Judul: Dari Soekarno sampai SBY, Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa
Penulis: Prof. Dr. Tjipta Lesmana
Tahun terbit: 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-4095-5
Tebal: 426 halaman
Harga: Rp 64.000,00
Presiden memang terikat dengan hukum dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun, dalam praksisnya, presiden pun memiliki perbedaan pemahaman dan penyikapan terhadap realitas kehidupan bangsa dan negara. Hal yang mendasari perbedaan tersebut adalah tingkat intelektualitas, emosionalitas, dan spiritualitas.
Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY berkolerasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Perbedaan interaksi sosial ini berkaitan erat dengan pola komunikasi politik yang menghasilkan intrik, lobi politik, hingga menyikapi kritik dengan sikap berbeda. Dengan begitu, dampak yang diberikan publk pada mereka pun berbeda juga.
Buku ini tersaji dalam enam bab. Bab pertama menceritakan tentang sosok presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia tampak sebagai sosok yang berilmu dalam, berpiawai menganalisis situasi politik, dan tegas dalam menghadapi rakyat.
Namun, Soekarno juga tak ubahnya seperti manusia biasa yang memiliki kesalahan. Dalam kemarahannya, ia sering menghardik sasaran dengan suara keras, menantang, memperingatkan, dan mengancam (hlm 5). Selain menghardik sasaran, Soekarno juga menyalurkan ketegasannya dengan cara menggebrak meja. Cara tersebut merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang menjadi ciri khas Soekarno.
Pada bab kedua, penulis memaparkan cara berkomunikasi Soeharto. Soeharto lebih banyak mendengar dan mesam-mesem. Dalam berkata-kata, Soeharto sering menggunakan bahasa yang impression management atau penuh dengan teka-teki, multi tafsir, namun sangat santun. Dalam kondisi marah pun, ia tetap menggunakan bahasa penuh teka-teki itu juga.
Semisal, ketika ada menteri yang membacakan laporan di ruang kerja, presiden mempersilakan meminum minuman yang tersedia. Menteri pun merasa bingung karena tidak ada minuman yang tersaji untuknya. Padahal, makna dari ucapan tersebut adalah memerintah menteri untuk segera pamit.
Berbeda dengan presiden Habibie jika sedang marah. Walau otaknya sangat cerdas, Habibie tetap memiliki kekurangan dalam berkomunikasi, yakni berkomunikasi sambil menunjukkan sifat tempramentalnya. Ia sering memelototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka merah, dan suara keras. Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut kepadanya (hlm 159).
Lain halnya dengan presiden Gus Dur. Pria bernama lengkap Abdurrahman Wahid itu bersifat humoris. Ia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki presiden lain.Tiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika mendapat konfirmasi dari orang-orang yang merasa dirugikan, Gus Dur hanya menjawab, “Oh begitu ya? Ya sudah, nggak usah dipikirkan!” (hlm 199). Dapat disimpulkan, Gus Dur memiliki sifat low context dalam berkomunikasi.
Bab berikutnya membahas tentang komunikasi yang digunakan oleh Megawati. Setiap marah, Megawati suka menghardik korbannya. Misalkan, ketika Megawati menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di Singapura. Saat itu, salah satu politikus Indonesia, Roy Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya yang tidak diundang (hlm 283).
Bagi penulis, Megawati tidak bisa berkomunikasi dengan efektif. Ia cenderung diam dan hanya menebar senyum. Selama berpidato, ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm 247). Nada suaranya pun datar dan tidak bersifat persuasif. Dalam menghadapi kritik, ia sering tak tahan. Ia alergi kritik (hlm 265).
Sementara itu, SBY bertindak sebaliknya. SBY sering balas mengkritik pihak yang berani mengkritiknya, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah. Namun, SBY tergolong cukup hati-hati dalam bertutur. Tiap kata yang keluar dari bibirnya selalu diartikulasikan secara cermat.
Dalam perspektif komunikasi, bab terakhir ini menyimpulkan SBY tergolong dalam komunikator yang bersifat lower high context. SBY gemar melukiskan suatu masalah dengan beranalogi. Dengan demikian, SBY tidak bisa menyampaikan pesan komunikasinya secara langsung. Ia membiarkan publik menebak sendiri apa yang terkandung dalam pesannya.
Buku berjudul Dari Soekarno Sampai SBY ini disampaikan dengan gaya bahasa yang lugas dan tajam. Penulisan buku ini tidak hanya berlandaskan kajian pustaka dan pengamatan penulis, tetapi juga berdasarkan wawancara mendalam dengan lebih dari 20 informan. Penulis sekaligus pakar bidang komunikasi politik ini juga mengungkap sisi lain dari berbagai peristiwa penting di Indonesia , seperti pemberedelan media pasca Malari 1974, tragedy 27 Juli 1996, dendam Soeharto pada Habibie, upaya mencopot panglima TNI, dan masih banyak lagi.
Buku setebal 426 halaman ini mengajarkan banyak hal. Selain membahas watak, karakteristik, dan kepemimpinan presiden dan mantan presiden Indonesia, pembaca juga bisa belajar tentang gaya komunikasi seperti apa yang perlu dikembangkan oleh pemimpin. Cara-cara berkomunikasi para pemimpin bisa berdampak pada reaksi publik. Publik bisa menyegani, bisa juga memaki. Publik bisa menghormati, bisa pula memusuhi. (Gita Juniarti)
Average Rating