Beda Presiden, Beda Intrik, Beda Komunikasi

Read Time:6 Minute, 21 Second

Judul: Dari Soekarno sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa

Penulis: Prof. Dr. Tjipta  Lesmana

Tahun  terbit: 2009

Penerbit: Gramedia  Pustaka  Utama

ISBN: 978-979-22-4095-5

Tebal: 426  halaman

Harga: Rp 64.000,00

         

Presiden  memang  terikat  dengan  hukum   dan  bertanggung  jawab  terhadap  kesejahteraan  rakyat  Indonesia. Namun, dalam  praksisnya, presiden  pun  memiliki  perbedaan  pemahaman  dan  penyikapan  terhadap  realitas  kehidupan  bangsa  dan  negara. Hal  yang  mendasari  perbedaan  tersebut  adalah  tingkat  intelektualitas, emosionalitas, dan  spiritualitas.

Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus  Dur, Megawati, dan  SBY  berkolerasi  positif  dengan  perbedaan  pola  interaksi  sosial  mereka. Perbedaan  interaksi  sosial  ini  berkaitan  erat  dengan  pola  komunikasi  politik  yang  menghasilkan  intrik, lobi  politik, hingga  menyikapi  kritik  dengan  sikap  berbeda. Dengan  begitu, dampak  yang  diberikan  publk  pada  mereka  pun  berbeda  juga. 

Buku  ini  tersaji  dalam  enam  bab. Bab  pertama  menceritakan  tentang  sosok  presiden  pertama  Indonesia, Soekarno. Ia  tampak  sebagai  sosok  yang  berilmu  dalam, berpiawai  menganalisis  situasi  politik, dan  tegas  dalam  menghadapi  rakyat.

Namun, Soekarno  juga  tak  ubahnya  seperti  manusia  biasa  yang  memiliki  kesalahan. Dalam  kemarahannya, ia  sering  menghardik  sasaran  dengan  suara  keras, menantang, memperingatkan, dan  mengancam (hlm 5). Selain  menghardik  sasaran, Soekarno  juga  menyalurkan  ketegasannya  dengan  cara  menggebrak  meja. Cara  tersebut  merupakan  bentuk  komunikasi  nonverbal  yang  menjadi  ciri  khas  Soekarno.

Pada  bab  kedua, penulis  memaparkan  cara  berkomunikasi  Soeharto. Soeharto  lebih  banyak  mendengar  dan  mesam-mesem. Dalam  berkata-kata, Soeharto  sering  menggunakan  bahasa  yang  impression  management  atau  penuh  dengan  teka-teki, multi  tafsir, namun  sangat  santun. Dalam  kondisi  marah  pun, ia  tetap  menggunakan  bahasa  penuh  teka-teki  itu  juga.

Semisal, ketika  ada  menteri  yang  membacakan  laporan  di  ruang  kerja, presiden  mempersilakan  meminum  minuman  yang  tersedia. Menteri  pun  merasa  bingung  karena  tidak  ada  minuman  yang  tersaji  untuknya. Padahal, makna  dari  ucapan  tersebut  adalah  memerintah  menteri  untuk  segera  pamit.

Berbeda  dengan  presiden  Habibie  jika  sedang  marah. Walau  otaknya  sangat  cerdas, Habibie  tetap  memiliki  kekurangan  dalam  berkomunikasi, yakni   berkomunikasi  sambil  menunjukkan  sifat  tempramentalnya. Ia  sering  memelototkan  mata  kepada  yang  dimarahi, raut  muka  merah, dan  suara  keras. Anehnya, tidak  ada  satupun  menteri  yang  takut  kepadanya (hlm 159).

