RUU KKR di Ambang Ilusi

RUU KKR di Ambang Ilusi

Read Time:3 Minute, 33 Second

RUU KKR di Ambang Ilusi

Isu tentang rancangan Peraturan Presiden (Perpres), ihwal Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP PPHB), mencuat di khalayak sekitar. Diketahui, rancangan tersebut  tidak dapat diakses oleh publik. Hal itupun sempat menjadi sorotan Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK).

Namun di tengah naik daunnya isu tersebut, ada satu hal yang terlupakan, yakni Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU tersebut, sempat menjadi buah bibir masyarakat pada 2019 silam. Dua tahun berselang, RUU itu, kini tak tercium lagi keberadaannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Institut berhasil mewawancarai Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2020-2022, Ahmad Taufan Damanik pada Rabu lalu (21/4), dengan topik senyapnya RUU KKR. Kepada Reporter Syifa Nur Layla, Taufan memberikan penjelasan dari mulai angan-angan KKR, solusi selain RUU KKR, hingga kritik dan saran kepada pemerintah soal penyelesaian pelanggaran HAM.

Apa itu KKR?

Mengacu Pengaturan Undang-undang 27/2004, KKR adalah lembaga ekstra yudisial yang berwenang untuk mengungkapkan kebenaran, penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM masa lalu. Serta menyelenggarakan rekonsiliasi  perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa, sesuai ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

UU KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam, lantaran gagal dalam uji materi soal amnesti pelaku pelanggaran HAM. Pada 2019 lalu, RUU KKR kembali berdengung dengan fokus pemulihan korban HAM. Mengapa hanya korban, bukan menyingkap pelaku?

Spirit dari KKR adalah pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi nasional, guna menjaga persatuan dan kesatuan.  Dari Skema yang ada, terdapat benturan kepentingan perihal pengungkapan kebenaran. Sebab, berhadapan dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Alhasil, untuk menghindari benturan itu, korban menjadi yang terdepan.

Bagaimana Idealnya RUU KKR itu?

Undang-undang sebagai wadahnya, sarat masalah. Proses pembentukannya, membuka intervensi politik terhadap pengungkapan kebenaran. Maka, berkembanglah wacana mengemasnya ke dalam Perpres.

Idealnya Komisi Kebenaran, tanpa rekonsiliasi. Penggunaan rekonsiliasi setelah adanya pengungkapan kebenaran,  terkesan memaksa. Padahal, rekonsiliasi adalah konsesi nasional. Ada atau tidaknya rekonsiliasi, itu keputusan presiden setelah menerima laporan dari Komisi Kebenaran. Guna menguatkan dan mendukung pengungkapan kebenaran, diperlukan pengakuan dari pemerintah, terkait adanya pelanggaran HAM berat.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menuding, jika rencana pembentukan UKP PPHB yang diusungkan pemerintahan Jokowi, akan mengesampingkan pengesahan RUU KKR. Tanggapan anda?

Belajar dari periode pertama Jokowi, terdapat miskonsepsi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Sehingga mengaburkan proses yang berjalan, merusak pencarian keadilan, pengungkapan kebenaran dan pemulihan terhadap korban. Jika tidak ada persiapan yang berbeda, maka miskonsepsi tersebut bisa menjadi kenyataan. Untuk itu, pemerintah harus memahami konsep penyelesaian dan proses yang berlangsung.

Draf Perpres Komisi Kebenaran yang diusulkan belakangan ini, sebenarnya sudah tepat untuk menjawab kondisi yang ada. Namun perlu dilihat, sejauh mana UKP PPHB memahami konteks penyelesaian pelanggaran HAM berat. Jika terkait hak korban (psikososial dan medis), kami dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sudah menyiapkan skema.

RUU KKR ini sudah masuk daftar prolegnas 2020. Hingga kini, belum disahkan bahkan tidak tercium lagi. Mengapa demikian? Dan bagaimana keadaan RUU KKR sekarang?

Dikarenakan pemerintah tidak memiliki gagasan, dalam mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Kami telah mengikuti perkembangan Perpres Komisi Kebenaran. Namun terkait RUU KKR, kami tidak mendengar sama sekali adanya pembaruan dari putusan MK.

Penyelesaian pelanggaran HAM secara yudisial dilakukan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Sedangkan secara non-yudisial dilakukan oleh pemerintah. Mengapa hal itu harus terpisah? Dan bagaimana penyelesaian yang tepat?

Dalam konteks pelanggaran HAM  berat, negara harus turun tangan, mampu dan mau untuk menyelesaikannya. Minimal, melakukan penuntutan. Jika memahami hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, maka tidak ada dikotomi, antara yudisial dan non-yudisial. Kami menganggap, non-yudisial sebagai komplementer terhadap proses di pengadilan HAM, maupun sebaliknya. Persoalan gap dalam hukum acara, memang menjadi perkara lama yang belum terselesaikan.

Tidak ada istilah mekanisme yang tepat. Lantaran, regime demand dengan public’s demand saling tolak tarik. Melihat dari databasekeadilan transisi dan tren, tidak ada mekanisme tunggal yang efektif. Tren menunjukan, kombinasi antara dua atau lebih mekanisme berpengaruh pada kualitas demokrasi dan HAM. Sehingga perlu adanya skema komplementer, antara Komisi Kebenaran dengan Pengadilan HAM.

Adakah solusi lainnya?

Komisi Kebenaran, saya rasa, dapat melengkapi stagnasi dalam proses pengadilan. Dalam skema keadilan transisi, terdapat jaminan ketidakberulangan yang berkaitan dengan reformasi kelembagaan.  Hal tersebut mencakup perubahan terhadap peraturan (hukum acara dan kewenangan lembaga), perubahan budaya institusi dan memutus rantai impunitas.

Syifa Nur Layla

 

 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Mahasiswa Gelar Aksi Peringati Hari Bumi Previous post Mahasiswa Gelar Aksi Peringati Hari Bumi
Membuka Kartu Koruptor Next post Membuka Kartu Koruptor