Microsoft menggumumkan laporan Digital Civility Index (DCI) 2020 yang mengukur tingkat kesopanan netizen dunia. Dikutip dari news.mircosoft.com, nilai DCI tertinggi yaitu negara Singapura dan Taiwan yang menduduki posisi lima besar dunia untuk wilayah Asia Pasifik, masing-masing menduduki posisi keempat dan kelima.
Berdasarkan data DCI, Indonesia menduduki posisi lebih rendah berada ke 29 dari 32 negara di Asia Tenggara. Survei yang dilakukan setiap tahunnya dan memasuki tahun kelima ini mengambil sekitar 16.000 responden terdiri orang dewasa dan anak-anak yang diambil dari 29 wilayah. Survei ini diselesaikan selama bulan April hingga Mei 2020.
Skor DCI Indonesia menunjukan tingkat resiko penyebaran hoax dan penipuan 3%, ujaran kebencian 4% dan diskriminasi 5%. Angka penurunan tingkat kesopanan tidak terjadi pada anak remaja, namun banyak didorong oleh orang dewasa dengan skor 16 poin.
Menanggapi hal itu, Dosen Psikologi Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gazi Saloom berasusmsi pilihan metodologi dalam melakukan survei sangat penting dan dapat mempengaruhi dengan hasil data nantinya. Menurutnya, laporan DCI tersebut sangat perlu analisis data lebih jauh. “Saya belum mengetahui gambaran metodologi survei ini, yang menjadi pertanyaannya mengapa bisa terjadi demikian, ” ucap Gazi, Selasa (9/3).
Gazi menambahkan bahwa kemungkinan terdapat tiga faktor terkait hal tersebut. Pertama, faktor kebutuhan akan kepastian. Banyaknya keambiguan dan informasi yang tidak pasti, membuat masyarakat harus mencari informasi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Gazi melanjutkan adanya faktor tekanan ekonomi. Tidak bisa dipungkiri, masa pademi Covid-19 menyebabkan tingkat pengangguran di Indonesia meningkat. Pemasukan mengalami penurunan sedangkan kebutuhan ekonomi yang meningkat harus tetap terpenuhi. Hal ini pun dapat mempengaruhi dinamika psikologi seseorang.
Terakhir Gazi menyebutkan adanya faktor rasa frustrasi. Rasa frustrasi dan kejenuhan masyarakat yang dialami selama masa pademi mendorong orang-orang meluapkan emosional mereka di media sosial. Hal tersebut kemungkinan bisa menjadi penyebab ujaran kebencian itu muncul. “Apa yang mereka alami terutama secara eksternal mereka melampiaskan di media sosial, seperti cacian, ujaran kebencian dan lainnya,” jelasnya.
Salah satu mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Rai yang menyetujui hal tersebut. Rai menilai masyarakat Indonesia belum bisa menjaga nilai sopan dan santun sepenuhnya. Rai yang termasuk aktif dalam bermedia sosial, mengaku sering menemukan ujaran-ujaran yang tidak pantas di media sosial seperti di Instagram dan Tik Tok .”Saya banyak nemuin di Instagram atau gak di Tik Tok, kebanyakan mereka comment pake kata-kata yang gak pantes,” tutur Rai, Senin (15/3).
Senada dengan Rai, mahasiswi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Della juga menyetujui hal tersebut. Della beranggapan hal itu terjadi karena adanya rasa jenuh yang sedang dialami, di media sosial orang-orang dapat berkomentar tanpa diketahui identitas aslinya. “Banyak akun palsu dan mereka bisa berkomentar seenaknya tanpa pikir panjang karena tidak menggunakan identitas asli, lepas dari tanggung jawab.” tutur Della, Senin (15/3).
Sementara itu, Fadia mahasiswi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta mengatakan pernah mengalami perilaku agresif di media sosial. Ia mengaku pernah mendapatkan komentar negatif mengenai fisiknya. ”Aku akui penampilanku aneh waktu itu. Setelah itu langsung sadar dan rubah penampilan, sekarang gak di hina-hina lagi deh” ujarnya, Minggu (7/3)
Gazi menegaskan, sangat perlu kesadaran individu dalam bersosial media yang baik dan bijak. Pentingnya menjaga nilai sopan dan santun agar negara Indonesia tetap dipandang sebagai bangsa yang ramah. “Hal ini bisa berdampak di berbagai sisi, seperti phobia terhadap media sosial dan mengubah perspektif warga negara asing terhadap negara Indonesia,” jelasnya.
Didya Nur Salamah
Average Rating