Genosida di Negara Rwanda

Read Time:2 Minute, 12 Second
Judul       : Left To Tell, Mengampuni yang Tak Terampuni
Penulis `     : Immaculee Ilibagiza dan Steve Erwin
Penerjemah: Heru Susanto dan Joko Susilo
Penerbit      : PT. Elex Media Komputindo
ISBN         : 978-979-27-2998-6 

“Ayo kita kejar mereka ke hutan-hutan, danau-danau, dan bukit-bukit. Ayo, kita cari mereka di gereja-gereja, kita hapus mereka dari muka bumi ini!” (hal 100). Begitulah salah seorang suku Hutu berteriak memprovokasi yang lain, agar tak memberi sedikit pun tempat bagi suku Tutsi untuk hidup di tanah Rwanda.

Ada tiga suku di negara Rwanda, Afrika. Hutu sebagai suku mayoritas, Tutsi suku minoritas, dan Twa sebagai suku yang terkecil, mereka biasa menetap di hutan. Suku Hutu dan Tutsi sejak lama berselisih. Tahun 1994 akhirnya perselisahan berubah menjadi pemusnahan etnis bagi suku Tutsi.

Suasana semakin tak terkendali ketika pemimpin tertinggi negeri itu wafat. Presiden Habyarimana yang telah bejanji akan membawa Rwanda damai, terbunuh di dalam pesawat yang ditumpanginya. Sedangkan negara-negara lain tak ada yang memberikan bantuan, bahkan Amerika Serikat tidak mengakui adanya pemusnahan etnis di negara Rwanda.

Selama 100 hari negara Rwanda berdarah. Negara yang indah ini berubah menjadi kuburan massal. Seluruh penjuru kota nampak mengerikan.

 “Ada begitu banyak dan mereka ditumpuk begitu tinggi, tadinya kami pikir kami sedang melewati tumpukan pakaian-pakaian bekas dan sampah. Tetapi ketika mendekat… kalian bisa mendengar lalat yang berterbangan suaranya seperti deru mesin mobil. Dan ada ratusan anjing-anjing yang menyantap jasad, dan memperebutkan potongan-potongan tubuh manusia. Sungguh mengerikan. Seluruh negeri berbau busuk,”(hal 143)

Dalam pemusnahan massal itu, Immaculee Ilibagiza salah satu gadis Tutsi berhasil selamat setelah bersembunyi selama tiga bulan di dalam kamar mandi milik pendeta Murinzi, seorang Hutu Moderat. Dalam kamar mandi yang sempit dan pengap itu, Immaculee harus berjejal-jejal bersama tujuh perempuan yang turut bersembunyi.

Immaculee terus memantau perkembangan pembantaian yang terjadi di luar lewat suara radio dalam kamar pendeta Murinzi yang sengaja diputar secara keras oleh pendeta. Ia juga mengetahui dari pendeta bahwa seluruh keluarganya telah tewas.

Bagaimana Immaculee melangsungkan hidupnya setelah berakhirnya pemusnahan etnis tersebut? Dalam buku Left To Tell, Immacule berbagi kisahnya. Bagaimana perjuangannya selama pembantaian itu ditulis dengan detail dalam buku ini.

Kisah nyata yang sangat menyentuh ini begitu inspiratif. Dalam buku ini Immaculee ingin mengatakan bahwa Tuhan selalu memberikan bantuan terhadap hambanya, dengan cara-cara yang terkadang tidak disangka. Novel yang diterjemahkan Heru Susanto dan Joko Susilo ini akan membawa pembacanya terhanyut dalam kisah yang diceritakan di dalam novel ini.

Immaculee yang dibantu Steve Erwin dalam menggarap novel setebal 277 halaman ini, berharap kisah hidupnya dapat menjadi pelajaran bagi orang lain, karena menurutnya hidup manusia saling berkaitan. (Karlia Zainul)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
100 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Eli: Aku Berjalan Karena Iman
Next post Jika Dunia Tanpa Hak Cipta