Read Time:2 Minute, 32 Second
Sampai saat ini, profesi Pustakawan di Indonesia masih dianggap sebagai profesi yang kurang bergengsi dan biasa-biasa saja di mata masyarakatnya. Kenapa demikian? hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran para pustakawan dalam menunjukan tugas dan fungsinya dalam rangka membantu pemustaka untuk menemukan informasi yang dibutuhkannya. Sehingga pandangan pemustaka terhadap pustakawan tak lebih hanya sebagai ‘seorang penjaga buku’ dan semisalnya.
Selain itu, sikap yang ditunjukan oleh pustakawan dalam melayani pemustaka juga perlu disoroti. Pasalnya, tak jarang sikap mereka tidak mencerminkan kode etik yang harus dimiliki oleh seorang profesi. Contohnya, sikap pustakawan yang melayani pemustaka dengan tampang masam dan jutek, sehingga pemustaka merasa kurang nyaman. Atau sikap pustakawan yang kurang antusias ketika didatangi oleh pemustaka untuk diminta bantuannya. Hal ini tak jarang ditemukan, baik di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan perguruan tinggi.
Tak sebatas mengolah buku
Perlu diketahui, bahwa tugas dan fungsi seorang pustakawan didalam perpustakaan tidak hanya sebatas mengolah buku ataupun melayani para pemustaka yang meminjam dan mengembalikan buku. Lebih dari itu, pustakawan memiliki kewajiban untuk membantu para pemustaka dalam mencari kebutuhan informasinya, baik informasi tersebut tersedia di perpustakaan maupun di luar perpustakaan. Pustakawan juga harus bersikap ramah jika ada yang datang kepadanya untuk meminta pertolongan.
Dengan kata lain, jika ada pemustaka yang kesulitan dalam menemukan koleksi bahan pustaka yang dicari maka pustakawan berkewajiban untuk aktif dalam membantu permasalahan tersebut. Jika hal itu dilakukan oleh para pustakawan dalam melayani pemustakanya maka tugas dan fungsi pustakawan akan sangat dirasakan oleh pemustaka sehingga pandangan buruk tentang pustakawan dapat berubah.
Kurangnya sosialisasi
Di dalam perpustakaan perguruan tinggi, baik perpustakaan pusat maupun fakultasnya, jumlah pemustakanya relatif jauh lebih banyak dibandingkan dengan perpustakaan jenis lainnya. Tentu pustakawan tidak memiliki banyak waktu dan tenaga dalam mengatasi seluruh permasalah yang dihadapi pemustaka, karena jumlah pustakawan yang ada tidak sebanding dengan jumlah pemustaka yang membutuhkan bantuan.
Dalam hal ini, maka perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan perpustakaan untuk mengatasi hal tersebut. Dalam dunia perpustakaan, ada solusi yang dikenal dengan istilah ‘user education´atau ‘pendidikan pemustaka’. Pendidikan pemustaka merupakan bentuk kegiatan yang dapat berupa workshop atau seminar yang bertujuan untuk memberikan arahan bagi para pemustaka dalam memanfaatkan perpustakan secara efektif dan efisien. Didalamnya juga terdapat pembelajaran tentang teknik-teknik penelusuran informasi, sehingga pemustaka dapat dengan mandiri dalam menelusuri informasi dan juga dapat meringankan pekerjaan pustakawan.
Dalam prakteknya, kegiatan ini masih jarang dilakukan. Padahal kegiatan ini dapat membantu pihak perpustakaan –khususnya pustakawan– itu sendiri dalam mengatasi permasalahan pemustakanya. Kegiatan serupa yang biasa ditemukan adalah saat orientasi perpustakaan bagi mahasiswa baru, yakni berupa sosialiasi mengenai koleksi-koleksi dan layanan-layanan yang tersedia didalam perpustakaan.
Pada dasarnya kegiatan tersebut sudah cukup bagus, mengingat para mahasiswa baru memerlukan arahan sebelum memanfaatkan segala fasilitas di perpustakaan tersebut. Namun sayangnya, kegiatan tersebut hanya dilakukan satu kali yakni saat awal-awal perkuliahan. Sementara kegiatan pendidikan pemustaka merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara berkala karena arahan yang diberikan tidak hanya sebatas pengenalan koleksi atau fasilitas, namun pihak perpustakaan juga harus memberikan pendidikan mengenai teknik-teknik menelusur informasi yang efektif dan efisien.
* Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta
Average Rating