Read Time:4 Minute, 21 Second
Oleh: Khalid Syaifullah*
Sudah penulis duga, aksi yang dilakukan kawan-kawan Lingkar Studi Ciputat (LSC) menuai keramaian di seantero dunia maya. Sudah penulis duga pula, keramaian yang tersaji di depan mata kita lebih banyak merupakan ‘busa kalimat’ dari pada kritik-transformatif. Maksud ‘busa kalimat’ adalah kalimat-kalimat nyinyir yang tak berdasar, sehingga hanya memperunyam keadaan.
Dalam tulisannya yang berjudul Membela LingkarStudi Ciputat di mahasiswabicara.com yang lalu, Bung Coky Sanjaya berusaha melakukan pembelaan atas aksi yang dilakukan kawan-kawan LSC di depan gedung DPR RI. Menurutnya, aksi yang dilakukan LSC merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka penyampaian aspirasi kepada pejabat-pejabat Senayan.
‘Namanya juga menyampaikan aspirasi, semua orang juga boleh kok, dan negara juga menjamin bagi warganya untuk mempersilahkan menyampaikan segala bentuk aspirasi’
Penuturannya ini diarahkan kepada pihak-pihak yang ‘mengecam’ soal aksi yang mereka (LSC) lakukan.
Soal simbolisasi pakaian dalam wanita, Bung Coky beranggapan:
‘… kalian para organisasi yang sudah berpengalaman aksi harusnya memaklumi saja soal atribut yang digunakan LSC, barangkali mereka punya cara pandang yang berbeda terkait pakaian dalam wanita yang dijadikan simbol. Namanya juga organisasi baru, pasti masih butuh bimbingan dari organisasi lama’
Di samping itu, ia juga menilai surat terbuka dari Keluarga Besar Mahasiswa Ciputat (KBMC) seperti ‘ajakan perang’. Kalau benar ajakan perang, tentu LSC kalah menurut hitung-hitungan kuantitas. Ini tentu tak adil. Sebab dalam KBMC terdapat tujuh organisasi yang, masih menurut Bung Coky, punya portofolio aksi lebih unggul dari pada LSC, yang notabene organisasi baru.
Juga, masih dalam pandangannya, seharusnya tujuh organisasi besar yang tergabung dalam KMBC bukannya mengecam, tetapi menegur dan memperbaiki aksi yang dilakukan LSC secara persuasif. Ia menganalogikan LSC sebagai anak kecil, sedangkan isi KMBC sebagai orang tua. Tugas orang tua memberi arahan kepada anak, misalnya, melalui duduk bersama memberikan perngetahuan soal tata cara aksi yang baik dan benar sesuai dengan asas yang berlaku di Ciputat. Bukannya memarahi. ‘Apa pantas orang tua memarahi anaknya?’ Begitu menurut Bung Coky.
Kritik Dua Arah
Saya akan melakukan kritik terhadap setidaknya dua hal. Pertama, terhadap logika berpikir Bung Coky dalam pembelaannya. Sebab, apa yang dilontarkan Bung Coky dalam tulisannya merupakan cara berpikir yang keliru. Ia, dalam pledoinya, menempatkan suatu diskursus gerakan mahasiswa pada struktur logika yang tidak tepat. Kedua, kritik dalam tulisan ini juga menyasar kepada para ‘penuduh’ maupun ‘pengecam’ yang hanya berkutat pada hinaan, cacian,―atau ‘busa kalimat’―yang hanya menjadikan polemik ini destruktif, alih-alih dialektis. Kita harus sadar, kritik haruslah membangun, bukan malah menghancurkan.
Baiklah. Membaca pandangan Bung Coky, membuat saya teringat kembali tulisan saya Melawan Aktivis dan Paket Demagoginya di mahasiswabicara.com beberapa waktu yang lalu. Inilah dasar kritik saya. Bahwa konfigurasi aktivis saat ini sangatlah mirip dengan seorang demagog yang sedari awal cacat akan dwitunggal pembebasan: teori dan praksis. Seperti dikatakan Ernest Mandel, mempertentangkan aksi langsung (praksis) dengan studi mendalam (teori) adalah sepenuhnya keliru.
Kekeliruan ini yang terlihat dari simbolisasi pakaian dalam wanita yang, sebetulnya, sangat patriarkis dan sudah ditolak sebagai ‘sampah’ bagi kemajuan peradaban bangsa kita. Mengapa dengan wanita? Apa ia makhluk yang lemah? Apa ia secara natural merupakan ‘yang liyan’ bagi lelaki? Padahal, sudah sejak Simone de Beauvoir menekankan ‘yang liyan’ adalah hasil produk kultural semata. Maka itu syarat ideologis, juga syarat politis.
Dengan begitu, Bung Coky dan kawan-kawan LSC sudah mandul dalam kapasitas intelektual. Kemandulan ini yang berakibat kawan-kawan LSC terjerembab dan serampangan dalam memakai pakaian dalam wanita sebagai simbol kelemahan dan ketidaktegasan ketika melakukan aksi. Hal ini tak lebih dari pelecehan bagi kaum hawa.
Di samping itu, analogi orang tua dan anak sangatlah ngawur. Dari mana logika ini berasal? Ketika berbicara gerakan mahasiswa, sudah sepatutnya logika hierarkis orang tua-anak dihilangkan. Karena setiap kelompok gerakan memiliki akses terhadap gugatan kritis dan metodologi yang sama. Jadi, mengapa LSC harus menjadi anak, kalau nyatanya sama-sama punya daya jangkau intelektual yang setara? Mungkin, kalau LSC merupakan akronim dari Lingkar SMA Ciputat, itu sah-sah saja. Tapi ini mahasiswa. Dengan begitu, maka tuduhan Bung Coki terhadap kecacatan berpikir para ‘pengecam’ sebetulnya sudah cacat lebih dulu.
Namun, kritik ini tidak berakhir pada Bung Coki dan kawan-kawan LSC. Kritik ini juga ditujukan bagi pihak-pihak yang hanya menggosok busa pada air yang telah keruh. Ini penting, sebab menanggapi tindakan kurang terpuji dengan cara kurang terpuji mengandung implikasi radikalisme. Seperti yang terjadi dalam isu-isu kontemporer seputar agama, kelompok yang mendakwa kalangan fundamentalisme-radikal dengan cara mencaci, menghina, atau menghujat merupakan suatu bentuk radikalisme baru. Secara sadar maupun tidak, kita yang menghantam prilaku radikal tanpa basis argumentasi yang kokoh berarti juga mengandung semangat radikal. Lantas, apa bedanya?
Penting bagi kita untuk senantiasa merawat ruang diskursus bersama tanpa mengotorinya dengan hujatan-hujatan atau label-label yang tak berdasar. Lenin saja, membonsai manuver lawan politiknya semacam Kautsky melalui argumen ilmiah: teori ‘mata-rantai terlemah’. Tidak asal serampangan menuduh ‘kontra-revolusi’, ‘bigot-bigot subversif’, ‘mata duitan’, ‘karbitan’, dan sebagainya.
Kalau kita mudah melabeli seseorang dengan setumpuk bahasa binatang, apa bedanya kita dengan otoritarinisme Orde Baru yang kejam dan gelap itu?
*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UIN Jakarta sekaligus pegiat Komunitas Lingkar Studi Tangerang Selatan
Average Rating