Pengorbanan Seorang Ayah

Read Time:4 Minute, 52 Second
Oleh Atik Zuliati*

Langit semakin menghitam, angin berhembus memasuki celah-celah jendela hingga menusuk tulang. Namun, mata enggan terpejam, hati begitu berbunga tak sabar menanti hari esok.  Aku terbaring menatap tumpukan kardus dan tas hitam berukuran besar yang bersandar di samping ranjang.
Teringat lima tahun lalu, di saat keberanianku diuji oleh waktu. Tangisan seorang ibu menghantarkan putrinya beradu nasib ke kota seberang untuk mencari ilmu. “Kamu tahu, ini adalah masa tersulit dalam hidup ibu, jauh darimu.” Pelukannya semakin erat mendekap tubuh sang putri sulungnya.
“Aku akan baik-baik saja, Bu. Jangan terlalu memikirkanku.” Langkahku semakin cepat mengampiri sebuah armada yang membawaku pergi jauh dari pandangannya. Aku melihat itu, air mata yang mengalir deras dari matanya, sesekali terisak dan itu yang membuatku merasa sesak.

“Aku pulang, untuk kalian.” Kini, armada berwarna putih orange ini memberi kegembiraan bagiku. Seakan menjadi sahabat yang mengerti keinginan isi hatiku. Dia yang membawaku kembali kedalam kehangatan pelukan keluarga.
Tepat pukul tiga pagi, sosok pria turun dari sepeda motor, matanya mengaduk-aduk penumpang yang turun dari bus berukuran besar itu. Lambaian tanganku menghentikan pencariannya. “Kau terlihat begitu sehat.” Pelukan itu semakin erat, aku hanya bisa mengangguk menahan air mata yang tak sanggup terbendung lagi.
Dia masih sama seperti lima tahun silam, tubuhnya nampak  kurus dengan rambut hitam yang mulai memutih. Dekapannya masih terasa hangat, masih dengan jaket kebanggaannya. Lima belas menit ayah membawaku menyusuri jalan penuh dengan pepohonan diselingi rumah-rumah yang berjajar agak jauh. “Masih nampak sama” gumamku dalam hati.
Mesin motor yang aku kendarai terhenti di sebuah rumah berhalaman luas dengan tiga pohon rambutan yang memberi keteduhan. Dua ayunan bergelantung diatas ranting yang kuat. Bola mataku berkeliling menatap setiap sudut halaman dengan daun rambutan yang jatuh berserakan. Masih nampak sama.
Aku mengetuk pintu, lantas seorang wanita setengah baya keluar menghampiriku lalu memelukku dengan erat. Pelukannya semakin keras, aku merasakan dengus napasnya. Ia terisak, air matanya jatuh di bahuku menembus mantel tebal yang aku kenakan. “Aku pulang, Ibu.” Aku mengucapkannya tidak begitu lancar, terbata-bata dan kadang terisak. Ia hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

*****

Pagi yang indah, aku merasakan lagi udara segar dengan hijaunya hamparan padi setelah lima tahun berlalu. Pagi itu aku hanya menemukan ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi dan seorang anak laki-laki yang masih tertidur pulas. Ibu hanya menatapku dengan senyumnya. Aku bisa merasakan kerinduan yang selama ini ia pendam.
“Kamu sudah bangun?” tanyanya begitu lembut dengan segelas teh hangat yang ia sodorkan. Bola mataku terus berputar ke setiap sudut rumah, mencarari sosok laki-laki dengan dekapan hangatnya. “Ayah mana, Bu?” tanyaku dengan meneguk teh dalam genggamanku. “Ayah kerja” ia hanya menjawab singkat dengan spatula yang sibuk ia mainkan.
Dalam hati aku tersentak, mungkin sudah hal biasa di desa, pagi buta sudah berangkat untuk mencari rezeki. Ibu mengampiriku dan duduk di sebuah kursi kayu, lekat-lekat ia menatapku. “Ia selalu bekerja keras untuk putrinya.” Ucap ibu dengan pancaran mata berkaca-kaca.
Begitu cepat waktu bergulir, hingga mentari pun ikut beranjak. Siang itu aku menghampiri ayah yang duduk beristirahat dengan segelas kopi menemaninya. “Ayah selalu mengabaikan kesehatan.” Matanya meluncur melihatku, nampak lelah dengan derasnya keringat yang mengucur di seluruh tubuh. “Bagaimana pekerjaan kamu di sana?” ia mengalihkan topik pembicaraan kita. “Menjadi penulis tidak begitu melelahkan. Ayah jangan terlalu memikirkan Zahwa, ayah harus jaga kesehatan,” balasku.

