Ramai-Ramai Angkat Kaki

Read Time:3 Minute, 40 Second
Mahasiswa kelas internasional yang merasa tak puas memilih hengkang. Fasilitas yang tak berbeda dengan kelas reguler jadi alasan.

Kekecewaan tampak di raut wajah Ajrina Ziezie saat keluar dari ruang dekanat fakultasnya. Baru saja, keinginannya untuk pindah dari kelas internasional ke kelas reguler tidak disetujui dekan. Ia, yang kala itu bersama sang Ibu, walhasil harus memupus keinginannya untuk mendapat biaya kuliah yang lebih murah.

Niat Ajrina itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, ia yang terhitung sebagai mahasiswi semester delapan Program Studi (Prodi) Teknik Informatika (TI) kelas internasional, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) merasa dirugikan lantaran sudah dua tahun tidak lagi mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Padahal, setiap semester Ajrina harus mengeluarkan biaya kuliah lebih dari Rp 10 juta—lima kali lipat lebih mahal dari mahasiswa kelas reguler di jurusan yang sama.

Ajrina tidak sendiri. Beberapa temannya bahkan sudah terlebih dulu memutuskan hengkang dari kelas internasional. Terhitung sampai saat ini, sudah sembilan orang temannya yang hengkang. Dari total 11 mahasiswa kelas internasional di jurusan TI, kini hanya Ajrina dan satu temannya yang masih bertahan. “Angkatan aku cuma sisa dua orang,” ungkapnya, Senin (18/5).

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Litbang Institut kepada semua mahasiswa kelas internasional, sebanyak 82% responden memang menyatakan ketidakpuasannya terhadap kelas internasional.

Tommy Putra, misalnya. Mantan mahasiswa Prodi TI Internasional ini mengaku, merasa beruntung dapat pindah dari kelas internasional.  Tommy yang kini terdaftar sebagai mahasiswa Prodi Sistem Informasi (SI) bercerita, keputusannya dulu untuk pindah lantaran biaya kelas internasional yang terlalu mahal. “Dosennya juga lokal sih,” tambahnya, Kamis (21/5).

Sesuai peraturan, bagi mahasiswa yang ingin  pindah jurusan memang diwajibkan untuk kembali mengikuti ujian masuk tak ubahnya mahasiswa baru. Tak terkecuali bagi mahasiswa kelas internasional seperti Ajrina yang berniat pindah ke kelas reguler. Bagi ia yang lulus mengikuti ujian masuk, kemudian akan diringankan dengan konversi nilai. Jadi, beberapa mata kuliah yang sudah diambil mahasiswa yang pindah jurusan tidak harus diambil kembali pasca masuk di jurusan baru.

Kekecewaan terhadap fasilitas kelas internasional juga dirasakan Rifqi Syahrizal, mahasiswa semester delapan kelas internasional Jurusan Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Menurutnya, fasilitas yang didapat kelas internasional tidak sebanding dengan uang kuliah yang harus ia bayar tiap semester. Bahkan, tak jarang Rifqi juga terpaksa mengikuti perkuliahan di kelas reguler.

Merasa tak puas, ia dan teman-temannya lantas melayangkan tuntutan kepada pihak fakultas. Mereka sempat mempertanyakan, fasilitas yang tidak sebanding dengan uang perkuliahan yang harus mahasiswa keluarkan. “Sebaiknya anggaran dan laporan yang sudah ada dapat diketahui dengan jelas,” saran Rifqi, Rabu (19/5).

Menanggapi hal itu, Dekan FST, Agus Salim berharap, rektorat dapat segera meninjau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) agar kebijakan anggaran mahasiswa kelas internasional dapat disamakan dengan reguler. “Sesuai hasil rapat Senat Universitas, hanya rektorat yang bisa mengubah kebijakan anggaran itu,” tegas Agus, Selasa (19/5).

Namun seperti diketahui, empat keseluruhan fakultas yang membuka kelas internasional memang sudah tidak menerima mahasiswa baru. Pada tahun 2012, kelas internasional di FST dan FISIP sudah resmi dihapus. Begitu juga dengan kelas internasional di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) serta Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang dihapus di tahun selanjutnya.

Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP, Dzuriyatun Toyibah bercerita, Prodi HI kelas internasional mulai dikelola semenjak menjadi bagian Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) pada tahun 2005. Dan dihapus pada tahun 2012 ketika sudah berada di bawah naungan FISIP.

Penutupan itu, kata Dzuriyatun, lantaran ada beberapa dosen fakultas yang menilai mahasiswa HI kelas internasional tidak memenuhi kriteria. “Bahasa Inggrisnya tidak mencapai Test of English as a Foreign Language (TOEFL) 500 di kelas. Diajar juga tidak nyambung, malah lebih bagus mahasiswa reguler,” tandasnya. Namun, hingga saat ini, dekanat masih terus mencari solusi tentang kelanjutan mahasiswa kelas internasional Prodi HI FISIP.

Senada dengan Dzuriyatun, Agus juga menilai tidak terpenuhinya standar menjadi salah satu  alasan dihapusnya kelas internasional. Sebagai jalan keluar, beberapa fakultas akhirnya memindahkan mahasiswa kelas internasional ke kelas reguler. “Kasihan juga yang udah jalan,” ucap Agus.

Terkait TOEFL, Ajrina mempertanyakan hasil tes TOEFL yang menjadi syarat penerimaan  mahasiswa kelas internasional. Pasalnya, saat ujian masuk UIN Jakarta dulu, ia merasa tidak pernah diberi tahu tentang standar TOEFL yang harus dipenuhi calon mahasiswa kelas internasional. “Padahal, TOEFL aku rendah, tapi bisa masuk,” kata Ajrina.


Hal tersebut juga dibenarkan Rifqi Syahrizal. Saat itu, ia yang masuk lewat jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Mandiri UIN Jakarta, juga tidak mengikuti seleksi khusus agar diterima di kelas internasional HI FISIP. “Tidak ada itu (prosedur khusus), semua sama,” katanya.

Rizky Rakhmansyah

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Jalan Terjal Rob Menjadi Tabib
Next post Jadikan Kepedulian Sebagai Gaya Hidup Mahasiswa