Agama dan Cita-Cita Kehidupan

Read Time:4 Minute, 26 Second

Oleh Muhamad Ubaidillah*

Pagi di suatu desa yang subur, tumbuh seorang anak kelas 5 Sekolah Dasar (SD) bernama Arya. Ia cukup cerdas dan berangan-angan tinggi. Ia terlahir dalam keluarga sederhana, namun penuh kebahagiaan. Sejak duduk di bangku SD, ia sering menjadi murid terbaik di kelasnya. Namun, semuanya itu belumlah cukup menjadi modal untuk mencapai impiannya.

“Bu, Arya ingin menjadi nahkoda kapal ya Bu,” tutur Arya sesaat sebelum berangkat sekolah.

“Iya, Nak,” ibunya mengamini. Ia melanjutkan, “Akan tetapi, kamu harus selalu berdoa dan berusaha agar impianmu itu tercapai.”

“Iya, Bu,” tandas Arya dengan penuh keyakinan. Kemudian ia berpamitan dan berlari berangkat sekolah.

Hari-hari SD Arya berjalan dengan penuh kesenangan, sehingga ia yakin impiannya itu akan tercapai. Ia berpikir setelah lulus SD, akan melanjutkan ke SMP terkemuka di daerahnya. Selanjutnya, setelah lulus SMP ia akan melanjutkan ke sekolah SMK Pelayaran. Begitulah skenario pendidikannya. Dengan begitu, impiannya untuk menjadi nahkoda kapal dan bisa keliling dunia bisa tercapai dengan mudah dan lancar.

Skenario tersebut tak berjalan lama. Setelah Ujian Nasional (UN) SD selesai, skenario tersebut berubah seratus delapan puluh derajat. Impiannya untuk masuk ke sekolah SMP terkemuka di daerahnya sirna, bahkan juga impiannya untuk menjadi seorang nahkoda kapal. Ini diakibatkan karena bapaknya mempunyai skenario berbeda bagi pendidikannya.

“Arya, kamu lanjut ke pesantren yak,” tutur bapaknya sesaat setelah Arya selesai mengikuti UN.

“Lho. kok pesantren Pak?” jawab Arya dengan keheranan.

“Iya, kamu melanjutkan ke pesantren bapak dulu,” lanjut bapaknya.

“Di Cirebon Pak ?” Arya kembali bertanya.

“Iya”

“Tapi Arya kan ingin lanjut di SMP Pak,” tutur Arya sambil memohon.

“Jangan !” tutur ayahnya, dengan nada tinggi. “Nanti kamu ketularan enggak bener sama anak-anak nongkrong itu.”

“Iya arya,” kata ibunya mengikuti.

“Arya tidak mau ke pesantren Pak, Bu!” tutur Arya dengan nada tegas.

“Kenapa?” tanya ayahnya.

“Pesantren itu kuno, juga bagaimana dengan impian menjadi nahkoda Arya? Sedangkan ilmu yang dipelajari di pesantren adalah ilmu agama.”

“Bagaimana kamu tahu rasanya gula, sedangkan kamu belum pernah mencicipinya, begitulah analoginya. Kamu mengatakan pesantren itu kuno, sedangkan kamu belum tahu seperti apa pesantren yang sebenarnya,” tutur ayahnya menasihati.

Setelah mendapatkan penjelasan dan sedikit pemaksaan, akhirnya Arya menerima permintaan bapak dan ibunya tersebut. Namun, dalam lubuk hatinya masih tersimpan keinginan untuk sekolah SMP terkemuka di daerahnya. Pemberangkatan dua hari setelah kejadian perdebatan itu terjadi.

Setibanya di pesantren, Arya disuguhi perkebunan tebu yang amat luas, hutan di atas sebelah utara, serta jurang di sebelah selatan. Dalam benak Arya begitu melosok pesantren ini, bagaimana nanti saya pulang kampung? Apakah ada kendaraan umum yang masuk hinga daerah pelosok seperti ini? Namun, pikiran tersebut segera berlalu ketika ia mulai melihat bangunan masjid yang cukup tinggi, sampai menaranya terlihat di kejauhan satu km.

