyut dalam perasaan yang saling menerka. Matahari tenggelam, suara jangkrik bersahutan. Setya dan Anggia masih memikirkan pembicaraan tadi sore. Anggia berharap dalam hatinya, kehidupannya akan lebih bermakna tanpa Setya. Apabila ada hal yang lebih indah selain cinta maka tunjukkanlah pada Setya. Ia lelaki tak bersalah. Cinta membuatnya kehilangan segalanya. 
O, apakah benar manusia tak bisa menentukan jodohnya? Setya masih sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan cinta Anggia seutuhnya. Anggia berbisik lirih pada boneka kura-kuranya. Matanya berkaca-kaca.
“Sungguh saya amat mencintai Setya. Tapi, ia tak mungkin menerima semuanya. Ia tak mungkin bisa menerima bahwa dahulu saya adalah seorang pria.”
*Mahasiswi Aqidah Filsafat Islam, FU, UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Pesan Persatuan Lewat Pementasan
Next post Monopoli Kekuasaan dan Plagiarisme UNJ