Hujan

Read Time:6 Minute, 19 Second
*Ela

Setelah selesai makan siang hari itu, Rainy langsung beranjak menuju jendela yang berukuran setengah meter di keempat sisinya, yang tak jauh dari posisi di mana ia makan. “Wah, asyik turun hujan…” teriak Rainy sembari menggosokan siku lengan untuk mengelap kaca jendela yang beruap.

***

Dua hari yang lalu, usiaku tepat enam tahun. Orang-orang memanggilku anak hujan, karena menurut mereka aku sangat tergila-gila dengan hujan. Bagaimana tidak? Sejak kecil, menurut ayah, tepatnya, ketika usiaku satu setengah tahun dia sering sekali membacakan cerita tentang hujan. Bagi Ayah hujan itu anugerah. Anugerah bagi setiap orang yang terkena tetesan airnya. Selain itu, aku suka melihat langit penuh warna setelah hujan turun. Ada warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.

Sejak itulah, aku tak pernah melewatkan ketika ada  hujan. Biasanya, saat hujan mulai turun aku mulai bersiap-siap menuju ke luar rumah. Di halaman belakang rumah biasanya aku mulai menanggalkan baju yang aku kenakan satu persatu. “Horeee…. hujan, pasti sebentar lagi langitnya berwarna…” Lalu aku berlari mengitari sekitar halaman rumahku. Ayah biasanya hanya tersenyum melihat lakuku. Ayah  pun tak pernah melarang aku bermain bersama hujan. Hanya sesekali ia berteriak, jika aku sudah melewati batas waktu yang ia tentukan. “Rainy….. ayo masuk sudah 15 menit, nanti nggak Ayah izinkan lagi hujan-hujanan!”  Itulah jurus terampuh untuk menghentikanku. Kalau alasannya sakit tentu aku tak akan menghentikan permainanku bersama hujan. Setelah itu, biasanya Ayah sudah bersiap menyiapkan beberapa perlengkapan untuk menghangatkan tubuhku.

Ayah adalah seorang single parent. Hal itu membuat ia bekerja lebih keras dalam menjagaku. Aku sudah ditinggalkan Ibu ketika aku terlahir ke dunia. Ibu rela mengorbankan hidupnya untuk memperjuangkan aku ke dunia ini. Menurut Ayah, Ibu adalah wanita terhebat dan tercantik, seperti bunga di taman setelah di guyur hujan.

Mungkin kecintaanku dengan hujan diturunkan dari ayah. Ayah dan almarhumah Ibu sangat menyukai hujan. Menurut Ayah mereka bertemu di tengah hujan. Waktu itu Ayah sedang menunggu jemputan teman kantornya. Karena hujan turun, akhirnya pria yang memiliki badan tegap seperti tentara itu memutuskan untuk menunggu di halte. Suasana halte sore itu sangat sepi. Di sana hanya ada dirinya. Dari kejauhan tiba-tiba ada perempuan manis berlari menujunya. Semua baju yang menempel dibadannya basah kuyup. Ia merasa tak tega melihat gadis itu kedinginan. Akhirnya ia memutuskan untuk menanggalkan jaket yang ada di badannya. “Ini buat kamu, hujannya deras banget. Lumayan buat ngangetin badan,” kata pria yang memberanikan untuk menyapa gadis manis yang ada di dekatnya.  Suasana di halte pun hening, hanya terdengar suara hujan berjatuhan. Selama satu jam tak ada perbincangan di antara mereka berdua. Sampai akhirnya mobil Avanza hitam yang ditunggu pria datang juga. Saat itu tak ada sapa di antara mereka. Mereka hanya saling menat
ap tajam. Mereka bertanya dalam hati siapakah dia? 

Lagi. Hujan membawa keberuntungan. Meski bukan di halte, pria dan gadis itu kembali dipertemukan oleh turunnya hujan. Suasana kali ini memang berbeda. Kali ini lebih tepatnya pria yang basah kuyup. Pria itu terlihat panik. Rupanya ia khawatir dengan berkas-berkas di tasnya. Kesibukannya membuat ia tidak memperhatikan suasana sekitar minimarket, sebagai tempatnya berteduh. Tiba-tiba dihadapannya muncul sosok gadis manis yang tak asing. “Kamu, yang waktu itu minjemin aku jaket ya? Maaf ya belum sempat aku kembalikan.” jelas gadis yang memiliki bola mata cokelat. “Oh, iya ng.. ng.. nggak apa-apa,” jawab pria itu gugup.

“Ini alamat rumahku, siapa tahu kamu mau ngambil ke rumah,” tawarnya sambil menyodorkan kartu nama.

“Oke, nanti aku ambil ya.” Gadis itu hanya menjawab dengan senyum.

Itulah awal di mana mereka akhirnya menjalin kasih. Ayah sangat menyukai hujan, begitu pun almarhumah Ibu. Pantas saja aku begitu tergila-gila dengan hujan.

**

Netnet…. bel di sekolahku berbunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul 11:00 WIB. Kondisi cuaca di luar tidak begitu bagus. Ibu guru menginstruksikan murid-muridnya untuk tidak bermain di luar. Benar saja hujan di hari itu begitu deras. Aku yang sedari tadi hanya mengintip dari jendela tak kuasa menahan keinginanku untuk bermain di tengah hujan.

