
Warga Menteng Pulo II, Jakarta Selatan, menolak penggusuran oleh Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota tanpa adanya solusi relokasi. Penggusuran mengancam warga yang menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.
Warga Menteng Pulo II, Jakarta Selatan, bersatu menolak rencana penggusuran oleh Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Selatan bersama Kepala Satuan Pelaksanaan Tempat Pemakaman Umum (TPU) Zona 9. Melalui konferensi pers yang digelar oleh Gerakan Warga Kober Menteng Pulo II (GWKOMEN II) pada Sabtu, (19/4), warga setempat menyatakan penolakannya karena merugikan dan mengancam kehidupan mereka.
Ketua Paguyuban GWKOMEN II, Ronal Paty menjelaskan, kronologi pengiriman surat peringatan pertama diterima warga pada 11 April 2025, surat tersebut tertanggal 8 April 2025. Beberapa hari setelahnya, pada 16 April 2025, surat peringatan kedua diterima warga. Dalam surat peringatan tersebut berisi perintah pengosongan lahan. Jika tidak, pihak Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota dan Kepala Satuan Pelaksanaan TPU Zona 9 akan melakukan penertiban paksa. Ronal menolak tegas penggusuran dan meminta pemerintah untuk memberikan solusi yang adil serta menghormati hak-hak dasar warga.
“Kami, atas nama warga yang terhimpun dalam bagian Gerakan Warga Kober Menteng Pulo II, menolak keras upaya penggusuran secara paksa pada 22 April 2025. Sebagai masyarakat di negara kesatuan Republik Indonesia, kami memiliki hak untuk mempertahankan dan memperjuangkan tempat ini,” tegas Ronal saat konferensi pers berlangsung, Sabtu (19/4).
Kepada Institut, Ronal berpendapat bahwa penggusuran dilakukan dengan dalih untuk memperluas lahan pemakaman Menteng Pulo II. Namun, ia menilai ada kepentingan ekonomi yang menjadi latar belakang penggusuran tanah ini. “Satu gubuk ini bisa jadi tiga makam, di mata mereka ini adalah lahan, dan itu mengenai, mohon maaf ya, itu mengenai nominal sih,” ucap Ronal.
Menurut Onah (42), salah satu warga terdampak, pemberian surat peringatan pertama berlangsung pada pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB. Petugas dari Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota, Kepala TPU, serta dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) datang berkelompok dan mengumpulkan warga di lokasi. Setiap rumah menerima satu surat edaran yang memerintahkan pengosongan lahan paling lambat pada 22 April 2025. Onah menyebut bahwa dalam proses tersebut tidak ada ruang dialog maupun penjelasan mengenai solusi relokasi.
“Petugas pada datang, ada rombongan kasih surat, ini dalam 3 hari harus sudah kosong ya. Pokoknya tanggal 22, nanti ibu harus sudah keluar dari sini ya. Kalau nggak mau kosong, dibongkar paksa,” ujar Onah, Sabtu (19/4).
Ida (39) merasa khawatir terhadap rencana penggusuran lahan tersebut. Sebab, penggusuran itu tidak hanya mengancam hilangnya tempat tinggal tetapi juga kehilangan sumber mata pencaharian mereka. “Pencaharian ibu, bapak semua sehari-harinya di kuburan, Neng. Bersih-bersih kuburan, ngerawat kuburan,” ujar Ida, Sabtu (19/4).
Selain itu, warga mencemaskan keberlangsungan pendidikan anak-anak. Yani (54) khawatir, relokasi akan menyulitkan akses ke sekolah karena jarak dan biaya yang tidak terjangkau. “Anak sekolah, usahanya juga susah, Kak. Kalau di sini kita nyapu (membersihkan makam) dapat buat beli beras, buat jajan anak. Kalau pindah di tempat lain belum tentu kayak gini,” ungkap Yani, Sabtu (19/4).
Yani mengaku, ia dan warga sekitar kebingungan ke mana harus pergi jika penggusuran benar-benar dilakukan. Yani merasa tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk relokasi atau bahkan sekadar berdialog terkait tempat tinggal alternatif. “Padahal kita enggak ada tempat lain. Tapi mau ke mana lagi? enggak punya. Punya buat makan doang. Sedangkan di Jakarta kan kontrakan di atas sejuta,” tutur Yani.
Kata Ronal, pemerintah belum melakukan mediasi atau dialog dengan warga Menteng Pulo II. Ronal juga menyebut bahwa hanya petugas TPU dan aparat yang datang, bukan dari pemerintah provinsi atau dinas yang lebih tinggi. “Enggak, sampai sekarang ini tidak ada mediasi. Solusi aja enggak ada,” ucap Ronal.
Reporter: RAF
Editor: Rizka Id’ha Nuraini