Polemik Gelar Doktor Honoris Causa

Polemik Gelar Doktor Honoris Causa

Read Time:3 Minute, 32 Second

Oleh Shaumi Diah Chairani*

Dilansir dari kumparan.com, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri membanggakan dirinya lantaran memiliki sembilan gelar doktor honoris causa. Hal ini disampaikannya dalam acara Seminar Nasional Pancasila yang digelar di Hotel Tribrata, Jakarta, Kamis (16/2). Megawati menyatakan bahwa satu gelar honoris causa lagi hendak diberikan kepadanya, sehingga genap sepuluh gelar kehormatan akan segera dimilikinya.

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti) No. 56 tahun 2016 mengatur tentang gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa. Doktor honoris causa—selanjutnya disingkat HC—adalah gelar yang diberikan perguruan tinggi kepada orang yang memiliki jasa luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau dalam bidang kemanusiaan. Mudahnya, gelar doktor honoris causa bisa didapatkan seseorang atas jasanya, tanpa perlu menempuh pendidikan doktor terlebih dahulu.

Gelar HC dapat diberikan secara lintas negara, artinya calon penerima gelar dan perguruan tinggi pemberi gelar tidak harus berasal dari negara yang sama. Syaratnya, calon penerima WNA dianggap memberikan sumbangsih yang besar, baik untuk perguruan tinggi maupun untuk Indonesia secara umum. Tak sembarang perguruan tinggi boleh memberikan gelar HC pada seseorang. Perguruan tinggi yang diperbolehkan memberi gelar HC hanyalah penyelenggara program doktor/strata tiga (S3) terkait dengan jasa atau karya calon penerima. Sedangkan, untuk tata cara dan syarat pemberian gelar dikembalikan pada perguruan tinggi masing-masing.

Pemberian gelar HC kerap menjadi perdebatan sebab tidak semua perguruan tinggi memublikasikan aturan pemberian gelar kehormatan untuk diakses sivitas akademika. Padahal keberadaan aturan tersebut penting untuk mengetahui  tata cara pemberian gelar serta kriteria penerima gelar kehormatan di masing-masing perguruan tinggi. Aturan baku yang tidak dipublikasikan berakibat pada munculnya spekulasi bahwa terdapat transaksi tertentu antara pihak kampus dengan calon doktor kehormatan.

Melansir dari tempo.co, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) hendak memberi gelar HC kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir pada 2021 silam. Namun rencana tersebut mendapat penolakan dari Aliansi Dosen UNJ lantaran melanggar pedoman penganugerahan gelar kehormatan UNJ. Pedoman tersebut mengatakan bahwa gelar kehormatan tidak diberikan pada seseorang yang sedang menjabat dalam pemerintah. Alih-alih menaati aturannya sendiri, Senat UNJ justru hendak mengeluarkan peraturan baru agar pemberian gelar dapat terealisasi. Namun sejak 2021 hingga kini, pihak UNJ belum merilis info terbaru mengenai hal ini.

Meninjau pemberian gelar HC di Indonesia, berbagai universitas sering memberikan gelar kehormatan ini kepada para politisi. Padahal bukan hanya politisi yang patut diapresiasi atas jasanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kemanusiaan. Kalangan lain, misalnya ahli dalam bidang tertentu atau ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan juga patut diberikan gelar HC sebagai bentuk apresiasi. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah pemberian gelar HC pada politisi turut didasari karena popularitasnya?

Mengutip dari detik.com, Rabu (10/8/2022) Universitas Hasanuddin (Unhas) menganugerahkan gelar HC bidang Sains kepada Bruce Michael Alberts, ahli biokimia asal Amerika. Ia dianggap memberi kontribusi besar pada Indonesia lantaran mendirikan Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI). Selain itu, Bruce juga merupakan penggerak forum ilmiah tahunan “Indonesian-American KAVLI Frontiers of Sciences Symposium (KFoSS)” bagi ilmuwan muda. Pemberian gelar HC kepada Bruce dianggap layak karena kontribusi nyata yang ia berikan, bukan semata karena popularitasnya saja. 

Ujang Komarudin, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) menilai bahwa pemberian gelar HC untuk politikus atau pejabat publik patut dipertanyakan. Pasalnya hal itu dapat dimanfaatkan sebagai ajang pencitraan bagi para politisi menjelang pemilu. Menurutnya, motif politik dalam pemberian gelar HC pada seseorang bisa menyakiti para akademisi yang telah bersusah-payah mendapatkan gelar doktor. Dilansir dari tirto.com.

Menurut penulis, kriteria calon penerima gelar HC yang tercantum pada Permenristekdikti No. 65 tahun 2016 pasal 2 masih sangat luas. Hanya tertulis bahwa orang yang memiliki jasa dalam tiga bidang tersebut layak diberikan gelar, kurang spesifik seperti apa jasa yang dimaksud. Padahal ini merupakan gelar kehormatan yang tidak boleh diberikan secara main-main. Perlu ada pendalaman kriteria penerima gelar HC agar publik, khususnya sivitas akademika tidak lagi berpikir tentang adanya transaksi politik di dalamnya. 

Perguruan tinggi yang hendak memberikan gelar HC perlu merilis aturan baku mengenai hal ini. Persyaratan bagi calon penerima juga harus diperketat serta dipertimbangkan secara matang. Pernyataan kelayakan dari para promotor—pihak yang mendukung—penting untuk dipublikasikan agar masyarakat yakin bahwa perguruan tinggi mengambil keputusan yang tepat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka keputusan pemberian gelar HC akan terus dipertanyakan.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Zoonosis Bukti Nyata dari Krisis Iklim Previous post Zoonosis Bukti Nyata dari Krisis Iklim
Peristiwa Talangsari Tanpa Kepastian Hukum Next post Peristiwa Talangsari Tanpa Kepastian Hukum