Kemudian, aku berlari dan tak lama aku sudah berada di luar kelas, menari dan berlari di bawah guyuran hujan. Teman-temanku yang lain ikut bersorak melihat aku berhujan-hujanan. Mereka menyusulku di tengah lapangan. Ibu guru sepertinya kerepotan melihat murid-muridnya tak bisa dijinakkan. “Anak-anak, ayo kembali ke kelas. Nanti kalian sakit…!!!” panggilan seperti itu tentu tak membuat aku dan anak yang lainnya berhenti. Kami terus berlari, bermain ayunan, bermain seluncur dan sebagainya.

Jam di dinding menunjukkan pukul 13:00 WIB ketika kami beranjak dari lapangan. Ini sepertinya waktu terlama aku bermain bersama hujan. Tentu tak ada yang bisa menghentikan aku selain mantra yang dikeluarkan ayah. Hebatnya, aku tak pernah bermasalah dengan kondisi badanku. Meskipun, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain bersama hujan.

***

Aku pulang diantar bis jemputan. Di rumah, aku tidak melihat ayah di ruang kerjanya. Ayah memang memutuskan untuk menyulap sebagian ruangan menjadi kantornya. Itu semua karena kondisinya yang harus ekstra menjagaku. Kemana ayah? Pikirku dalam hati. Ternyata Ayah berada di belakang rumah. “Kamu sudah pulang sayang? Ayah di atas, lagi benerin genting yang bocor,” jawab ayah yang sedari tadi mendengar teriakan putrinya.

Setelah Ayah selesai membetulkan atap yang bocor, aku dan Ayah memutuskan untuk menyiapkan makan malam. Kring….kring…kring…. telepon rumahku berbunyi. “Ayah angkat telpon dulu ya sayang..”

“Halo, selamat sore pak Dimas?”

“Iya, selamat sore, dengan siapa saya bicara?”

“Saya, gurunya Rainy. Begini Pak, saya ingin mengobrol bersama Bapak di sekolah, apa Bapak bisa menyempatkan waktu Bapak?”

“Oh iya Bu, tentu ada. Kapan kira-kira Bu?”

“Besok Pak..”

Setalah lama bercakap-cakap di telepon. Ayah kembali menuju dapur melanjutkan memasak denganku.

***

Aku pikir hari ini ayah sedang libur karena tak seperti biasanya dia menungguku sampai aku selesai belajar di sekolah. Biasanya, setelah mengantarkanku ke sekolah Ayah langsung pergi. Tapi, aku senang Ayah menemaniku hari ini.

Sementara aku belajar di kelas, Ayah menuju ruang guru. Ayah bertemu Ibu Fatma, wali kelasku. Mereka memulai mengobrol. Bu Fatma menjelaskan perilakuku kemarin kepada Ayah. “Saya khawatir kalau kebiasaannya bermain hujan-hujanan dibiarkan sampai ia dewasa,” jelas Bu Fatma. “Ada baiknya Bapak memberikan penjelasan untuk mengurangi kebiasannya ini Pak.”

“Saya tahu Bu, ini sangat sulit untuknya. Tapi, biarkan ia mengurangi kebiasannya secara perlahan ya Bu?..”

 “Baik Pak, kami di sini pun akan membantu.”

***

Seusai jam pembelajaran. Aku bersama Ayah pulang menuju rumah. Ayah bingung untuk memberitahukan kepada putri semata wayangnya seperti apa obrolannya bersama Bu Fatma. Disisi lain, Ayah tetap ingin melihat putrinya bahagia. Di sepanjang jalan Ayah mencoba menyembunyikan kemelut yang dihadapinya kepada putrinya.

Setibanya di rumah, Ayah kembali berpikir tentang apa yang tadi menjadi bahan perbincangan ia dan Ibu Fatma. Setelah berpikir panjang, Ayah memutuskan untuk memindahkan aku ke sekolah baru. Ayah mencari sekolah yang memang mengerti kondisi putrinya. Akhirnya Ayah menemukan sekolah yang dimaksud. Sekolah biasa namun semua gurunya memahami kondisi yang dialami Ayah dan aku. Waktu itu aku belum begitu paham mengapa aku pindah sekolah. Aku hanya menuruti saja apa yang Ayah instruksikan.

***

Kini aku telah tumbuh menjadi gadis remaja. Kini usiaku telah 17 tahun. Orang-orang memanggilku bukan lagi anak hujan, tapi kini telah berubah menjadi dewi hujan. Julukan itu diganti oleh teman-temanku di SMA. Kata mereka aku seperti dewi hujan. Setiap ada hujan pasti ada aku. Jadi, aku seperti dewi-dewi yang diturunkan dari langit waktu hujan. Aku tak pernah marah dijuluki macam-macam, bahkan julukan pawang hujan pun tak terlepas dariku. Semakin aku dewasa, semakin banyak pengetahuanku mengenai hujan. Aku tak punya alasan untuk membenci hujan. Hujan yang selalu memberikan kebahagiaan bagi orang-orang. Hujan yang memberikan warna di atas langit. Hujan pula yang memberi cerita cinta bagi Ayah dan almarhumah Ibu. Hujan jugalah yang selalu membuatku damai.

***

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Setetes Darah Bantu Masyarakat Tangsel
Next post TABLOID EDISI 27