*****

Malam yang sunyi, hanya ada aku, ibu dan Faza yang sedang asyik bergulat dengan mainannya. Aku dan ibu saling bercengkrama, aku selalu merindukan pelukannya. Aku bersandar di bahunya, membicarakan segala hal untuk sekadar berbincang dengan tawa ringan.
“Apakah setiap hari seperti ini bu? Ayah jarang di rumah” tanyaku lemah. Ibu mengangkat kepalaku dari bahunya, ia mengubah posisi duduknya dengan menyeruput segelas teh. “Ayahmu selalu bekerja keras untuk putrinya, kamu.” Ibu menjawabnya lembut dengan mengelus rambutku. “Ia mengabaikan kesehatannya, di pikirannya hanya kamu, bahkan ia sempat lalai dengan keselamatannya.”
Aku menelan ludah mendengar ucapan ibu, napasku tersendat dan dadaku mulai sesak. Aku ingat luka bakar yang ada di kaki ayah. “Kaki ayah?” dengan cepat ia menyembunyikanya ketika aku menemukan bekas luka yang cukup lebar, lumayan parah kelihatannya. “Tidak apa hanya kecelakaan kecil,” ucapnya ringan.
“Iya, luka itu ayah dapatkan ketika membakar batu bata, ia terperosok ke dalam panasnya bara api.” Mata ibu berkaca-kaca ketika menceritakannya dan aku hanya terdiam menahan air mata. “Bahkan ayah jauh mengkhawatirkanmu dibandingkan ibu.” Ibu berdiri dan menghampiri Faza yang mulai berteriak menyerunya. “Kamu ingat, setiap ayah menelpon kamu, dia tidak akan tidur dan mondar mandir mencemaskanmu ketika kamu tidak bisa dihubungi,” lanjutnya.
Dentuman yang keras menyambar dadaku, aku ingat sekali puluhan panggilan tak terjawab dari ayah bahkan aku mengabaikannya. Ayah juga tidak berhenti menanyakan kabarku setiap harinya lewat via sms, tapi aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memikirkan betapa khawatirnya ayah ketika aku tidak memberikan kabar tentangku. Aku tak sanggup lagi membendung air mata, air mataku berderai seiring mengingat semua tentang ayah.
Langkah ibu mendekat, menepuk pundakku dan menyeka air mataku. “Ayah sudah bekerja keras untukmu, untuk kita” ucapnya dengan meraih tubuhku dalam dekapannya. Entah apa yang aku pikirkan selama ini, aku baru menyadari betapa beratnya ia melakukan ini untukku, hanya untuk putrinya, ia setiap hari rela terpanggang di tengah terik matahari dan tak ingin putrinya tahu betapa sulit dan melelahkan apa yang ia jalani.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Suara motor yang biasa ayah kendarai terdengar, aku dapat mendengar suara sendalnya yang terseret, aku berlari menghampirinya dan memeluk erat tubuhnya. Di dalam pelukannya aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala penyesalan dan emosi yang terpendam. “Ayah telah bekerja keras untuk Zahwa.” ucapku tersendat dalam tangis.

“Ayah selalu percaya sama kamu, percaya kalau kamu tidak akan mengecewakan ayah.” Ia semakin erat memelukku. Aku merasakan kasarnya tangan ayah yang sudah bekerja keras agar aku mendapatkan pendidikan yang tinggi. Ia berusaha keras agar aku bisa mewujudkan cita-cita yang selama ini aku impikan.

*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta 

About Post Author

LPM Institut

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
100 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Previous post Agama dan Cita-Cita Kehidupan
Next post KKNK 2016 Kembangkan Ekowisata Bahari