Sesampainya di halaman masjid, pikiran mengenai pesantren itu kuno terbukti dengan melihat asrama-asrama santri yang keadaanya cukup memprihatinkan. Akan tetapi, masjidnya cukup megah diantara bangunan lain. apakah karena tempat beribadah sehingga megah? pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul di pikiran Arya.

Hari-hari Arya di pesantren ia jalani dengan setengah hati, jasadnya di pesantren tetapi pikirannya keliling dalam impiannya yang ia anggap sudah pupus. Hingga pada suatu pengajian subuh, guru pengajar memberikan suatu nasihat yang membuat arya kembali optimis akan impiannya.

“Terkadang kita memiliki begitu banyak rencana dan impian. Akan tetapi, kita lupa ada dzat yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Jalan hidup kita tak seperti yang kita inginkan, karena Tuhan yang memiliki skenario. Percayalah jikalau hidup kita tak seperti yang diinginkan, mungkin rencana-Nya jauh lebih baik,” ustadznya memberikan pelajaran.

“Apakah Tuhan juga mengatur cita-cita saya? sedangkan skenario tersebut jauh dari apa yang manusia pikirkan.” Arya melontarkan pertanyaan.

“Iya,” jawab ustad. Tuhan mempunyai rencana akan dirimu, entah itu kamu menyukainya atau tidak. Yang terpenting adalah bagaimana kita melihat takdir tersebut. Lebih banyak manfaatnya atau mudhorotnya. Jika kita dapat mengambil banyak manfaat dari sesuatu yang diberikan, maka syukuri. Jika banyak mudhorotnya maka tinggalkan.”

“Seperti mesantren ?” Arya kembali bertanya

“Apakah menurutmu mesantren itu lebih banyak mudhorot-nya?” ustadnya balik bertanya.

“Iya! Apa hubungannya ilmu agama dengan cita-cita saya yang ingin menjadi seorang nahkoda kapal? Sangat berbeda bukan? Tidak saling berhubungan.”

“Itu menurutmu Arya! Sesungguhnya agama sangat berhubungan dengan jalan hidup seseorang, bahkan cita-cita. Agama akan menajdi pemuas hati disaat engaku merasa gundah gulana. Dengan begitu hidup menjadi tenang dan bahagia. Mungkin cita-citamu dapat memuaskan nafsumu, lalu bagaimana kamu memuaskan hatimu? Kalau bukan dengan agama.”

“Menurutku itu bukan hawa nafsu pak ustadz. Itu merupakan impian yang dengan impian tersebut saya dapat menjadi orang yang kaya, membuat saya bisa keliling dunia, makan enak dan tidur nyaman,” Arya menimpali.

“Itu nafsumu Arya. Kamu ingin mengelilingi dunia ini, namun kamu lupa pemilik yang sesungguhnya. Agama menyuruh kita mempunyai angan-angan yang tinggi, bahkan menguasai dunia. Namun jangan sampai lupa akan pemilik dunia dan sang Maha Pencipta. Jikalau kita sudah mencapai puncak tertinggi, jangan kau simpan semuanya itu dalam hati. Cukup kau genggam dalam tangan, karena jika ia hilang engkau tidak akan menyesalinya karena pemilik sesungguhnya bukan kamu.”
“Apakah kamu sudah memahaminya Arya?” tanya ustadz sesaat setelah member penjelasan.

“Iya ustadz. Saya cukup memahaminya,” tutur Arya dengan menundukkan kepala.
“Jika manusia hidup dikembalikan sepenuhnya kepada akal dan keinginannya, niscaya akan tampak berbagai corak kehidupan. Semuanya bebas menilai, yang terpenting adalah kepuasan pribadi. Tetapi hidup seperti itu tidak akan membawa jaminan kebahagiaan. Karena jaminan kebahagiaan datangnya dari yang Maha Mengerti tentang hakikat kehidupan yang sesungguhnya.”

*Penulis adalah mahasiswa Manajemen Dakwah Fidikom UIN Jakarta

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
100 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post KKN Sebagai Pembelajaran
Next post Pengorbanan Seorang Ayah