Di sisi lain, Fungsional Direktorat Bidang Pendidikan dan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Dotty Rahmatiasih mengomentari pelbagai temuan BPK di UIN Jakarta. Menurut Dotty terdapat prosedur jika ada perubahan anggaran dalam pembangunan. Jika tidak melalui prosedur bisa masuk ke dalam tindak pidana korupsi. “Jadi harus melampirkan bukti penggunaan anggaran,” jelasnya, Selasan (10/10).
Atik Zuliati
Read Time:4 Minute, 30 Second
Getol dalam pengembangan bangunan gedung. Tak pelak, pelbagai temuan audit BPK mengiringinya.
Dua buah Digital Versatile Disc (DVD) laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diperoleh reporter Institut pada 12 Oktober silam. Isinya bikin dahi berkeryit, ada laporan keuangan Satuan Kerja (Satker) di bawah Kementerian Agama (Kemenag) kurun waktu 2015 dan 2016. Isi DVD itu setebal sekitar 2000 halaman. Di dalamnya pelbagai hasil audit keuangan dan aset Kemenag terpampang.
Sebagai Satker Kemenag, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pun tak luput dari audit. Berdasarkan data BPK terdapat temuan terkait pelbagai bangunan gedung di UIN Jakarta. Dalam Laporan BPK 2015 halaman 904 tercatat adanya temuan gedung Lembaga Pelatihan Tenaga Kependidikan (LPTK) UIN Jakarta. Saat itu kontraktor gedung adalah PT. PP Precast dengan konsultan pengawas PT. Yodya Karya. Dalam lampiran 1.4.3.5.1 tercatat kekurangan perhitungan volume pekerjaaan. Hal itu mencakup kelebihan perhitungan volume beton dan kelebihan perhitungan ratio tulangan. Total kerugian sebesar Rp377.258.359,87.
Tak sampai di situ, di gedung LPTK juga tercatat kelebihan pembayaran karena kesalahan perhitungan Rancangan Anggaran Belanja (RAB). Dalam kontrak, UIN Jakarta seharusnya mengeluarkan anggaran sebesar Rp317.561.336,70. Namun dalam realisasinya UIN Jakarta menggelontorkan anggaran sebanyak Rp403.512.804,11— terpaksa menambah anggaran sebesar Rp85.951.467,41—. Tak hanya itu terdapat juga kelebihan pembayaran pekerjaan bondek sebesar Rp192.222.695.55. Berdasarkan hitungan BPK, di gedung LPTK negara mengalami kerugian senilai Rp270.987.131,72.
Selanjutnya, Pembangunan gedung Pusat Perpustakaan dan Gedung Parkir pun terdapat temuan oleh BPK. Ketika itu pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh Avetama Betindo KSO dengan nilai kontrak Rp46.531.675.374. Menurut laporan BPK 2015 di halaman 905 terdapat kekurangan volume bangunan pekerjaan. Tak tanggung-tanggung, akibatnya terdapat jumlah selisih volume pekerjaan senilai Rp255.244.047,85.
Imbas kekurangan volume pekerjaan pun melanggar Peraturan Presiden (Perpres) No 4 Tahun 2015 Perubahan Keempat Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa pemerintah. Kasus yang menjadi temuan audit BPK berdasarkan Perpres tersebut terjadi karena penyedia jasa tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Di samping itu, disinyalir juga akibat kelalaian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam menerima dan menyetujui pembayaran.
Setahun berikutnya, pada 2016 BPK pun kembali mencatat dugaan kerugian negara pembangunan gedung di UIN Jakarta. Kali ini gedung Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yang menjadi sorotan BPK. Pada awalnya, gedung yang berlokasi di Jl. Tarumanegara, Ciputat Timur ini dibangun atas bantuan dari program Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Sebagai kontraktor, UIN Jakarta menggaet PT Satyagi Cipta Prima.
Sayang, dalam pelaksanaannya BPK mencatat terdapat dua temuan pada pembangunan FAH. Pertama, kelebihan pembayaran atas jasa konstruksi pembangunan. Menurut BPK tercatat kelebihan pembayaran sekitar Rp142.660.548,00. “Hasil pemeriksaan atas dokumen kontrak dan pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa BPK diketahui bahwa terdapat kekurangan volume pekerjaan. Kekurangan volume pekerjaan tersebut, antara lain terjadi pada pengadaan barang modal, struktur bangunan, mekanikal, dan arsitektur,” catat BPK pada halaman 489 terkait Laporan Keuangan Kemenag 2016.
Kedua, denda keterlambatan pekerjaan pembangunan belanja modal. Keterlambatan ini pun semakin menambah daftar temuan BPK pada pembangunan gedung UIN Jakarta. Berdasarkan data BPK pada halaman 853 tercantum pembangunan gedung FAH UIN Jakarta telat selama 31 hari dari perjanjian awal. “Dikenakan denda keterlambatan sebesar satu perseribu dari nilai kontrak untuk setiap hari keterlambatan,” catat BPK.
Terkait keterlambatan pembangunan itu menyalahi Perpres No.4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah. Pada pasal 120 yang menyatakan bahwa penyedia barang/jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang atau jasa, dikenakan denda keterlambatan.
Lebih mencengangkan, BPK pun mencatat di UIN Jakarta terdapat bantuan riset yang tanpa didukung lembar pertanggungjawaban (LPJ). Dalam catatan BPK, UIN Jakarta mendapatkan enam bantuan Riset Ensiklopedi Islam Indonesia dengan total bantuan Rp83 juta. Laporan tersebut tertuang dalam lampiran 1.2.12.1 laporan keuangan Kemenag 2016. Selain bantuan riset, UIN Jakarta pun tercatat mendapatkan bantuan peningkatan mutu pengabdian kepada masyarakat sebesar Rp70 juta. Sayang, bantuan ini pun tercatat belum memiliki LPJ.
Ketiadaan LPJ melanggar Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Pasal 21 Nomor 168/PMK.05/2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian Negara/Lembaga. Pasal tersebut berbunyi penerima bantuan pemerintah harus menyampaikan LPJ kepada PPK sesuai dengan perjanjian kerja sama setelah pekerjaan selesai atau pada akhir tahun anggaran.
Hal senada pun diungkapkan Koordinator Data dan Publikasi Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA), Yenti Nurhidayat. Ditemui di ruang kerjanya, Yenti mengatakan penggunaan anggaran tanpa adanya LPJ telah menyalahi aturan yang ada. Terkait ketiadaan LPJ menurut Yenti menyalahi prosedur administrasi pelaporan keuangan negara. Di samping itu, berpotensi terjadinya penyimpangan (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).
Menyoal masalah banyaknya temuan yang tidak sesuai di UIN Jakarta oleh BPK Sekretaris Satuan Pengawas Instern Adi Cahyadi pun angkat bicara. Menurutnya adanya temuan tersebut kontraktor pelaksana pembangunan diharuskan membayar ganti rugi kepada negara senilai kerugian yang dialami. “Kontraktor harus mengganti rugi kelebihan pembayaran tersebut kepada negara,” ungkapnya, Kamis (12/10). “Setahu saya kontraktor pembangunan gedung LPTK telah bayar kerugian,” tambahnya.
Tulisan dalam versi cetak ada di Tabloid Institut edisi Oktober 2017 dengan judul “UIN Terciduk BPK”
Average Rating