Read Time:4 Minute, 25 Second
Oleh : Izzudin Abdul Hakim*
Di awal kemunculannya, ide Islam Nusantara memang tampak asing di telinga publik. Namun belakangan, ‘bayi yang baru lahir’ ini mulai berkembang menjadi mainsteam hingga mengundang riak kontroversi.
Pernah umat Islam seantero negeri ini dibikin heboh oleh pembacaan ayat Al-Quran dengan langgam Jawa pada saat peringatan Isra’ Miraj di Istana Negara. Ditimpa hujan kritik dari banyak kalangan Islam, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, akhirnya menyampaikan permohonan maafnya terkait kontroversi qiraah tersebut.
Sebelumnya, Kementerian Agama mengeluarkan surat tertanggal 19 Agustus 2015 dengan perihal “Pemberitahuan Bantuan Penulisan Islam Nusantara”. Dalam surat tersebut tertulis, “dalam rangka memperteguh Islam Nusantara dan mempromosikan Islam Moderat yang mempertegas semangat keislamana dan kebangsaan, Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam memberikan program Bantuan Islam Nusantara Tahun Anggaran 2015 bagi 10 (sepuluh) dosen, peminat kajian, peneliti, dan penulis sebesar maksimum Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) untuk setiap usulan, yang digunakan untuk mendukung penulisan Islam Nusantara tersebut”.
Dua macam kebijakan di atas secara kasat mata menjelaskan satu hal, yakni, bahwa ide Islam Nusantara tak lahir dari ketidaksengajaan. Dengan jelas pemerintah mensponsori kampanye ide Islam Nusantara ini. Negara yang sejatinya mengambil posisi netral terkait keberagamaan individu-individu warganegara, khususnya muslim, kini turut melakukan intervensi mengkreasi perwajahan Islam di Indonesia. Lantas yang menjadi misteri, apa yang dimaui dari ide Islam Nusantara tersebut?
Argumentasi Islam Nusantara
Kehadiran Islam Nusantara dianggap sebagai jawaban alternatif bagi Indonesia agar umat Islam di negeri ini terhindar dari persoalan dan konflik sebagaimana yang terus melanda muslim di Timur Tengah. Dengan perwajahan yang diklaim lebih “toleran”, Islam Nusantara diproyeksikan akan menjadi kiblat keberislaman kaum muslim. Wakil Presiden, Jusuf Kalla, dengan optimis menyampaikan pesan tersebut dalam sambutannya pada acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta. Beliau menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.
Jadi, alasan mengapa Islam Nusantara ini lahir sesungguhnya diinisiasi oleh kemauan untuk mewujudkan nilai toleransi, keharmonisan, dan kerukunan antarumat beragama. Hal ini mahapenting mengingat kondisi penduduk di Indonesia pada faktanya memang beraneka ragam suku, bahasa, dan agama. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, pun banyak agama kepercayaan yang lain.
Sebagai sebuah iktikad baik, tentu semangat di balik kemunculan ide tersebut tak salah jika diapresiasi. Namun demikian, tak cukup iktikad baik semata. Ikhtiar yang ditempuh pun harus makruf. Jika tidak begitu, apa yang muncul nantinya justru sesuatu yang kontraproduktif.
Rahmat Islam
Kita amat yakin bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Sebagai agama penebar rahmat, maka dengan sendirinya, toleransi, kerukunan antarumat dan nilai adiluhung lainnya adalah sesuatu yang integral dalam Islam. Rahmat merupakan natijah (konsekuensi) dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Rahmat Islam baru akan terwujud sebagai konsekuensi logis dari implementasi ajaran-ajaran Islam (An-Nabhani, 2005: 365). Ibarat rasa kenyang sebagai natijah dari makan, dan hilangnya dahaga sebagai konsekuensi dari minum. Begitu pula cara kita mewujudkan rahmat Islam.
Mari kita saksikan sejarah dakwah rasulullah di Makkah. Islam saat itu belum dapat dikatakan memberi rahmat, baik bagi pemeluknya terlebih bagi semesta alam. Para sahabat termasuk rasulullah SAW. sendiri justru mengalami penyiksaan, entah berupa siksaan yang sepele hingga yang tak bisa dinalar akal sehat manusia beradab.
Namun setelah Islam tegak di Madinah Al-Munawwarah, di saat rasulullah memegang kekuasaan penuh untuk menjalankan segenap hukum-hukum Islam, maka rahmat Islam dengan segera dapat dirasakan oleh kaum muslim, termasuk juga kaum muysrik dan Yahudi ahlu dzimmah di sana. Islam berhasil mengangkat bangsa Arab berada di atas kedigdayaan Persia dan Romawi. Islam sukses mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya gemar berperang atas nama suku dan golongan ke dalam satu ikatan aqidah.
Dalam sejarah panjangnya, Islam telah memberikan gambaran kongkret atas apa yang disebut toleransi. Karen Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurutnya, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalus (baca: Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City Three Faiths, hal. 326-327).
Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non-Muslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non-Muslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama (baca: Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, hal. 44).
Tak heran bila dengan jujur Wallace Murphy menulis, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a
debt to the Muslim world that can be never fully repaid)(Husaini, 2010: 9).
Ikhtiar yang Keliru
Sayangnya, cara pandang bahwa rahmat Islam sebagai natijah semacam ini tak dimiliki oleh para pengusung ide dan pengampu kebijakan Islam Nusantara. Akibatnya, demi sesuatu yang mereka yakini sebagai “rahmat”, “toleransi” dan semacamnya itu, Islam menjadi objek ‘pembonsaian’. Padahal upaya otak-atik ajaran Islam yang telah final merupakan ikhtiar yang kontraproduktif dan justru menjauhkan kita dari tercapainya nilai-nilai luhur tadi. Hal itu karena nilai-nilai luhur toleransi, kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama sekali lagi merupakan natijah dari implementasi hukum-hukum ilahi (Islam). Ia bukanlah hasil cipta dan karsa manusia.
Oleh karena itu, memang logisnya rahmat Islam dengan segala derivasinya seperti toleransi, kerukunan, dan sebagainya harus lahir dari nilai ilahi yang Mahaadil, Mahapengasih, Maha penyayang, dan Mahabijaksana. Melalui implementasi hukum-hukum ilahi (Islam), maka natijah tersebut (rahmat berupa toleransi dan sebagainya) dengan sendirinya akan hadir menyertai.
*Mahasiswa FISIP UIN Jakarta
Happy
0
0 %
Sad
0
0 %
Excited
0
0 %
Sleepy
0
0 %
Angry
0
0 %
Surprise
0
0 %
Average Rating