*Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi, FISIP, UIN Jakarta
Read Time:3 Minute, 29 Second
‘Pengabdian’ kata itu begitu sakral, begitu luhur, begitu agung, namun kini hanya sebuah keniscayaan semu yang tak kunjung nyata kutemui. Entah pada siapa, entah apa, entah di mana kata itu bersemayam. Langit seolah hanya berhias awan dusta nestapa. Bumi hanya tampak debu-debu kemunafikan. Harus kah kumenangis meratapi semua ini, atau hanya diam? TIDAK!
Kini, di zamanku yang sudah modern, tiada lagi manusia pengabdi yang sepenuhnya rela berkorban atas panggilan hati nurani. Semua insan terbuai, lalai. Semua tampak dibudaki oleh akal kotor dan nafsu pragmatis dengan orientasi hanya untuk memperkaya diri akan materi. Para pahlawan yang mengorbankan darah, air mata, dan cinta kini telah punah menjadi fosil-fosil sejarah di museum-museum hikayat bangsa. Jasa mereka untuk menjadikan bangsa ini merdeka cukuplah sebatas kenang yang redup di awang-awang. Tak lagi ada pemuda ataupun pemudi yang diharap menjadi penerus, memanjangkan tangan-tangan para pejuang terdahulu. Generasi ini telah dibuat buta, tuli, dan bisu oleh virus-virus kemutakhiran zaman. Generasi ini telah mati suri dan harus ada yang membangunkannya.
Abdi-abdi pendidikan bangsa telah berbelok dari apa yang biasa kita sebut “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Guru-guru yang dahulu diguguh dan ditiru baik dari ilmu maupun perilaku, kini lebih pantas disebut pengajar daripada pendidik. Ya, tentu dari kaca mata mereka yang masih memiliki nurani. Kini para pengajar itu condong mengejar apa yang disebut “gaji”, bayaran bulanan yang diterima oleh mereka para karyawan, buruh, dan pekerja. “Mengajar bila dibayar”, jika boleh aku cantumkan gelar akan terpampang di wajah mereka “pengajar bayaran”. Sungguh hati ini tersayat melihatnya. Bukan lagi mencerdaskan kehidupan, ataupun menyadarkan bangsa, tapi tak lebih dari mencerdaskan akal yang sebatas pengejaran target nilai kurikulum semata. Pendidikan sekarang tak lebih dari kemunafikan formalisasi-birokratis.
Lain hal dengan mereka sang pendidik, yang mungkin sekarang hanya bisa kita temui di pasar-pasar loak pinggir jalan. Mereka tak banyak dikenal tapi senantiasa dicari dan dibutuhkan. Tentu kini pendidik itu telah bermetamorfosa sebagai barang langka bernilai tinggi. Begitu luhur pangkatnya, namun luhur pula jerih keringatnya. Mereka rela korbankan jiwa, raga, waktu, dan hidupnya untuk “kehidupan bangsa”, untuk murid-muridnya, demi melahirkan generasi penopang bangsa. Mereka tak harapkan gaji, jabatan, ataupun prestise yang lenyap tertelan waktu. Tapi mereka punya cita-cita agung yang diteruskan dari tongkat estafet para pengabdi terdahulu. Semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” itulah yang mereka tuju. Tut Wuri Handayani yang berarti mendorong dari belakang, yang dulu menjadi tujuan utama, betapa pun kini di atas dunia formalisasi-birokratis, semboyan itu hanya tinggal pajangan di seragam, topi, atau dasi anak-anak sekolahan. Para aktor pendidikan sekarang bukan mendorong dari belakang, tetapi maju jauh ke depan, berebut nilai-nilai material yang akan pupus ditelan masa. Wahai abdi pendidikan, pulanglah!
Drama yang digelar di atas panggung politik pun menggambarkan potret demikian. Abdi-abdi negara tak lagi tampak jelas, kian kabur tertutup kabut kursi-kursi jabatan. Sekarang, dan dulu belum nyata terbukti mereka yang benar-benar “membangun”-kan Indonesia dari tidur panjangnya. Telah nyata memang progres pembangunan dari segi infrastruktur di kota-kota metropolis semisal Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya. Namun pada nyatanya, bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, bangsa ini masih terjajah! Siapa yang menjajah? Ialah mereka para koloni Barat dan mereka koloni pribumi yang mengkhianati titahnya sendiri.
Fenomena politik hari ini tak lebih dari kemunafikan real para politisi, yang mungkin tak pantas disebut negarawan. Cobalah tengok model general election atau yang biasa kita sebut pemilu. Pemilihan presiden atau pejabat negara itu bak adu gladiator di tanah Roma, “yang kuatlah yang menang, yang liciklah yang berkuasa”. Saling sikut sana-sini, sekarang kawan besok lawan, tak terang mana nurani. Mereka korbankan harta dan harga diri untuk merebut “kursi”. Kampanye umbar janji di sana-sini. Serangan fajar dan manipulasi kadang menjadi strategi jitu. Setelah terpilih habis manis sepah dibuang, janji-janji pun hanya isapan jempol belaka. Tentu loyalitas, kredibilitas, integritas, lebih-lebih “pengabdian” para politisi pada negara tentu dipertanyakan. Negara ini, kapal yang kita naiki bersama untuk pecahkan ombak, menerjang badai, hingga sampai ke pulau impian, kini mereka gerogoti geladaknya sedikit demi sedikit hingga berlubang dan tenggelam ke dasar samudera. Dan rakyat selaku penumpang tak bersalah akan ikut tenggelam.
Average Rating