Lain  halnya  dengan  presiden  Gus  Dur. Pria  bernama  lengkap  Abdurrahman  Wahid  itu  bersifat  humoris. Ia  memiliki  ciri  khas  yang  tidak  dimiliki  presiden  lain.Tiap  sidang  kabinet  yang  berlangsung  sejak  pukul  10.00  WIB, Gus  Dur  melakukan  ritual  tidur. Ketika  mendapat  konfirmasi  dari  orang-orang  yang  merasa  dirugikan, Gus  Dur  hanya  menjawab, “Oh  begitu  ya? Ya  sudah, nggak  usah  dipikirkan!” (hlm 199). Dapat  disimpulkan, Gus  Dur  memiliki  sifat  low  context  dalam  berkomunikasi.

Bab  berikutnya  membahas  tentang  komunikasi  yang  digunakan  oleh  Megawati. Setiap  marah, Megawati  suka  menghardik  korbannya. Misalkan, ketika  Megawati  menghadiri  acara  dengan  sejumlah  kerabatnya  di  Singapura. Saat  itu, salah  satu  politikus  Indonesia, Roy  Janis  dihardik  habis-habisan  di  depan  umum  akibat  kedatangannya  yang  tidak  diundang (hlm 283).

Bagi  penulis, Megawati  tidak  bisa  berkomunikasi  dengan  efektif. Ia  cenderung  diam  dan  hanya  menebar  senyum. Selama  berpidato, ia    membaca  kata  per  kata  secara  kaku, seolah  takut  sekali  pandangannya  lepas  dari  teks  pidato  di  depannya (hlm 247). Nada  suaranya  pun  datar  dan  tidak  bersifat  persuasif. Dalam  menghadapi  kritik, ia  sering  tak  tahan. Ia  alergi  kritik (hlm 265).

Sementara  itu, SBY  bertindak  sebaliknya. SBY  sering  balas  mengkritik  pihak  yang  berani  mengkritiknya, termasuk  mengkritik  kebijakan  pemerintah. Namun, SBY  tergolong  cukup  hati-hati  dalam  bertutur. Tiap  kata  yang  keluar  dari  bibirnya  selalu  diartikulasikan  secara  cermat.

Dalam  perspektif  komunikasi, bab  terakhir  ini  menyimpulkan  SBY  tergolong  dalam  komunikator  yang  bersifat  lower  high  context. SBY  gemar  melukiskan  suatu  masalah  dengan  beranalogi. Dengan  demikian, SBY  tidak  bisa  menyampaikan  pesan  komunikasinya  secara  langsung. Ia  membiarkan  publik  menebak  sendiri  apa  yang  terkandung  dalam  pesannya.

Buku  berjudul  Dari  Soekarno  Sampai  SBY  ini  disampaikan  dengan  gaya  bahasa  yang  lugas  dan  tajam. Penulisan  buku  ini  tidak  hanya  berlandaskan  kajian  pustaka  dan  pengamatan  penulis, tetapi  juga  berdasarkan  wawancara  mendalam  dengan  lebih  dari  20  informan. Penulis  sekaligus  pakar  bidang  komunikasi  politik  ini  juga  mengungkap  sisi  lain  dari  berbagai  peristiwa  penting  di  Indonesia , seperti  pemberedelan  media  pasca  Malari  1974, tragedy  27  Juli  1996, dendam  Soeharto  pada  Habibie, upaya  mencopot  panglima  TNI, dan  masih  banyak  lagi.

Buku  setebal  426  halaman  ini  mengajarkan  banyak  hal. Selain  membahas  watak, karakteristik,  dan  kepemimpinan  presiden  dan  mantan  presiden  Indonesia, pembaca  juga  bisa  belajar  tentang  gaya  komunikasi  seperti  apa  yang  perlu  dikembangkan  oleh  pemimpin. Cara-cara  berkomunikasi  para  pemimpin  bisa  berdampak  pada  reaksi  publik. Publik  bisa  menyegani, bisa  juga  memaki. Publik  bisa  menghormati, bisa  pula  memusuhi. (Gita  Juniarti)

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Pemaparan Visi Misi Calon Dekan FIDIKOM
Next post Donor Darah sebagai Gaya Hidup