Read Time:2 Minute, 10 Second
Penulis : Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : Marjin Kiri
Isi : xxi + 161 Halaman
Terbit : 2010
ISBN : 978-979-1260-07-7
1 Oktober 1973, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) Jendral Soemitro dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi mengeluarkan pernyataan, rambut gondrong menjadikan pemuda —acuh tak acuh— onverschililng. Alhasil, pernyataan tersebut akhirnya menjadi kontroversial, para aparat negara pun turun langsung memberantas pemuda gondrong.
Hubungan pemerintah dan pemuda yang sebelumnya sudah diwarnai berbagai aksi protes kian renggang dengan keluarnya pernyataan Soemitro. Aksi tersebut dilancarkan terkait kebijakan proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), kenaikan BBM dan intervensi pemerintah dalam pemilihan pimpinan DPR/MPR.
Dalam buku ini, Aria menggambarkan bagaimana rezim Orde Baru yang menghalalkan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Pelarangan rambut gondrong yang dicap sebagai bentuk perlawanan pemuda terhadap pemerintah adalah salah satu upaya politik pertahanan kekuasaan Soeharto.
Diskriminasi juga dilakukan pemerintah terhadap para rambut gondrong. Tidak ada pelayanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi hingga Surat Keterangan Bebas G 30 S. Tak hanya sampai disitu, para artis yang berambut gondrong pun termarginalkan. Mereka dicekal peredarannya di layar pertelevisian.
Pencitraan rambut gondrong kian memburuk dengan dibentuknya opini publik melalui media massa. Segala tindak kejahatan digambarkan sebagai perbuatan para rambut gondrong. 5 Oktober 1973 dilansir di harian Pos Kota berita berjudul Tujuh Pemuda Gondrong Merampok Bus Kota. Pada 29 September 1973 harian Angkatan Bersenjata menuliskan Lima Pemuda Gondrong Memeras Pakai Surat Ancaman.
Tak tinggal diam, para pemuda pun menuangkan aksi protesnya terhadap diskriminasi dan usaha pencitraan buruk rambut gondrong. Demonstrasi terjadi di mana-mana. Bahkan mereka melakukan perlawanan dengan memanjangkan rambutnya.
Buku ini juga menceritakan bagaimana Orde Baru selalu menggembor-gemborkan jargon pemuda sebagai generasi penerus dan masa depan bangsa. Peniruan budaya luar –barat yang matrealistis—yang tidak sesuai dengan budaya nasional dianggap sebagai kemerosotan moral. Salah satunya adalah budaya rambut gondrong diklaim sebagai sikap brutal dan menentang.
Dalam buku ini menceritakan dengan sangat apik runtutan narasi pelarangan rambut gondrong pada masa Orde Baru, dengan menelusuri dan mengumpulkan berita-berita di media cetak. Aria mampu memberi gambaran terhadap para pembaca, bagaimana rambut gondrong dianggap sebagai subversi dalam praktik kekuasaan Orde Baru.
KB
Average Rating