Ilustrasi. (Sumber: Internet) |
Read Time:3 Minute, 12 Second
Oleh: Rizqi Jong*
Minggu lalu, tiba-tiba dapat broadcast BBM yang isinya linkSurat Terbuka untuk Rektor UIN Jakarta dari Pak Oman-Mantan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Jujur, saat pertama kali membaca, saya mengapresiasi keberanian Pak Oman untuk membuat surat secara terbuka. Bahasanya renyah, ringan, dan sangat mudah dimengerti. Tak ada satu kalimat pun yang sukar dipahami.
Bukan Pak Oman namanya jika tulisanya tidak enak dibaca, wajar jika banyak orang menobatkan dia sebagai pakar filologi alias orang yang paham soal ilmu bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, atau orang yang paham terkait kritik sastra, sejarah, dan lingu istik.
Setelah membaca surat terbuka dengan saksama dan tanpa melewati satu kata pun dari apa yang Pak Oman tulis (kalau dijumlah ada 2111 kata), saya penasaran. Hingga akhirnya berangkat dari pertanyaan kenapa Pak Oman dengan beraninya membuat surat terbuka, bahkan sempat muncul isu di permukaan akan adanya aksi protes seluruh jajaran dekanat dan mahasiswa FAH kepada rektor.
Dalam surat itu ada kesan bahwa Pak Oman merasa tidak terima dengan pemberhentian jabatan sebagai Dekan FAH. “Jujur saya sedih! Bukan karena saya kehilangan jabatan dekan itu, tapi karena Bapak tidak menyapa saya satu huruf, pun terkait pemberhentian itu, baik melaui SMS, email, telpon, apalagi sapaan langsung saat saya beberapa kali menemui dan menghadap Bapak, padahal saya mendapatkan amanah jabatan ini melalui cara terhormat,” tulis Pak Oman.
Di sini saya menilai Pak Oman ingin sekali disapa oleh rektor. Meski ia sendiri paham bahwa jika mengacu pada statuta UIN, rektor punya hak prerogatif dalam memilih dekan. Ini perkara komuniksi saja Pak, bukankah ini bisa diselesaikan lewat duduk bareng, saya yakin kok Pak rektor bakal menerima Bapak. Apalagi Bapak sebelumnya menjabat sebagai dekan. Kurang etis rasanya jika persoalan miskomunikasi Bapak dengan rektor diungkap secara terbuka. Kesannya Bapak ingin semua sivitas akademik UIN tahu bahwa rektor tak menyapa Bapak.
Kemudian dalam surat yang Bapak tulis, Bapak meragukan kapabilitas dekan yang saat ini terpilih menggantikan Bapak. Sempat dalam benak saya muncul pertanyaan ‘emangnya Bapak doang yang punya kapabilitas?’. Tak baik Pak meragukan kemampuan sese orang apalagi Dekan FAH saat ini merupakan sahabat Bapak. Kita semua tidak tahu, bisa saja orang yang Bapak ragukan itu ternyata berhasil dalam membangun FAH. Toh, hastag #TerimakasiPakOman, menurut saya bukan sebagai tolok ukur keberhasilan Bapak.
Jika saya boleh berpesan kepada Bapak, alangkah baiknya jika Bapak berdoa dan gotong-royong bersama jika bapak masih punya niatan baik ingin memajukan FAH. Saya yakin kok Pak, jika Bapak ikhlas menerima keputusan ini dan masih punya niatan baik, segala usulan dan masukan dari Bapak pasti diterima oleh dekan FAH saat ini.
Buat Pak Rektor, Bapak sebagai pimpinan universitas seharusnya paham bagaimana berkomikasi dengan baik. Apalagi Bapak sebagai profesor, menyapa bawahan (dekan) tidak akan menjatuhkan kewibawaan Bapak kok. Justru semakin sering Bapak menyapa bawahan nama baik Bapak justru terangkat dan bapak semakin disegani. Tak perlulah Bapak belajar komunikasi lagi dengan Pak Gun Gun Heryanto soal komunikasi yang baik.
Pak Rektor di sini adalah panutan buat sivitas akademika UIN Jakarta. Bijaklah dalam mengambil keputusan. Bukankah Bapak sendiri sudah menulis buku ‘paradigma pendidikan demokratis’ yang mengkaji soal kontribusi pemikiran konsepsional akademis, teoritis, dan bahkan menyentuh dimensi praktiknya dengan harapan dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan lembaga pendidikan secara demokratis. Buku itu bagus loh Pak, tapi akan lebih bagus jika hasil kajian Bapak benar-benar diterapkan di kampus tercinta ini. Sekali lagi saya menekankan, bijaklah dalam mengambil keputusan Pak.
Terus terang, surat terbuka dari Pak Oman telah membuka lembar keraguan saya atau mungkin kami sebagai mahasiswa terhadap Pak Rektor. Jangan sampai kebijakan-kebijakan Bapak ke depan hanya untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok tertentu saja. Bapak harus ingat bahwa UIN Jakarta berdiri di atas semua golongan. Terakhir, demi kebaikan bersama saya ingin menyarankan buat Pak Rektor agar Statuta UIN yang baru dikaji ulang supaya tidak terjadi salah penafsiran.
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta
Average Rating